Akibat pelukan mendadak itu, aku dan Mas Hanif jadi canggung agak lama. Bahkan setelah keluar dari area restoran, kecanggungan itu masih saja terasa. Aku diam, dia lebih diam lagi. Sebenarnya Mas Hanif sudah membuka suara karena dia perlu tahu di mana toko tempat aku ingin membeli sepatu, tetapi aku hanya menjawab seperlunya. Aku terlalu malu kalau ingat yang tadi. Pasalnya, akulah yang memulai lebih dulu. Benar-benar memalukan! Bagaimana bisa refleks-ku adalah memeluk? Kenapa tidak melompat-lompat saja? Sekalipun itu seperti anak kecil, tidak masalah. Itu tetap lebih baik daripada asal memeluk sembarangan. Akhirnya, aku dan Mas Hanif tiba juga di mall. Memang, toko yang kutuju ada di dalam mall. Ya, anggap saja sekalian ngadem. “Ehm!” aku berdehem pelan. “M-mas Hanif boleh nunggu di s