Bab 4. Di Rumah Kevin

1525 Kata
Mobil Kevin meluncur cepat meninggalkan lokasi pernikahan. Dinda mengatur napas karena ia semakin gugup. Ia sudah terbiasa dengan keheningan karena ia tinggal bersama neneknya yang tuli. Jadi, ia tidak masalah ketika Kevin hanya diam saja di mobil. Dinda pun tak tahu harus mengajaknya bicara apa untuk memulai obrolan. Dinda mendengar sopir mereka berdehem ketika mereka berhenti di lampu merah. Dinda mengangguk padanya karena sopir itu baru saja menoleh. "Salam kenal, Nona. Nama saya Satya, saya sopir sekaligus asisten tuan Kevin," ujar Satya. "Ya. Salam kenal," sahut Dinda. Ia melirik Kevin yang masih tak merespons. "Ehm, selamat, Nona. Selamat, Tuan," kata Satya lagi. Kali ini ia menatap Kevin juga. Dinda menunggu Kevin memberi tanggapan, tetapi pria itu bak boneka. "Astaga, pria seperti apa yang menikahiku?" Dinda hanya bisa membatin. Seperti tadi, ia memutuskan untuk tetap mengunci bibir ketika mobil kembali meluncur. Tiba-tiba, Kevin menarik ujung lengan gaun Dinda. Gadis itu menoleh cepat. "Kita tak akan pergi bulan madu." Ia berkata dengan tangannya. Dinda menelengkan kepala, berharap agar ia tak memerah. "Ya. Itu nggak perlu." Kevin kembali terdiam. Padahal, Dinda masih ingin bertanya ke mana mobil ini akan menuju. Dinda menebak ia akan dibawa langsung ke rumah Kevin. Namun, di mana rumah suaminya, Dinda bahkan tak tahu. Kepala Dinda berputar mengingat kata-kata Daniel tadi. Apakah sebaiknya ia memberitahu Kevin bahwa ia adalah mantan pacar Daniel? Dinda tak ingin ada perasaan yang canggung di antara mereka. Apalagi Daniel tampak mengerikan ketika terakhir kali ia melihatnya. Entah berapa lama Dinda melamun, mobil ini akhirnya berhenti. Dinda menatap ke luar dan langsung ternganga. "Silakan, Nona. Kita sampai di rumah tuan," kata Satya. Dinda keluar ketika Satya membukakan pintu untuknya. Ia mengedarkan mata, rumah ini besar sekali. Ia lalu menatap Kevin. "Rumahku nggak sebesar rumah orang tuamu. Tapi, kamu pasti betah," kata Kevin dengan isyarat. Dinda mengangguk. Kevin mengedikkan dagunya dan Dinda mengikuti langkahnya masuk rumah. Dinda semakin gugup karena baginya rumah ini tetap besar sekali. Ini adalah rumah mewah. Dinda tak heran, keluarga Kevin adalah pengusaha besar. Beberapa pelayan menyambut kedatangan kami. Dinda sudah cukup terbiasa diperlakukan seperti tuan putri selama seminggu ini. Jadi, ia juga tak heran karena mereka terlihat menghormatinya. Padahal, sebelumnya ia hanya gadis miskin. Andai mereka tahu yang sebenarnya. "Nona, barang-barang Anda sudah diantarkan oleh sopir keluarga Anda tadi malam, jadi Anda tak akan kesulitan menemukan pakaian ganti," kata Satya. "Ya. Makasih," ucap Dinda. Ia menoleh, Kevin baru saja menaiki anak tangga. "Sebaiknya Anda susul tuan ke kamar." Dinda mengangguk. Hampir tak bisa bernapas karena ia tak pernah membayangkan untuk tinggal sekamar dengan seorang pria. Namun, karena Kevin tak bicara apa pun, ia pun mengikuti langkahnya lagi. Dinda melihat Kevin menutup pintu kamar. Ia tak percaya, ia ditinggal begitu saja. Jadi, Dinda mengetuk pintu kamar itu lalu membuka sedikit. Kevin menoleh dengan ekspresi yang seolah baru sadar ada sesuatu yang tertinggal di belakangnya. "Ehm, apa aku juga harus tidur di sini?" Dinda bertanya dengan suaranya. Kevin mengangguk. "Masuklah." Dinda melakukan apa yang dikatakan Kevin. Ia menutup pintu. Kamar ini luar biasa besar! Jauh lebih besar dari kamarnya yang ada di rumah Mahendra. Sebenarnya itu bukan kamarnya juga, tetapi kamar tamu. Mahendra tak pernah menyiapkan kamar khusus untuknya. "Sudah sore. Aku harus mandi," kata Kevin. "Oke." Dinda mengangguk. Ia duduk dengan ragu di tepi ranjang. Alih-alih segera mandi, Kevin masih mengamati Dinda. Dan itu membuat Dinda semakin tak bisa bernapas. Dinda menyentuh dadanya. Gaunnya terasa sangat ketat hingga Dinda merasa akan lebih baik jika melepaskannya. "Kamu baik-baik saja?" tanya Kevin ketika ia melihat ketidaknyamanan dalam diri Dinda. Dinda mengangguk. Namun, napasnya seperti tercekat. Dinda lantas mengulurkan tangan untuk menjangkau resleting gaun yang ada di belakang punggungnya. "Aku mau ganti baju," kata Dinda. "Ini agak nggak nyaman." Kevin memalingkan wajahnya sekarang. Ia masih berdiri di tempat selama sedetik lalu berjalan menuju lemari. Ia tak bisa membayangkan melihat Dinda melepaskan gaun di depannya. Entah apa tujuan gadis itu membuka tubuhnya sekarang, ia tak ingin melihat. Kevin mendengar Dinda mendesah. Mau tak mau Kevin pun menoleh. "Bisa bantuin nggak?" tanya Dinda dengan wajah memerah. Tangannya tak bisa menyentuh ujung resleting Kevin tak menjawab, tetapi ia berjalan mendekat lalu meminta berdiri dengan gestur. "Balik badan!" Dinda menurut. Ia berdiri dengan posisi memunggungi Kevin. Diam-diam, Kevin menelan saliva ketika ia melihat punggung putih bersih Dinda. Ia menyentuh bahu Dinda dengan lembut. Dinda meremang dan berharap Kevin tak melihatnya. Sayang, Kevin jelas melihat perubahan pada kulit Dinda yang menampakkan bahwa gadis itu merinding oleh sentuhannya. Perlahan, Kevin menurunkan resleting gaun Dinda. Gaun itu terbuka lebih banyak dan ia harus menelan keras. Dinda tak mengenakan bra karena ini adalah gaun kemben, jadi tubuh Dinda langsung terekspos begitu ia membukanya. Kevin mendengar helaan napas lega Dinda. Ia semakin tak tahan jika harus berdiri di belakang tubuh Dinda, apalagi gaun itu sudah hampir melorot. Jadi, ia segera menjauh. "Makasih, Mas." Dinda hampir membalik badan, tetapi gaun itu merosot dengan cepat ke lantai seperti prediksi Kevin. Dinda pun terkesiap dan buru-buru membungkuk untuk mengambil gaun. Ia menutupi tubuhnya dengan gaun yang ia naikkan hingga ke d**a. Dinda menoleh dengan gelisah. Kevin tak ada! Dinda tak tahu kapan pria itu pergi. Ia mengedarkan mata. "Ya, ampun. Aku kira dia masih di sini," gumam Dinda. Ia menatap pintu kamar mandi. Kevin pasti ada di sana. "Lebih baik aku ganti baju." Sembari menunggu Kevin mandi, Dinda membersihkan riasan di wajahnya. Ada banyak hal yang telah disiapkan di kamar ini termasuk berbagai skincare dan make up mahal. Dinda yakin ia tak akan sanggup membeli semua ini andai saja ia masih tinggal di rumah neneknya. Dinda menghentikan aksinya mengusapkan kapas. Ia membayangkan neneknya lagi. "Nek, cucumu udah nikah sekarang. Aku nggak tahu apakah pernikahan ini akan membuat aku bahagia atau nggak. Tapi ... aku minta doa nenek." Dinda kembali menatap ke cermin dan kali ini ia dibuat kaget karena Kevin telah berdiri di belakangnya. Agak jauh, tetapi Dinda rasa Kevin telah melihatnya menggunakan bahasa isyarat. "Kamu bicara dengan siapa?" tanyanya. "Nenekku." Dinda menjawab, tersenyum sedikit meskipun wajah Kevin sangat datar. "Nenekku udah meninggal 40 hari yang lalu. Kadang, aku ngerasa kalau nenek masih ada di sekitar sini dan aku seneng ngobrol sama nenek." Kevin mengangkat alisnya. Ia lalu duduk di tepi ranjang. "Kamu nggak tinggal dengan papa kamu. Di mana kamu tinggal selama ini?" Dinda menelan keras. Mungkin, menceritakan semuanya akan membuat Kevin semakin tak menyukainya. Apakah Kevin tahu ia dibesarkan di keluarga miskin, kampungan dan tak berkelas? "Jawab jujur." "Aku tinggal di rumah nenek. Kami hidup sederhana, berbeda dengan Mas dan papa. Sebenarnya, aku nggak tahu kalau aku adalah anak papa," ungkap Dinda. Kevin menatap Dinda penuh tanya. "Jadi, kamu mendadak kaya dan mau dinikahkan denganku? Kenapa?" "Kita udah terlanjur menikah. Kenapa Mas masih tanya?" Dinda balas bertanya. "Karena aku nggak percaya dengan kamu." "Apa?" Dinda ternganga. Kevin tersenyum miring. Dinda baru melihat Kevin tersenyum hari ini. Dan ini adalah jenis senyuman yang tak ramah. "Kamu hidup miskin, kamu mendadak kaya dan kamu mau menikah dengan pria cacat seperti aku. Kamu pasti memiliki motif tersembunyi," kata Kevin. "Kamu bahkan langsung memintaku membuka baju kamu begitu kita masuk kamar. Apa yang kamu mau?" "Kalau Mas nggak percaya sama aku, seharusnya Mas menolak perjodohan kita," kata Dinda sengit. Mendadak ia kesal dengan Kevin yang memiliki pemikiran buruk tentangnya. "Aku butuh pernikahan ini untuk menguatkan posisiku di perusahaan," kata Kevin. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan. Ia terlihat kesal dengan Dinda. "Aku hanya ingin bilang kalau pernikahan ini nggak ada artinya, jadi kamu nggak perlu berharap banyak. Kamu menginginkan uang, kamu pasti akan mendapatkannya. Tapi, jika kamu menginginkan hal lain seperti cinta, kamu jangan berharap. Aku nggak akan tergoda dengan tubuh kamu." "Aku nggak mau uang dari Mas." Dinda merasa tersinggung. Dinda sempat mengira mas Kevin adalah pria baik, tetapi ternyata ia picik juga. "Dan aku nggak bermaksud menggoda Mas!" "Benarkah?" Kevin menatap Dinda dengan ekspresi mencela. "Aku tahu Irish yang sebenarnya dijodohkan denganku. Tapi, dia menolak. Dan papa kamu dengan cepat mengganti gadis yang seharusnya menjadi istri aku. Aku tahu, papa kamu orang yang haus akan uang. Dan kamu ... aku yakin kamu nggak berbeda." "Jangan sembarangan!" gertak Dinda seraya berdiri. "Aku bukan gadis murahan." "Aku nggak percaya dengan kamu," kata Kevin. "Nggak percaya, ya udah. Mungkin selama ini, ada banyak orang yang berusaha menyakiti hati Mas hingga Mas nggak bisa percaya dengan orang lain. Tapi, nggak semua orang itu punya pemikiran jahat! Mungkin selama ini Mas emang aja nggak pernah mau mencoba untuk percaya sama orang lain!" Dinda meninggalkan Kevin yang baru saja mengubah ekspresinya. Kevin menatap Dinda hingga gadis itu menghilang di balik pintu kamar mandi. Ia mengerjap. Apakah ia sudah bicara kasar? Apakah ia sudah menyakiti gadis itu? Ah, Kevin menggeleng. Pernikahan ini memang hanya sandiwara, jadi ia tak perlu menggunakan perasaan. Kevin baru saja hendak berdiri ketika ia mendengar pekikan keras dari dalam kamar mandi. Sontak ia menoleh ke pintu kamar mandi yang ternyata tak ditutup rapat. "Persetan dengan semua kekayaan kalian! Kalian pikir ... aku haus harta benda? Wah! Aku nggak bakal nikah sama cowok dingin yang suka menghina itu kalau aku nggak punya tanggungan utang! Sial! Sial!" Kevin menelan keras mendengar umpatan Dinda. Mungkin memang benar ia telah menyinggung istri kecilnya itu. Dan kini, ia merasa agak menyesal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN