“Pokoknya aku enggak mau dijodohin, Bu. Titik. Kalau Ibu maksa, aku batal pulang!”
Aku mengatakan kalimat itu dengan tegas. Ini tidak bisa diganggu gugat. Kalau Ibu masih memaksaku juga, lebih baik aku tidak jadi terbang dan merelakan tiket bisnisku hangus.
“Jangan, to, Da! Sayang tiketnya. Ayahmu udah mesenin tiket bisnis. Mahal, lho, harganya.”
“Enggak ada yang minta juga, Bu. Aku naik ekonomi pun enggak masalah.”
Terdengar helaan Ibu di seberang sana. Aku tidak akan luluh kali ini. Aku sudah tidak mau sejak awal, tetapi Ibu masih saja menyinggung hal menyebalkan itu berulang kali.
“Ya udah, enggak. Lupakan dulu tentang perjodohan. Tadi Ibu cuma nanya aja. Yang penting kamu harus jadi pulang. Ibu udah belanja buat masak makanan kesukaanmu.”
“Beneran, ya, Bu! Kalau di rumah masih bahas tentang perjodohan terus, aku balik ke Jakarta lagi dan enggak mau pulang.”
“Yaaa!”
Panggilan akhirnya berhenti. Aku memasukkan ponsel ke dalam tas, lalu memejamkan mata sesaat. Saat ini aku sudah berada di ruang tunggu bandara, sebentar lagi masuk pesawat. Ibu menelepon karena beliau tak sabar aku tiba di rumah.
Namun, Ibu tetaplah Ibu. Selalu saja ada topik random yang tiba-tiba beliau angkat dan membuatku kesal. Akhir-akhir ini topiknya sama, yakni tentang perjodohan. Topik mainstream yang sudah ketinggalan zaman.
Memangnya aku setidak laku itu sampai orang tuaku getol sekali mencarikanku jodoh? Aku tidak pacaran bukan karena tak laku, tetapi tak sempat.
Oh ayolah, aku sudah sangat sibuk. Terlebih dua tahun terakhir ini. Hidupku hanya berputar-putar di rumah sakit dan apartemen. Kalau tidak praktek, ya tidur. Itu saja.
Ya, begitulah kehidupan dokter gadungan yang sedang koas. Jangankan memikirkan cari jodoh, makan saja kadang sampai lupa.
Aku serius soal ini. Saking sibuknya, terkadang aku sampai lupa makan. Parahnya lagi, seringkali aku jaga sampai tiga puluh enam jam nonstop. Masih bisa hidup saja kurasa patut diapresiasi.
Selain itu, aku juga merasa masih muda. Saat ini aku masih dua puluh empat tahun lebih sedikit. Menikah belum ada dalam rencanaku dekat-dekat ini. Mungkin aku menikah dalam dua atau tiga tahun kedepan? Ya, kisaran itulah.
Namun, memang, soal jodoh aku tidak pernah bisa menjamin. Semua sudah diatur oleh Yang Punya Hidup. Terserah Dia ingin memberiku jodoh di umur berapa dan di waktu kapan. Ya, sekalipun manusia tetap saja harus ada usaha untuk menjemputnya. Dan aku merasa belum saatnya menjemput jodoh. Aku masih igin menikmati masa-masa berjuangku yang tinggal sebentar lagi.
“Lama amat, sih!” aku mulai kesal sendiri karena waktu terasa berjalan sangat lambat.
Aku mendadak menyesal berangkat ke bandara terlalu awal. Aku sudah menunggu di tempat ini sejak tadi. Mungkin karena semula aku semangat ingin pulang, tetapi di tengah jalan semangatku terpatahkan oleh telepon dari Ibu.
Setelah menunggu kurang lebih dua belas menit, akhirnya ada pengumuman untuk segera masuk. Aku langsung berdiri dan lekas antre. Koperku masuk bagasi karena besar, jadi aku tidak membawa apa pun lagi selain tas selempang yang berisi kebutuhan basic.
Karena aku naik kelas bisnis, tentu aku bisa masuk lebih dulu. Sebenarnya ini agak berlebihan. Jakarta-Semarang itu dekat. Naik kelas bisnis hanya akan buang-buang uang saja. Biasanya juga aku pulang naik kelas ekonomi. Aku bukan Shenna— sahabatku— yang harta orang tuanya tak habis tujuh turunan.
Aku adalah Rizda Diany Ekawira, anak dari pasangan tukang bengkel dan mantan guru honorer. Tapi sebentar … apa aku akan terlihat seperti orang yang kurang bersyukur karena terkesan mendiskreditkan pekerjaan ayah?
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan istilah tukang bengkel karena kerjaan Ayah memang sehari-hari di bengkel. Tiap harinya beliau memeriksa bengkel-bengkel kesayangan yang menyebar di penjuru Semarang. Mengontrol semua cabang beroperasi dengan benar dan minim keluhan. Baik itu secara offline— jika diperlukan— ataupun secara online.
Ya, begitulah kira-kira.
“Ah, akhirnya bisa duduk nyaman juga.”
Memang, ada harga, ada pula fasilitas yang ditawarkan. Kelas bisnis memang tidak bisa bohong. Hanya saja, selisih berjuta-juta untuk satu jam lebih beberapa menit, bagiku masih sayang. Namun, ya sudahlah. Karena ini Ayah yang membelikan, aku tinggal menikmati saja.
Berselang beberapa detik, ada penumpang lain yang duduk di sebelahku. Dia laki-laki berperawakan tinggi. Kelihatannya masih muda. Aku belum melihat jelas wajahnya karena aku hanya melirik sekilas.
“Duh! Tiba-tiba males pulang,” aku menggumam pelan sembari menatap luar jendela. “Semua ini gara-gara Ibu!”
Tiap ingat perjodohan, di situlah aku ingin marah. Sumpah demi apa pun, perjodohan sudah sangat ketinggalan zaman. Mungkin memang masih ada yang memakai cara itu, tetapi tidak denganku.
Aku benar-benar tidak mau!
Akhirnya, pesawat pun lepas landas. Aku memasang earphone dan memutar musik, lalu duduk melamun sembari menatap pemandangan awan di luar sana. Kebetulan, cuaca sedang cukup cerah. Karena aku terbang sore, maka pemandangannya terasa lebih aesthetic. Awal-awan tidak hanya berwarna putih dan biru, tetapi ada sorot keemasan yang menurutku semakin mempercantik secara keseluruhan.
Di tengah-tengah perjalanan, aku diberi makanan oleh pramugari. Ini juga salah satu perbedaan yang mencolok antara kelas bisnis dan ekonomi. Di ekonomi, kalau lapar masih harus beli. Sedangkan di bisnis sudah free.
Ya iyalah, bayarnya saja berkali lipat lebih mahal! Kalau masih bayar juga, akan kudemo pihak maskapainya.
Orang di sampingku juga mulai makan. Aku belum berani menoleh dan mengamati seperti apa dia. Aku hanya sekilas paham kalau dia laki-laki dengan wangi maskulin yang cukup menggetarkan hati.
Aduh! Istilah lebay ini jelas kudapat dari Shenna. Menggetarkan hati, katanya? Aku jadi bergidik geli sendiri.
“Mbak …” tiba-tiba saja, laki-laki itu memanggil.
“Iya?” aku menoleh. Ternyata dia kini mengenakan masker.
“Mau makanan saya? Kelihatannya Mbaknya lapar. Saya baru ambil dessert-nya aja. Menu utama belum tersentuh.”
“O-oh, enggak, enggak. Emang saya ini makannya cepat, jadi kelihatan rakus.” Aku meringis.
Sungguh memalukan! Aku lupa mengurangi kecepatan makanku.
Sejak koas, aku terbiasa makan cepat. Rata-rata temanku juga begitu. Ada yang tadinya kalau makan leletnya minta ampun, setelah koas jadi kilat. Kami seringkali dikejar-kejar, jadi apa-apa rasanya harus serba cepat.
“Ya sudah.” Laki-laki itu akhirnya mulai makan menu utama. Makannya lambat sekali. Terlihat ogah-ogahan. Entah memang cara makannya begitu, atau dia sedang kurang berselera.
Kini dia sudah melepas maskernya, tetapi aku tidak berani menatap wajahnya. Yang jelas, penampilannya tadi tampak bagus. Kalau dengan masker, dia tampak tampan.
Namun, ini tidak menjamin. Pasalnya, tidak sedikit laki-laki yang tampan ketika mengenakan masker, tetapi biasa saja begitu maskernya dilepas.
Iya, kan?
Kurang lebih setengah jam kemudian, akhirnya pesawat mendarat di Bandara Jederal Ahmad Yani, satu-satunya bandara yang ada di Semarang. Bandara yang lokasinya cukup jauh dari rumahku.
Lagi-lagi, antre. Aku menunggu orang-orang di depanku keluar lebih dulu. Termasuk laki-laki jangkung ini.
Duh, wanginya!
Satu botol dia semprot semuanyakah?
Setelah keluar dari pesawat, aku langsung bergegas menuju tempat pengambilan koper. Biasanya aku cukup membawa koper kabin, tetapi karena pulang kali ini kemungkinan akan lama tinggal di Semarang, jadi yang kubawa adalah koper besar ukuran dua puluh enam inchi. Pasalnya, banyak barang penting yang harus kubawa pulang. Koper kabin jelas tidak akan cukup.
“Oh, itu koper gueeeh …”
Aku menunggu koperku berjalan ke arahku. Koper ini pemberian Shenna, oleh-oleh dia liburan ke Thailand. Waktu itu aku butuh koper besar, tetapi tidak ada. Jadi, koper itu dia berikan padaku.
Baru saja aku hendak mengambil koper itu, tiba-tiba sudah ada tangan lain yang mengambil lebih dulu. “Lho, itu koper saya—”
“Ini koper saya.”
Mataku melebar kaget saat menyadari kalau yang berdiri di depanku adalah laki-laki yang duduk di sebelahku tadi. Aku hafal dengan kemeja merah marunya yang membuat kulitnya jadi terlihat sangat cerah.
Wow! Ternyata dia lebih tampan ketika membuka maskernya. Pemandangan dengan masker belum ada apa-apanya.
“Kamu mau bengong kaya gitu terus? Ini koper saya.”
“Lah, ini koper saya, kok— eh … bukan ternyata.” Aku meringis saat melihat ada stiker hitam bertulisakan salah satu kampus negeri di Semarang. “Sama doang berarti. Hehehe! Maaf.”
“Itu milikmu.”
Laki-laki menunjuk koper yang baru saja lewat.
“O-oh iya!” aku segera mengambil koperku, lalu kembali ke tempat tadi. Sayangnya, laki-laki itu sudah meghilang. “Buset! Dia demit, kali, ya? Cepet amat ngilangnya?”
Karena tidak mau ambil pusing, akhirnya aku segera keluar. Ternyata laki-laki itu sudah antre di depan. Entah kenapa, aku tersenyum.
“Pesona pria matang emang beda, ya, Bund! Awww!” aku mengumam sendiri, excited sendiri. “Oke, lupain. Anggap aja ini intermezzo.”
Begitu keluar bandara, aku langsung pesan gocar. Ibu sudah menungguku di rumah. Beliau bahkan sudah pamer bahan masakan yang sebentar lagi akan beliau masak agar saat aku tiba, masakan beliau masih hangat dan fresh.
Namun, belum sempat aku menekan tombol ‘pesan’ pada aplikasi, tiba-tiba aku mendengar bunyi koper jatuh. Aku langsung menoleh, ternyata laki-laki merah marun tadi sedang jongkok dengan posisi koper ambruk ke samping.
“Eh, Mas, Mas! Ada apa?” aku berlari menghampirinya. “Masnya yang barusan, kan? Itu koper kita sama— ya ampun, pucatnya!”
Aku refleks menariknya berdiri dan membawanya ke tempat duduk terdekat. Setelah itu, aku menarik koper kami agar tidak hilang. Tak lupa, aku juga mengecek kondisinya seperlunya.
Laki-laki itu memejamkan matanya, tampak kesakitan. Sebelah tangannya juga terus memegangi perutnya.
“Mas, hallo? Apanya yang sakit? Perut? Apakah mag? Atau asam lambung?”
Tidak ada jawaban. Aku menunggunya memberi respon.
“Mas? Atau saya lapor satpam aja biar diurus?”
Saat aku berdiri tegak, dia menahan tanganku. Hanya beberapa detik, lalu dilepas lagi. Jujur, aku sempat berdebar hanya karena kulit kami bersentuhan.
“Tidak perlu. Saya minta tolong ambilkan obat di koper. Ada di dalam resleting depan.”
“O-oke.”
Aku langsung menarik kopernya dan membuka resleting bagian depan. Aku ngambil kotak obat dan membaca merk-nya. Ini adalah obat asam lambung kronis.
“Beneran asam lambung ternyata.”
“C-cepat! Bawa sini!”
Aku lekas memberikan obat itu dan dia langsung meminumnya dengan air mineral yang dia bawa. Setelah itu, dia menyandar lagi dengan mata terpejam.
Aku tidak tahu sekronis apa asam lambungnya sampai dokter menyarankan obat itu. Dia juga kelihatan kesakitan. Kurasa, sakitnya ini sering kambuh sampai dia membawa obat itu ke mana-mana.
Beberapa saat berlalu, laki-laki itu masih diam. Entah kenapa, aku juga enggan meninggalkannya. Padahal, aku kenal dia saja tidak.
“Mas ... are you ok?”
Dia akhirnya membuka mata dan menatapku. Aku pun balik menatapnya.
“Apa asam lambungnya separah itu?” tanyaku pelan.
“Refleksmu cukup bagus. Apa kamu seorang dokter?”
Aku tersenyum. “Saya belum jadi dokter betulan. Saya baru selesai koas.”
“Oh.”
Sebelum menjadi canggung dan kikuk sendiri, akhirnya aku agak menjauh. Aku mengambil buku kecil di tasku, lalu menuliskan sesuatu di atasnya. Setelah itu, aku menyerahkan kertas itu padanya.
“Saya memang belum jadi dokter sungguhan. Tapi ini saya ada resep obat asam lambung yang lebih aman. Jangan pakai obat itu sering-sering karena dosisnya terlalu tinggi. Bahaya jangka panjang buat ginjal. Gunakan kalau benar-benar urgent saja. Terus, cobalah untuk makan teratur dan kurangi stress. Masnya tahu? Akhir-akhir ini banyak orang meninggal karena asam lambung. Kesannya remeh, tapi penyakit itu sebenarnya sangat mematikan.”
Laki-laki itu menerima kertas pemberianku. Dia membacanya, tetapi tidak berkomentar.
Di saat yang sama, tiba-tiba ponselku bergetar. Ada panggilan dari Shenna.
“Hallo, sayangku …” sapaku bersemangat. Anak ini tahu kalau hari ini aku mudik.
“Hueks!” Shenna pura-pura muntah, sementara aku tertawa pelan. “Udah sampai Semarang, Da?”
“Udah, barusan. Ini masih di bandara. Bentar lagi pesan gocar buat pulang.”
“Oke. Kabarin kalau udah sampai rumah.”
“Duh … perhatian banget, sih! Terharu, deh!”
“Lama-lama kamu ngeselin banget!”
“Biar kamu kangen. Kita kan LDR.”
“Aku tutup sekarang!”
Aku tertawa puas saat Shenna langsung mematikan panggilan. Biarkan saja dia kesal. Dia juga sering membuatku kesal.
Saat aku menyadari kalau di depanku masih ada laki-laki tadi, aku jadi kaget sendiri. Aku meringis, sementara dia hanya menatapku datar.
“Eh, kita belum kenalan, Mas. Udah kaya barusan masa enggak kenalan?” Aku mengulurkan tangan ke arahnya. “Kenalin, saya Rizda.”
Laki-laki itu berdiri, memasukkan kertas resep ke saku kemejanya, lalu meraih kopernya. Tak lupa, dia juga menutup resleting yang tadi sempat kubuka.
“Terima kasih untuk bantuanmu tadi. Saya permisi.”
Laki-laki itu pergi dari tempat duduknya, mengabaikanku yang masih mengulurkan tangan padanya. Aku menoleh, mengikuti ke arah mana dia pergi.
“Wah …” aku menurunkan tanganku sambil melongo tak percaya. “Sombong amat jadi cowok! Aku doain, semoga berjodoh sama nenek lampir!”
***
Jateng, 20 September 2024