"Apakah Mbak sedang mengkhayal?"
Pertanyaan Fajar terus saja menggaungi otak dan pikiran Vita.
"Benarkah tadi dirinya mengkhayal? Tapi, mengapa kejadian itu seolah nyata." Terus batinnya bicara.
Vita memilih menyudahi kegiatan mandi. Membiarkan sang adik kembali ke kamarnya, meninggalkan ia yang terheran-heran karena peristiwa yang masih segar dalam ingatan.
"Mana mungkin aku mengkhayal. Itu nyata adanya," gumam Vita.
Setelah acara mandi yang terpaksa ia sudahi, Vita kini hendak menjalankan salat wajib yang belum sempat ia lakukan ketika sampai rumah. Peristiwa ganjil yang baru saja menimpanya, membuat waktu salat ashar terbuang cukup banyak.
"Apakah ini adalah sebuah kesengajaan supaya aku mengulur waktu salat dan akhirnya habis sebab tak kunjung aku kerjakan?" batin Vita bertanya pada dirinya sendiri.
Jika dipikir-pikir, mengapa hanya ia saja yang mengalami hal-hal ganjil di rumah itu. Terutama sekali saat ia hendak melakukan kewajibannya sebagai seorang hamba, ada saja gangguan yang membuatnya terkadang malas untuk melanjutkan.
Entahlah. Tapi yang pasti, tak pernah sekalipun Vita lalai meskipun harus bergulat dengan hati serta kenyataan di depan mata, di mana ia selalu mendapatkan hal apa saja yang menghalangi.
"Aku lebih takut jika neraka menantiku di akhirat nanti, ketimbang godaan-godaan yang menurutku hanya sebuah permainan anak kecil atau mungkin orang dewasa yang bertujuan iseng atau mencegah."
Mencoba melupakan apa yang terjadi padanya di waktu sore tadi, kini gadis itu memilih untuk pergi ke luar rumah bertemu dengan teman-temannya di mushola setelah ia selesai salat maghrib.
"Kamu mau ke mana, Vit, malam-malam begini?" tanya sang ibu yang berjumpa dengannya ketika baru saja hendak menuruni tangga.
"Ke mushola, Bu. Ada pengajian rutin mingguan."
Terlihat wajah murung yang terlihat oleh Vita di wajah sang ibu kini. Entah apa yang membuat ekspresi itu seketika berubah. Tak ingin bertanya khawatir menyinggung, gadis itu memilih untuk melanjutkan langkahnya.
"Vita berangkat dulu yah, Bu!" pamitnya kemudian.
"E—eh iya," sahut Bu Ranti tergagap.
Wanita itu memandang terus tubuh sang putri yang berjalan menuruni tangga, kemudian berbelok ke arah ruang tamu untuk keluar.
Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, begitu mengetahui sang putri masih rajin menghadiri kajian-kajian ilmu agama. Berbanding terbalik dengannya yang sudah tidak lagi melakukan hal seperti itu. Jangankan menghadiri kajian ilmu, salat wajib lima waktu pun sudah tak pernah ia tunaikan. Semua karena persyaratan yang diberikan oleh jin pesugihan yang ia dan suaminya puja.
"Tak ada lagi salat alias menyembah Tuhan lagi, pengajian-pengajian, baik mengaji kitab suci atau kajian di tempat ibadah. Semua adalah syarat yang aku ajukan!" seru jin pesugihan yang mendiami gunung meribu.
Saat itu, bagi Bu Ranti dan Pak Sudibyo persyaratan itu bukanlah sesuatu yang sulit. Bahkan terlalu mudah, sebab baginya meninggalkan waktu salat adalah hal yang terkadang juga mereka lakukan jika sedang memulung di jalan di waktu siang hingga sore hari. Alhasil, waktu salat dzuhur dan ashar akan mereka lewati sebab alasan pakaian yang kotor dan bau keringat.
Namun, apa yang terjadi kini? Meskipun Bu Ranti bukanlah seorang hamba yang taat dan bukan pula seseorang yang fanatik serta rajin beribadah, tetapi ketika tak ada lagi air wudhu yang mengucur di wajah dan sekujur tangan serta kaki, ketika tak ada lagi momen kening yang menyentuh lantai saat bersujud menyembah Sang Pencipta, hati itu terasa kosong.
Hampa yang kini dirinya rasakan. Setelah ia menikmati kekayaan dari apa yang sudah dilakukannya bersama dang suami, jiwa yang ia rasakan kini seolah tak berpenghuni. Hanya sebuah raga yang bergerak ke sana kemari, berkegiatan membantu menjalankan usaha suaminya, tetapi tanpa ada jiwa yang menyertai.
***
Di mushola At-Taqwa, seperti biasa di setiap senin malam selalu diadakan kajian mingguan khusus remaja dan para pemuda.
Meskipun pesertanya tidak banyak, tetapi selalu saja ada yang hadir untuk menikmati siraman rohani yang pastinya membuat sejuk hati siapapun yang datang dengan tujuan baik.
Termasuk Vita dan Yani salah satunya. Kedua sahabat yang selalu ada dalam suka maupun duka. Berdua baik ketika di tempat kerja ataupun nongkrong, mereka akan terlihat bersama.
"Ngomong-ngomong, si Revan tumben hadir?" celetuk Vita pada sahabat di sebelahnya. Ia baru sadar ketika melihat sosok temannya itu duduk di pojokan bersama temannya yang lain.
"Ada si Laras, Vit," sahut Yani.
Vita pun melirik ke arah bagian akhwat. Ya, di sana ada sosok gadis ayu tengah berbincang dengan salah satu temannya, dan pemandangan itu tak lepas dari kedua mata Revan.
"Dasar buaya! Hadir ke pengajian karena ada yang diincar!" kekeh Vita menanggapi kelakuan temannya itu.
"Si Laras juga sama, Vit," sahut Yani.
"Eh, maksudnya?" tanya Vita tak mengerti.
"Loh, emang kamu enggak merhatiin, si Laras juga 'kan jarang hadir. Tapi, tumben tuh dia hadir hari ini."
"Ya, mungkin karena malam ini ia sempat hadir. Kalau kemarin-kemarin sibuk." Vita menjawab dengan pemikiran positif.
Yani menatap kesal pada sahabatnya yang selalu saja berpikiran baik. Meski begitu, Yani senang bersahabat dengan Vita karena sifat dan pemikirannya itu.
"Bukan begitu, Vit. Apa kamu lupa kalau malam ini ada Mas Ardan yang akan mengisi kajian?"
Vita terkejut. "Mas Ardan? Mas Ardan anaknya Ustadzah Zahra?"
"Bukan. Tapi anaknya Ustadz Ridwan!"
"Yee, sama aja, Yani!"
"Ya, lagian kamu juga. Memang Mas Ardan siapa lagi di daerah kita."
Vita terlihat keki mendapati balasan sang sahabat padanya.
"Terus apa hubungannya sama Revan dan Laras dengan pengisi kajiannya Mas Ardan?" Ada getar yang tetiba hadir di dalam hatinya begitu nama lelaki itu keluar dari mulutnya sendiri.
"Si Revan hadir karena ada Laras di sini. Sedangkan si Laras tumben juga hadir kajian malam ini karena ada Mas Ardan yang mengisi," ujar Yani.
"Su'udzon kamu, Yan!" sahut Vita tersenyum sembari menepuk pundak gadis di sebelahnya itu.
"Yee, dibilangin enggak percaya." Kalimat Yani hanya dibalas senyuman yang Vita berikan. Sebab tak lama kemudian sosok pemuda tampan dengan pakaian koko dan peci hitam, masuk ke dalam area mushola dengan membawa sebuah kitab yang ia pegang di tangannya.
Entah mata Vita yang salah atau ia yang terlalu ke-PD-an, ia melihat sang lelaki sempat memandang ke arahnya sembari melempar senyum yang membuat d*da Vita tiba-tiba berdebar.
Ardan, pemuda yang kini duduk di tengah-tengah ruangan itu, memang sempat memberikan senyuman manisnya kepada Vita.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."
Kalimat sapaan yang Ardan berikan, dijawab kompak oleh beberpa remaja dan pemuda di dalam mushola itu.
"Apa kabar adik-adik serta teman-teman semua?"
"Baik." Kembali jawaban yang sama serta intonasi yang sama pula.
"Alhamdulillah. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana malam ini masih diberikan nikmat sehat, nikmat usia dan tentunya nikmat iman, sehingga masih diberi kesempatan untuk berkumpul di dalam majlis yang mulia ini."
Kalimat-kalimat pembuka terus mengalir dari bibir pemuda yang baru saja pulang dari kuliahnya di Mesir tersebut, dalam menimba ilmu hadits selama beberapa tahun kuliah di sana.
Vita memang sangat mengenal Ardan. Lelaki dua puluh lima tahun yang sudah sejak lama bertetangga dengannya, bahkan ketika rumah yang ia tempati masih berupa gubuk reot dengan bocoran atap di atasnya.
Lelaki yang kini bicara di depannya itu tak pernah berubah. Masih sama seperti Ardan yang ia kenal, baik dari mereka masih remaja, bahkan meski beberapa tahun tidak bertemu sebab melanjutkan pendidikan kuliahnya di luar negeri, hingga saat ia kembali pulang dan bertemu lagi dengan Vita, sifat dan sikapnya masih sama.
Jujur saja Vita dulu hanya menganggap Ardan sebagai seorang teman yang usianya terpaut lima tahun dengannya. Namun, ketika usia mereka semakin dewasa, rasa yang ada di dalam hatinya lambat laun berubah.
Vita tidak tahu kenapa, sebab ia tidak pernah sengaja untuk mengontrol hati dan perasaan di dalamnya. Pun ketika ada sosok perempuan lain yang sama menyukai Ardan, Vita cemburu. Tapi, ia sadar diri. Siapalah ia bagi lelaki tampan yang pastinya digandrungi oleh para gadis dan ibu-ibu di perumahan.
"Shut! Kok malah ngelamun? Kamu enggak dengerin Mas Ardan apa?" Yani menyenggol dan berbisik di telinga Vita.
"E—eh, dengerin kok!" Vita gelagapan. Ia malu tertangkap basah oleh Yani.
"Ya, Vita dan Yani, apa kalian berdua bisa mengulang hadits yang sudah aku sebutkan tadi?" seru Ardan dari arah depan dengan menampilkan senyuman yang begitu manis. Membuat kedua gadis tadi terkejut bukan main.
"I—iya, Mas?"
***