Bab 4: Pertengkaran di Tepi Kolam Renang

1606 Kata
Bella. Hangatnya Kota Semarang membakar kulitku saat aku berbaring di kursi santai berwarna putih di tepi kolam renang. Walaupun aku selalu mengharapkan kenyamanan seperti ini di Kota Batu, aku tidak pernah mendapatkannya. Daerah itu terlalu lembab untuk dinikmati, dan cuaca Kota Semarang jauh berbeda. Itu adalah salah satu hal yang kunikmati dari tempat ini. Ini adalah satu-satunya kenyamanan yang kudapatkan dari kerja keras selama bertahun-tahun untuk masa depanku. Selama aku berada di Kota Semarang, aku bisa menjadi siapa pun dan melakukan apa pun sesuka hati. Karena tidak ada yang tahu siapa diriku, dan setelah seumur hidup harus menjadi orang lain ... Yah, itu melegakan. Tania bersikeras mengundang sekelompok orang ke pesta biliar, dan ketika melihat mereka semua bersenang-senang di air kolam yang dingin sambil tertawa dan minum, mau tidak mau aku merasa terganggu oleh mereka. Mereka tampak begitu bebas dengan gaya hidup mewah mereka, bisa datang dan pergi sesuka hati mereka. Tidak harus bekerja untuk mendapatkan apa pun, dan memiliki orang tua yang bisa memberikan uang kapan pun mereka mau. Itu bukan sesuatu yang biasa kualami. Orang tuaku telah bekerja keras sepanjang hidup mereka untuk mengurusku sebaik mungkin, dan bahkan hingga saat ini, aku juga bekerja keras. Karena aku berencana untuk merawat ayahku suatu hari nanti. Ibuku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Ayah telah mengorbankan begitu banyak hal untukku, dan tidak seperti orang-orang ini yang bisa mendapatkan apa pun yang mereka inginkan, aku tidak akan menyia-nyiakan orang tuaku. "Apa kamu hanya akan berbaring di sana sepanjang hari, atau bergabung dengan kami?" Tania bertanya, bayangannya menghalangi sinar matahari yang sedang kunikmati. "Aku akan bergabung dengan kalian, tapi hanya dari kursi ini. Mataharinya terasa luar biasa, dan aku sedang tidak ingin berenang," kataku dengan jujur sembari menyender lebih jauh di kursiku. "Yah, setidaknya kamu minum," dia menyeringai. Sambil mengangkat gelas margarita, aku tersenyum. "Memang. Tequila dan sinar matahari." "Dengan laki-laki seksi?" "Hah, tidak," aku tertawa. "Aku mampu memuaskan diriku sendiri. Kamu tahu ini sudah abad kedua puluh satu, 'kan? Wanita tidak membutuhkan laki-laki. Kita memiliki satu sama lain dan juga mainan untuk menghibur kita." "Yah, itu perlu diubah. Aku ingin kamu bertemu seseorang," jawabnya, memutar bola matanya. Bibirku tertutup dengan rapat dan aku menggelengkan kepalaku. "Tidak, Tania. Aku sudah memberitahumu sebelumnya. Aku belum siap." "Ya Tuhan. Ini sudah hampir sebulan, Bella. Kamu membuang-buang waktu menjadi orang yang membosankan hanya karena Cakra meniduri orang lain." Apa-apaan ini? Terkejut dengan responnya yang blak-blakan, aku menatapnya dengan kaget. "Wow. Terima kasih sudah jujur." Tania memang sahabatku, tapi dia terkadang menyebalkan. Sambil menghela napas dengan putus asa, dia duduk di sebelahku, menopang dagunya dengan satu tangan. "Kamu tahu apa yang kumaksud. Aku ... Aku hanya ingin kamu bahagia lagi." "Yah, kalau begitu, mungkin pacarku seharusnya tidak meniduri orang lain di belakangku. Kedua, aku sudah bahagia." Sambil mengerang dengan frustrasi, Tania memutar bola matanya lagi. "Lupakan saja. Tidak ada gunanya memikirkan laki-laki itu." "Oh, aku tahu," cibirku. "Sekarang, tinggalkan aku sendiri. Aku baik-baik saja." "Tidak, kamu tidak baik-baik saja. Aku tidak tahu mengapa kamu terus membohongi dirimu sendiri, " jawabnya, membuatku menggelengkan kepala. Dia tidak mengerti apa yang dibicarakannya. "Bagaimana jika kamu berhenti bertingkah seperti mak comblang dan cari orang lain untuk bermain denganmu saja?" Aku mendesaknya dengan senyum di wajahku, sambil memejamkan mata di balik kacamata hitamku dan mencoba kembali bersantai. "Aku senang sekali kamu datang, Bella," kata Tania setelah hening sejenak. "Tak ada yang tahu kita akan berada di mana tahun depan, dan aku tidak sempat melewatkan musim panas bersamamu beberapa tahun terakhir." Saat membuka salah satu mataku, aku melihat ekspresi tulus di wajahnya. Dia sedang berkata jujur, tapi caranya bertindak akhir-akhir ini menandakan yang sebaliknya. Seolah-olah dia bahagia, tapi juga menyembunyikan sesuatu. Memutuskan untuk tidak mengungkitnya, aku membiarkan diriku tersenyum. "Aku juga senang datang ke sini. Tapi aku tetap tidak akan mengizinkanmu jadi mak comblang." "Kamu membosankan sekali." Dia tertawa dengan histeris. "Baiklah ... lakukan apa yang kamu mau." "Oh, aku akan melakukannya. Sekarang, kembalilah ke si seksi berambut merah itu. Dia sudah memperhatikanmu dengan pandangan b*******h sejak kamu meninggalkan kolam dan datang ke sini." Sambil menengok, dia mengintip ke arah laki-laki itu, dan menurunkan kacamatanya sedikit sebelum melambai kecil. "Dia imut, ya?" "Ya, memang," jawabku. "Tapi dia lebih sesuai dengan tipemu, jadi kamu bersenang-senanglah. Aku akan mencari laki-laki lain kali. Aku sudah merasa tenteram saat ini." "Baiklah, baiklah," Dia menyeringai. "Yang penting aku sudah mencoba." Sambil berbelok, dia melompat ke arah pria berambut merah yang menariknya ke dalam kolam. Suara cekikikannya bergema di udara sementara aku kembali ke zona nyamanku seperti sebelum dia tiba. Namun, tiba-tiba, sosok lain menggantikannya, dan sosok itu adalah seorang pria kulit eksotis dengan tubuh sempurna dan dengan tujuan yang jelas di benaknya. "Halo, cantik." Sambil mengangkat satu alis, aku menatapnya sebelum menarik napas. "Tidak." "Tidak?" "Ya, tidak," aku mendengus. "Dengar, aku tidak tahu apa yang Tania katakan padamu, tapi sejujurnya aku tidak tertarik. Aku hanya ingin menghabiskan waktu sendiri dan berbaring di tepi kolam renang, sambil bersantai." "Dia bilang kamu sering jual mahal. Aku suka wanita yang bersikap seperti itu." Oh, yang benar saja. Apakah dia bodoh? "Tidak, aku bukan tipe wanita yang suka menipu pria. Aku benar-benar tidak tertarik ... Maaf, aku tidak tahu siapa namamu ... " "Abas," jawabnya. "Siapa namamu?" "Namaku?" Pertanyaan itu direspon dengan gelak tawa dan anggukan kepalanya. "Pokoknya ... Aku tidak tertarik." Aku tidak bermaksud untuk bersikap kasar, tapi aku juga tidak ingin bertele-tele. Aku dibesarkan dengan filosofi bahwa lebih baik untuk bersikap jujur dan blak-blakan. Abas menatapku sejenak dengan rasa tidak percaya selagi aku memiringkan kepalaku, penasaran dengan tanggapannya. Tapi karena kaget, dia hanya bisa tersenyum. "Aku suka itu," dia mengaku sambil mencoba untuk mendekat, mataku melebar sembari dengan cepat bergerak mundur dan berdiri dari kursiku. Apakah dia benar-benar mencoba menyentuhku? "Maaf, sudah kubilang aku tidak tertarik," bentakku sambil mengambil barang-barangku dan dengan cepat masuk ke dalam rumah. Jika mengingat bahwa Tania benar-benar menyuruh pria itu untuk menemuiku. Menjijikkan sekali. "Bella, ada apa?" Tania memanggil dari lokasinya di kolam. "Jangan bersikap seperti itu." Jangan bersikap seperti itu. Apa dia sedang bercanda sekarang? Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aku menutup pintu dapur di belakangku. Setelah melepaskan topi matahari bertepi lebar yang kukenakan, dan meletakkannya di atas meja, aku menarik napas dalam-dalam. "Tidak bisa dipercaya ... " "Mau ke mana, cantik?" Abas berkata di belakangku sambil menutup pintu. Memutar tubuhku seketika, aku melihatnya tertatih menghampiriku. Jelas bahwa pria ini sedang mabuk, dan dari caranya menatapku, dia hanya menginginkan satu hal. "Dengar, aku akan mengulangi perkataanku dengan lebih lambat, supaya kamu mengerti. Sejujurnya, aku tidak tertarik padamu." Dia tertawa sembari berjalan ke arahku. "Kamu tidak perlu berbohong." "Bisa kuyakinkan padamu, aku tidak berbohong," jawabku sambil berjalan mundur. "Sekarang, tolong tinggalkan aku sendiri." "Meninggalkanmu sendiri?" Dia tertawa lagi. "Wanita-wanita lain berharap mereka bisa berada di posisimu. Aku salah satu pria paling mapan di Kota Semarang ... " "Tolong, hentikan!" Aku berteriak padanya saat dia mendorongku ke lemari es. Jantungku berdegup kencang, dan telapak tanganku berkeringat. Hal yang paling tidak kuinginkan adalah berada dalam situasi ini, tapi di saat yang sama, aku tidak ingin menyerang laki-laki itu. Aku hanya ingin dia meninggalkanku sendiri. "Kurasa kamu hanya takut. Aku sudah mendengar tentang mantanmu, dan aku berjanji tidak akan menyakitimu." Apakah pria ini benar-benar serius?! "Beraninya kamu?!" Aku berteriak sambil mencoba untuk bergerak. "Kamu bahkan tidak mengenalku, dan kamu tidak berhak mengatakan hal-hal seperti itu kepadaku." Sambil mencengkeram lenganku, Abas mendorongku ke meja, menjepitku dengan tubuhnya. Aku tahu persis apa yang ada dalam pikirannya, tapi tidak mungkin aku akan membiarkan hal itu terjadi. Berpikir cepat, aku mengangkat lututku dan menghantamkannya di antara kedua kakinya. "Dasar jalang sialan!" dia meraung dan mengangkat tangannya, menampar wajahku. Dia telah memukulku, dan keinginan kuatku untuk melarikan diri semakin nyata. "Lepaskan aku!" teriakku, berharap ada orang lain yang datang dan turun tangan. Aku tidak ingin dilecehkan di pesta karena tidak ada yang menyadari bahwa diriku hilang. "Berhenti, berhenti." Dia tertawa saat aku memberontak melawannya. "Berhentilah melawan, sayangku. Biarkan aku menunjukkan kepadamu bagaimana cara untuk mencintai lagi. Aku akan memaafkan tindakanmu tadi." "Lepaskan aku!" Aku berteriak ketika tangannya menutup mulutku. "Oh, sayang, ayolah ... " dia terengah-engah. "Aku tahu kamu menginginkan ini." "Apa-apaan ini?" bentak Janu saat dia memasuki dapur. Abas berbalik, mengintip dari balik bahunya, dan mendengus. "Tidak usah ikut campur, pak tua." Jelas bahwa Abas tidak tahu siapa Janu, tapi melihat bagaimana mata Janu menyipit dan tinjunya mengepal, laki-laki itu akan segera tahu. "Maaf?" Janu mencibir, "Kurasa kamu harus pergi ... sekarang." Aku merasa waspada mendengar cara Janu berbicara, dan tadinya aku yakin bahwa laki-laki ini juga merasakan hal yang sama. Namun, tampaknya bukan begitu kenyataannya. "Aku sudah memberitahumu ... " Sebelum Abas bisa menyelesaikan perkataannya, Janu mencengkeram lehernya dan menariknya mendekat. "Aku pemilik rumah ini, dan jika kamu tidak pergi sekarang, akan kupastikan bahwa masa depanmu di Kota Semarang berakhir. Apakah kamu mengerti?" Kegelisahan menyelimutiku saat aku memandang kejadian itu. Abas ditarik dariku, dan bersamaan dengannya, aku juga terjatuh di lantai, mencoba mengatur napas dan menenangkan jantungku yang berdebar kencang. Jika Janu tidak turun tangan, siapa tahu apa yang akan terjadi. Abas jauh lebih besar dariku, dan aku sudah kesulitan melawannya. Kedua pria itu bergumul di dapur sampai petugas keamanan tiba, dan Janu mengusirnya dari rumah. Dia telah menjadi penyelamatku ketika tidak ada orang lain di sekitarku. Tania dan aku akan membicarakan hal ini dengan serius. Aku tidak percaya Tania berpikir bahwa pria ini cocok untukku. Abas memiliki segala karakteristik yang kubenci dalam diri seorang pria, dan bahkan lebih buruk lagi dari ekspektasiku. "Apa kamu baik-baik saja?" Janu bertanya, menyadarkanku kembali. Tatapan kami perlahan bertemu dan napasku tercekat di tenggorokan. Setelah melewati hal-hal yang baru saja kualami ... Dia membuat napasku berhenti dan tubuhku terasa panas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN