Cerita Pak Sudibyo dan Istri

1966 Kata
Derap langkah kaki di dalam gua yang gelap dan dingin, dengan tetesan air menyentuh alas berbatu, menciptakan suasana yang mencekam. Langkah kaki dari tiga orang dewasa, memasuki area gua semakin jauh ke dalam. Setelah tiba di suatu area yang sedikit lebih luas dari yang hanya sebuah lorong gelap, ketiganya berhenti. Salah seorang pria tua, menatap kedua orang —yang ternyata adalah sepasang suami istri— untuk bicara terakhir kali.  "Saya hanya mengantar sampai sini. Kalian bisa masuk ke dalam untuk seterusnya bertemu dengan Kanjeng Dewi," ucap Mbah Purwo, juru kunci gunung Meribu.  "Terima kasih, Mbah." "Pak Sudibyo dan Ibu, sekali lagi saya hanya mengingatkan, apakah kalian bersungguh ingin melakukan pesugihan ini?" Pasangan suami istri itu saling berpandangan. Sebetulnya, ada gurat ragu yang terpancar di wajah sang istri. Belum lama keduanya melakukan hal seperti ini di tempat yang lain. Bahkan anak bungsu mereka, mereka korbankan demi ambisi keduanya. Kini, seolah belum puas dengan apa yang sudah didapatkan, mereka mencari tempat lain untuk melakukan hal serupa dengan cara yang berbeda.  "Kami bersungguh-sungguh, Mbah," jawab sang suami tegas.  "Baiklah. Saya sudah memperingatkan kalian di detik terakhir. Setelah ini, semua yang terjadi di dalam nanti, itu sudah menjadi tanggung jawab kalian. Kalian tidak bisa mundur ataupun meminta bantuan saya lagi. Apakah kalian mengerti?" "Mengerti, Mbah." Setelah pembicaraan itu usai, pria tua yang dipanggil Mbah Purwo, melangkahkan kakinya menuju ke arah sebuah lempengan batu besar —yang anehnya bisa tegak berdiri. Pria itu kemudian menggeser batu tersebut. Dan, tampaklah sebuah ruangan dengan pencahayaan remang, lebih kecil dari tempat ketiganya berdiri saat ini.  "Masuklah! Kanjeng Dewi akan datang setelah kalian berada di dalam," perintah Mbah Purwo.  Sekali lagi terlihat wajah dan sikap keraguan yang tampak di wajah sang istri. Itu terlihat oleh Mbah Purwo yang memang pandai membaca pikiran orang, terutama sekali pikiran orang-orang yang berada di situasi yang sama, seperti pasangan suami istri di depannya sekarang.  "Cepatlah! Jangan buat Kanjeng Dewi menunggu. Jika kalian ragu, lebih baik kembali pulang sekarang, sebelum semuanya terlambat." "Tidak! Kami akan tetap masuk." Pak Sudibyo melihat ke arah sang istri, kemudian menganggukkan kepalanya. "Ayo, Bu!" ajaknya.  Dengan langkah yang masih ragu, Bu Ranti —istri Pak Sudibyo, mengikuti langkah suaminya yang sudah terlebih dulu masuk. Tak lama setelah kedua kaki mereka menginjakkan area dalam gua, lempengan batu yang tadi digeser oleh Mbah Purwo, kembali tertutup. Kini tak ada lagi jalan keluar. Dan tak ada pula jalan untuk kembali pulang. Mau tidak mau, keduanya harus melanjutkan niat dan rencana mereka datang ke tempat tersebut.  Tak ada suara yang keluar dari mulut wanita berusia empat puluh tahun itu, hanya pandangan mata penuh aura ketakutan menatap sang suami yang memberinya kode untuk melangkah maju.  Namun, belum juga mereka berjalan maju, terdengar suara desisan ular yang begitu ramai dari berbagai arah. Kedua orang itu pun sontak mencari asal suara dengan menengokkan kepala ke kanan-kiri, dan depan-belakang, tetapi keduanya tak menemukan suara yang mereka cari.  "Kalian berdua sudah tidak bisa kembali. Apakah kalian berdua sudah tahu itu?" Tiba-tiba suara dari seorang wanita hadir di tengah-tengah ruangan bercahaya remang tersebut.  Pak Sudibyo dan istrinya, melihat ke arah sosok sang pemilik suara, yang ternyata seorang perempuan, dengan paras yang teramat cantik. Kisaran usia tiga puluh, dengan wajah putih mulus dan rambut hitamnya yang lurus dan panjang. Berpakaian baju kemben berwarna merah maroon dan selendang berwarna merah muda, yang wanita itu fungsikan sebagai penutup area pundak dan lengannya. Dipadu dengan kain samping berwarna kuning keemasan di bagian tubuh.  "Apakah Anda K—Kanjeng Dewi?" tanya Pak Sudibyo terbata.  "Betul. Saya Kanjeng Dewi, sesorang yang kalian cari di tempat ini. Apakah kalian sudah tahu maksud dan tujuan kalian datang kemari? Dan apakah kalian juga tahu segala hal yang mesti kalian lakukan dalam pemujaan terhadapku? Tentu saja, dengan semua resiko yang harus kalian tanggung jika kalian mengingkarinya." "Y—ya, kami sudah tahu, Dewi!" Suara desisan ular di sekitar area itu tidak menghilang seiring kedatangan sang pemilik tempat, malah semakin kencang terdengar di telinga kedua orang tersebut. Hal itu mungkin dianggap sesuatu yang aneh, tetapi bagi Pak Sudibyo dan istrinya, itu bukanlah sesuatu yang baru.  "Lantas, apa ada hal yang ingin kalian tanyakan atau masih membuat kalian bingung?" tanya sosok wanita tersebut, tampak berdiri di atas sebuah batu besar yang datar.  "Ehm, mungkin sedikit lebih diperjelas lagi, Kanjeng Dewi. Khawatir, kami berdua salah menangkap apa-apa saja hal yang harus kami lakukan, dan tentu saja apa yang akan kami dapatkan dari perjanjian tersebut." Wanita itu sedikit bergerak dengan langkah kaki yang terlihat gemulai. Menuruni tangga berbatu, yang sebelumnya tidak Pak Sudibyo dan Bu Ranti lihat, tetapi kini jelas ada di sana.  "Persyaratan perjanjian dariku mudah saja. Setiap malam bulan purnama, aku meminta hakku padamu, yaitu untuk menggauli aku. Gauli aku di dalam sebuah kamar, yang aku minta kalian siapkan khusus untukku. Sebagai balasannya, akan ada sejumlah uang yang akan kalian dapatkan di kamar tersebut, di waktu subuh menjelang. Tentu saja semua akan muncul, setelah kamu selesai melaksanakan kewajibanmu." Wanita itu kini sudah berada di undakan tangga terakhir. Kemudian berjalan mendekat, menghampiri Pak Sudibyo dan istri. "Aku tidak meminta tumbal atau pun korban seperti perjanjian yang kalian berdua lakukan dengan jin yang lain. Namun, jika kalian melanggar perjanjian ini maka salah satu anggota keluarga kalianlah yang akan aku ambil, untuk dijadikan tumbal. Apa kalian mengerti?" "M—mengerti, Kanjeng Dewi." "Dan satu lagi, kesepakatan di antara kita berlaku seumur hidup. Tak ada alasan yang bisa membatalkan perjanjian ini, kecuali masa kontrak kamu dengan Tuhan untuk tinggal di dunia ini sudah habis. Maka, otomatis perjanjiannya batal. Jadi, tak ada hubungan intim, maka tak ada kewajiban dariku pula untuk memberimu harta. Sampai di sini apa kalian sudah paham?" Pak Sudibyo terlihat menganggukkan kepalanya, tanda mengerti. Hanya Bu Ranti yang terlihat sedikit shock, setelah mendengar perjanjian di antara mereka. Wanita itu, yang sejak awal sudah melarang sang suami untuk kembali melakukan pemujaan terhadap jin, semakin merasa terkejut dan seolah tidak rela dengan persyaratan yang diajukan.  "Ternyata, melakukan pesugihan dengan jin mana pun, tak ada yang mudah atau pun menyenangkan. Semuanya pasti adalah hal yang sulit yang harus dikerjakan." Pikirnya dalam hati.  "Sepertinya, ada seseorang yang tidak setuju dengan kesepakatan perjanjian kita. Benar begitu?" tanya sosok itu melihat ke arah Bu Ranti.  Pak Sudibyo ikut menatap ke arah perempuan di sebelahnya, yang si jin lihat. Tampak gugup karena dilihat oleh dua orang di depan dan sebelahnya, Bu Ranti hanya tersenyum canggung dengan wajah yang mengkerut ketakutan.  "Bukan saya tidak setuju, Kanjeng Dewi. Hanya saja, sebagai istri tentu saja ada rasa tidak rela mengetahui jika sang suami akan melakukan hal yang seharusnya hanya dirinya lakukan, dengan wanita lain." "Bu!" seru Pak Sudibyo dengan sedikit geraman.  "Haha, itu memang terdengar menyakitkan. Tapi, memang itu persyaratan yang aku ajukan pada setiap lelaki yang ingin melakukan pesugihan denganku. Dan sayangnya, kalian sudah tidak bisa mundur lagi jika sudah sampai di sini." Sosok jin itu menatap tajam Bu Ranti, dengan bola matanya yang tiba-tiba berwarna merah, mengejutkan wanita itu hingga sedikit memundurkan tubuhnya ketika si jin mendekatkan wajah ke arahnya.  "Rela tidak rela, suka tidak suka, ini semua harus terjadi. Kalau tidak, kalian akan tahu resiko yang akan aku perbuat." Sosok jin wanita itu kemudian berjalan menuju ke arah tempatnya semula. Meninggalkan pasangan suami istri tersebut, yang sedikit tidak akur.  "Maaf Kanjeng Dewi, kapan perjanjian ini dimulai?" "Tentu saja sejak kalian menginjakkan kaki di tempat ini. Maka sejak itu pula perjanjian kita dimulai dan berlaku." "E—hm, maksud saya mengenai syarat yang Kanjeng Dewi ajukan, mulai kapan itu dilakukan?" tanya Pak Sudibyo.  Entah apa yang ada di benak pria itu saat ini. Apakah karena begitu terpesonanya dengan kecantikan jin wanita yang saat ini akan menjadi majikannya, atau karena itu hanya sebuah pertanyaan yang membutuhkan kejelasan saja, sehingga ia menanyakan hal inti dari perjanjian mereka.  "Aku akan datang ke dalam kamar yang sudah kalian siapkan, tepat saat kalian kembali ke rumah. Dan saat itu juga, kewajibanmu harus segera kamu lakukan." Jin wanita itu sudah kembali berdiri di tempatnya semula, menatap tajam ke arah Pak Sudibyo dengan senyum tipis tersungging.  "Sekarang kalian bisa pergi dari sini. Persiapkanlah apa yang aku minta. Setelahnya, tinggalkan kamar itu. Dan tidak boleh ada siapa pun yang masuk ke dalam kamar milikku. Apakah kalian mengerti?" "Kami mengerti, Kanjeng Dewi. Kalau begitu kami berdua mohon pamit. Segera kami akan melakukan apa yang harus kami lakukan." Tanpa menunggu jawaban dari si jin wanita, yang ternyata tiba-tiba menghilang, Pak Sudibyo dan Bu Ranti pun pergi meninggalkan tempat tersebut. Namun, betapa terkejutnya mereka, saat berbalik hendak kembali ke pintu berbentuk lempengan batu di belakang keduanya, ada dua ular hitam berukuran sedang, melingkar di samping kanan dan kiri pintu, seolah sedang bertugas menjaga.  "Pak!" lirih Bu Ranti bersuara pelan.  "Sepertinya mereka tidak ingin menyerang atau pun mengganggu. Kita lewati saja, tanpa harus banyak bertanya." Apa yang dikatakan oleh pria itu ternyata benar, kedua sosok ular hitam itu sama sekali tidak bergeming dari posisinya. Mereka membiarkan pasangan suami istri itu lewat dan keluar.  "Kalian sudah bertemu dengan Kanjeng Dewi? Sudah bicara dengan beliau?" tanya Mbah Purwo pada Pak Sudibyo, ketika keduanya keluar dari dalam area gua.  Pria tua itu ternyata meninggalkan Pak Sudibyo dan sang istri. Ia menunggu di luar gua dan berdiri di sana dengan tatapan sedikit cemas.  "Sudah, Mbah. Kami sudah bertemu. Dan sekarang, kami harus pulang untuk menyiapkan apa yang diminta oleh Kanjeng Dewi." "Baiklah. Pulanglah jika itu yang dikatakan oleh Kanjeng Dewi. Semoga kalian bisa menunaikan semua perjanjian yang sudah kalian sepakati." "Ya, kalau begitu kami pamit pulang, Mbah. Terima kasih kami ucapkan kepada Mbah yang sudah membantu, sehingga kami bisa bertemu dengan Kanjeng Dewi." "Tak perlu berterima kasih saat ini. Karena aku tahu, setelah kalian menjalani ini semua, nanti kalian berdua akan marah dan menyumpahiku. Kalian akan berpikir jika aku tidak melarang dengan sungguh-sungguh." "Kami harap tidak, Mbah. Semua sudah menjadi tanggung jawab kami berdua. Semua resiko akan kami tanggung. Mbah tidak perlu khawatir." "Ya, ya. Baiklah. Lebih baik sekarang kalian pulang. Perjalanan kalian masih panjang menuju rumah. Berhati-hatilah selama dalam perjalanan. Abaikan setiap kalian menemukan hal yang aneh ketika di jalan nanti." "Iya, Mbah. Kalau begitu kami berdua permisi." *** "Jujur saja Ibu tidak rela, Pak, dengan persyaratan yang jin wanita itu ajukan." Dalam perjalanan pulang, Bu Ranti kembali mengeluarkan uneg-unegnya pada sang suami.  "Bu, kita sudah tahu sejak awal jika perjanjian kali ini adalah dengan cara seperti itu." "Tapi, Pak, sejak awal juga Ibu tidak menyetujui perjanjian ini. Bapak yang menginginkannya." "Iya, memang Bapak yang menginginkannya. Tapi, akhirnya Ibu setuju juga 'kan?" "Itu karena Bapak tetap memaksa. Ibu senyumnya heran, apa yang membuat Bapak ingin melakukan perjanjian dengan jin lain? Apakah Bapak masih belum cukup dengan perjanjian kita sebelumnya?" "Belum. Uang yang kita dapat dari perjanjian sebelumnya hanya muncul setiap enam bulan sekali. Berbeda dengan yang sekarang, setiap bulan kita akan mendapatkan uang yang banyak, Bu." "Tapi, setiap malam juga Ibu harus merelakan suami sendiri berhubungan dengan wanita lain." Tak ingin memperpanjang masalah, Pak Sudibyo memilih untuk tidak menjawab protes istrinya kali ini. Hal ini tidak akan berujung pada sebuah kesepakatan antara ia dengan sang istri. Sebab, memang sejak awal, Bu Ranti tidak menyetujui keinginan sang suami yang ingin melakukan pesugihan di tempat lain.  Hingga perjalanan keduanya sampai di rumah, tak ada lagi percakapan yang terjadi. Bu Ranti yang memilih diam dengan wajah yang ditekuk, sebab kesal, langsung masuk ke dalam kamar. Sedang Pak Sudibyo, langsung masuk ke dalam kamar yang selama ini ia gunakan sebagai kantor tempatnya bekerja di rumah, yang tak ada seorang penghuni rumah pun yang tahu, hanya ia dan sang istri. Kamar yang berada tepat di seberang kamar sang putri, Vita. Sebuah kamar yang terhalang tangga penghubung lantai, yang selalu memiliki daya tarik tersendiri bagi Vita jika hendak masuk ke dalam kamarnya.  "Malam ini harus selesai. Dan aku bisa memulai semuanya." Lelaki paruh baya itu bicara sendiri. Menyemangati dirinya demi tujuan yang memang hanya dirinya yang inginkan.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN