2. Kegilaan Hanif

2002 Kata
Tidak tahu kenapa, sejak kedatangan laki-laki itu— maksudku Pak Hanif, jantungku terus berdebar kencang. Tidak, ini bukan debaran suka apalagi cinta, melainkan aku mendadak ingat apa yang kukatakan sore itu padanya. Saat itu aku mendoakan semoga dia menikah dengan nenek lampir. Suaraku juga cukup keras. Aku yakin sekali dia pasti mendengarnya. Dia tidak mungkin dendam padaku, kan? Lagi pula, satu bulan sudah berlalu sejak saat itu. Namun, memang, kini aku merasa seperti baru kemarin. Sejujurnya, aku hampir saja melupakannya, tetapi gara-gara dia muncul di depanku, kenangan sore itu mendadak kuingat dengan jelas. Bahkan sangat jelas kurasa. Bagaimana saat dia menolak salaman denganku dan meninggalkanku begitu saja, padahal sebelumnya aku sudah berusaha baik padanya. Aku bahkan meresepkan obat yang lebih aman untuknya. Kalau diingat lagi, dia memang sangat keterlaluan, kan? Bukannya doaku padanya masih cukup bagus? Kini, orang itu sedang keliling untuk mengabsen mahasiswa yang hadir. Aku sendiri diam di kursi, bermain ponsel dalam hening. Mau apa juga? Aku sudah melalukan tugasku dengan baik. “Kamu tanda tangan di sini.” Tiba-tiba saja, dia sudah kembali duduk dan menyerahkan selembar kertas padaku. “A-ah, iya.” Aku tanda tangan di kertas yang dia berikan, lalu mengembalikannya. Saat aku meliriknya, ternyata dia sedang menatapku. Detik itu juga aku langsung melengos. Harusnya dia ingat aku karena kejadiannya baru sebulan. Kami juga tidak mengenakan penutup wajah seperti masker atau topi. Dia tidak mungkin tidak mengenaliku. Mustahil! “Ternyata kamu adik sepupu Bu Isna.” Aku menoleh. “Ngajak ngomong saya?” balasku pelan. “Kalau bukan?” Aku meringis. “Ternyata Bapak namanya Hanif? Baiklah. Waktu itu ajakan saya ditolak.” “Bapak, kamu bilang?” “Lalu saya harus manggil apa?” Dia tidak menjawab, malah memilih untuk kembali berdiri. Dia berjalan ke arah jendela dan melihat luar. Aku mencebik kesal karena sudah dua kali ini aku diabaikan olehnya. Baru satu jam lebih lima belas menitan, kulihat sudah ada mahasiswa yang berdiri. Aku cukup terkejut karena waktunya bahkan masih sangat banyak. “Tolong duduk lagi. Belum boleh keluar. Minimal lima belas menit lagi,” ucap Pak Hanif dengan nada yang sangat tegas. Mahasiswa itu mengangguk, lalu kembali duduk. Berselang beberapa detik, kulihat mahasiswa yang lain mulai berisik. Mereka tidak saling menyontek, melainkan mereka semua sudah menutup lembar jawab. “Sudah selesai semuanya?” tanya Pak Hanif. “Sudah, Pak. Ini mata kuliah mudah, kok. SKS-nya saja yang banyak, jadi waktunya lama.” “Sudah diperiksa semua jawabannya?” “Sudah, Pak.” “Lembar jawabnya saya ambil, tapi keluar paling cepat lima belas menit lagi, atau setengah jam sebelum batas waktu seharusnya. Dilarang keluar terlalu cepat karena bisa mengganggu yang lain.” “Baik, Pak.” Pak Hanif mengambil kertas jawaban dari absen pertama, lalu memutar rapih sampai mahasiswa terakhir. Aku sendiri masih diam karena tidak ada kegiatan. Setelah semua selesai, Pak Hanif kembali. Dia menata lembar jawaban mahasiswa, sementara aku merapikan berita acara dan lain-lain. Untuk lembar soal dibawa masing-masing mahasiswa. Biasanya, mahasiswa yang ambis akan membahas soal-soal itu begitu keluar. “Bu Rizda, Bu Rizda!” panggil salah satu mahasiswa perempuan yang duduk di belakang. “Iya?” “Maaf kalau saya tanya hal ini. Ibu belum menikah?” Aku langsung tersenyum mendengarnya. “Belum. Kenapa?” “Saya kenalin sama kakak saya mau, Bu?” “Huuu!” Seketika, satu kelas bersorak-sorak. “Ssst! Dilarang berisik.” Aku menegur. “Bercanda aja, Bu. Tapi serius.” Mahasiswa itu terkekeh. Dia sepertinya agak humoris dan semi slengekan. “Udah, udah. Jangan dilanjut. Nanti ganggu yang lain.” “Gabut, Bu. Masih sepuluh menit. Mana enggak ngapa-ngapain.” Aku melirik Pak Hanif, dia tetap diam. Dia tidak terganggu sedikit pun dengan mahasiswa yang mulai berisik. Mungkin selagi tidak berlebihan, dia akan membiarkannya. “Dilihat-lihat, Pak Hanif sama Bu Rizda cocok, lho!” celetuk salah seorang yang duduk di tengah. “Iya, nih! Pak Hanif masih jomblo, kan, ya?” “Mau nilai D atau E, Fin?” Yang disebut ‘Fin’ itu langsung tertawa. “Maaf, Pak. Habisnya Bapak, sih! Mau saya kenalin ke kakak saya enggak mau.” Sepertinya, di mana pun tempatnya, dosen muda akan selalu dapat candaan dari para mahasiswanya. Sayang sekali, dulu dosenku sudah berumur semua. Yang agak muda pun sudah menikah. “Ngomong-ngomong, Bu Rizda aslinya ngajar jugakah?” tanya mahasiswa yang duduk di depan, yakni mahasiswa yang tadi pertama kali mengajakku bicara. “Enggak. Saya enggak ngajar. Saya baru selesai koas.” “Wow! Calon dokter ternyata? Kakak saya dokter juga, Bu. Mau saya kenalin?” “Jadi, selain mahasiswa, kalian ternyata biro jodoh?” Para mahasiswa seketika tertawa. “Kami bercanda aja, Bu. Biar enggak serius-serius amat. Maaf kalau kami kesannya enggak sopan.” “Enggak papa. Saya juga cuma bercanda.” “Kalian boleh keluar. Tapi jangan gaduh!” ucap Pak Hanif tiba-tiba. “Oke, Pak.” Aku melirik arloji di tangan, ternyata memang sudah saatnya diperbolehlan keluar. Kalau diselingi bercanda, waktu memang seperti tak ada harga dirinya. Berbeda dengan kelas biasa, kalau ujian memang tidak ada salam penutup karena biasanya mahasiswa tidak keluar bersamaan. Siapa yang lebih cepat mengerjakan, boleh keluar lebih dulu. Kali ini mungkin sedikit pengecualian karena mereka semua kompak selesai jauh lebih cepat dari waktu yang telah disediakan. Setelah semua mahasiswa keluar, kini tinggallah aku dan Pak Hanif di ruangan ini. Seketika, atmosfer canggung tak terelakkan lagi. Aku mengemasi berkas berita acara, dia mengemasi berkas lembar jawab mahasiswa. Aku diam, menunggu dia keluar lebih dulu. “Kamu boleh keluar lebih dulu. Saya harus mengurutkan ini. Tadi saya salah ambil putaran absennya.” “Enggak terlalu awal kalau keluar sekarang, Pak?” “Para mahasiswa sudah keluar, jadi enggak papa.” “Tapi saya tungguin aja, deh.” “Ya.” Sembari menunggu Pak Hanif menata ulang lembar jawab mahasiswa, aku berjalan ke arah jendela. Menatap pemandangan bawah sana dari lantai empat. Entah kenapa, tiba-tiba aku tersenyum. Aku jadi ingat, dulu aku memilih kampus ini untuk pilihan kedua. Tapi karena aku masuk di pilihan pertama, jadi aku batal pulang ke Semarang. Tak apa, untuk kedokteran memang akreditasinya masih lebih bagus kampusku yang di Jakarta. Tapi kampus ini juga tak kalah bagus secara keseluruhan. Kampus ini hanya lebih unggul di jurusan lain. Biasalah, tiap kampus memang selalu memiliki jurusan unggulan. “Ehm!” Deheman Pak Hanif membuatku menoleh. Ternyata dia sudah selesai, jadi aku bergegas menghampirinya. “Sudah, Pak?” “Sudah.” Pak Hanif keluar lebih dulu dan aku mengekor di belakangnya. Aku tidak berani terlalu memperhatikannya karena di sekeliling kami banyak mahasiswa. Akan sangat aneh kalau aku sampai ketahuan memandang secara ‘lebih’. Bisa-bisa, aku langsung terkena gosip. Setibanya di ruang dosen, ternyata sudah banyak sekali dosen yang kembali ke ruangan. Aku langsung mengangguk berulang kali untuk menyapa mereka satu per satu. “Sepupunya Bu Isna, ya?” tanya salah seorang dosen yang bahkan belum kutahu bernama siapa. “Iya, Bu. Saya Rizda.” “Oh, iya. Bu Isna juga bilang namanya Rizda. Lebih cantik dari yang saya kira, ternyata. Bu Isna sering bilang punya sepupu cantik yang kuliah di Jakarta. Sudah semester berapa, Mbak Rizda?” “Saya sudah lulus S1, Bu. Sudah koas juga. Tinggal nunggu ujian kompetensi dokter.” “Walah walah walah! Calon dokter, to?” Aku tersenyum. “Iya, Bu.” “Kan Bu Isna pernah bilang kalau sepupunya itu calon dokter, Bu. Lupa, emang?” sahut yang lain. “Lho iya? Aku beneran lupa, Bu.” Untuk sesaat, terjadilah obrolan basa-basi yang ringan. Aku bersyukur karena Mbak Isna sedikit banyak sudah menyinggungku, jadi aku tidak terlalu kikuk. Para dosen di sini juga ramah-ramah. Bahkan yang laki-laki sekalipun. Ya, kecuali si manusia pendiam yang baru saja jaga denganku. Rasa-rasanya, dia bicara kalau ada perlu saja. Selebihnya dia tidak bersuara sedikit pun. Saat ini, contohnya. Dia memilih untuk membaca buku sembari menggigit roti di mejanya. Tampak tak peduli dengan keadaan sekitar. “Pak Hanif!” Tiba-tiba, muncullah seorang perempuan yang lumayan cantik berdiri di depan pintu. Perempuan itu tersenyum ke segala penjuru untuk basa-basi, lalu berjalan menuju meja Pak Hanif. Siapa perempuan itu? Perawakannya tinggi, mungkin lebih tinggi dariku. Kulitnya putih dan rambutnya hitam legam. “Mbak Rizda pasti kaget, ya?” tanya Bu Ami, salah satu dosen yang sejak tadi mengajakku bicara. “Sedikit, Bu.” Aku meringis. “Manggilnya keras, soalnya. Padahal agak pelan dikit juga kedengaran.” “Dia Bu Lala, dosen kimia. Seumuran Bu Isna, kayaknya. Tapi masih single. Dia suka sama Pak Hanif. Sukanya itu yang beneran sukaaa banget. Ada aja caranya buat deketin Pak Hanif. Terang-terangan pula.” “Ah, begitu.” Aku menanggapi sekenanya. Aku bingung juga harus menanggapi apa. Tadi mau langsung pamit, rasanya tidak enak dengan para dosen yang menyambut hangat keberadaanku. Belum-belum saja, aku sudah ditawari makan siang. Aku juga diajak berkenalan. Mereka semua benar-benar baik padaku. “Tapi Pak Hanif kayaknya enggak suka. Risih, dia, tapi dasarnya orangnya pendiam. Jadi dia enggak terlalu bereaksi yang gimana-gimana. Bu Lala ini sering jadi buah bibir antar dosen, tapi enggak sadar-sadar. Soalnya kadang agak keterlaluan.” “Bikin malu perempuan aja. Ngejarnya terlalu ugal-ugalan,” sahut Bu Lulu, dosen satunya lagi. “Tapi bukannya sudah zamannya emansipasi, ya, Bu? Jadi enggak papa misal cewek mau nembak duluan.” Aku meringis, mencoba menimpali. “Kami ini sebenarnya enggak masalah, Mbak, siapa suka siapa. Siapa nembak siapa. Termasuk Bu Lala ke Pak Hanif. Maunya kami juga enggak peduli. Tapi ya itu tadi, jengah lama-lama lihatnya. Hampir tiap ada kesempatan, dia sering datang ke sini dan bikin kami-kami ini kurang nyaman. Kan udah beda jurusan juga. Kadang ada obrolan yang agak pribadi. Enggak tahu malu rasanya.” “Pak Hanif apa enggak menegur, Bu? Dia padahal bisa negur kalau memang terganggu.” “Sudah, kami rasa. Tapi memang bebal saja Bu Lala-nya. Jadi kayaknya Pak Hanif ngebiarin aja. Dia cuma anggapin sekenanya sampai Bu Lala lelah. Tuh, dibawain bekal segala. Sering, lho, kaya gitu. Pak Hanif sering enggak makan, malah dibagiin ke kami-kami.” Aku menoleh, Pak Hanif ternyata sedang menatapku. Seketika aku membuang muka. Sepertinya, Pak Hanif sudah paham kalau dia ikutan jadi buah bibir. Dia juga terlihat tak nyaman, hanya tidak tahu harus bagaimana. “Sebenarnya dari pihak kaprodi juga sudah negur, Bu,” ucap Bu Ami lagi. “Tapi enggak mempan. Mau dipecat kok ya Bu Lala cukup berprestasi. Banyak jurnal yang dia terbitkan dan bagus-bagus. Ya minus kurang punya malu aja.” “Tapi memang ada tipe perempuan yang begitu, Bu,” balasku. “Teman saya kuliah juga dulu ada yang hobi ngejar cowok. Ya sudah tabiat, mungkin?” “Iya juga, sih. Yang penting kita enggak gitu. Sebagai perempuan, kita harus tahu diri dan tahu malu. Bukan berarti enggak boleh ngejar cowok duluan, tapi minimal sadar diri kalau yang dikejar enggak mau dan risih.” “Iya, Bu. Betul.” “Saya juga berdoanya Pak Hanif lekas dapat istri. Kasihan, digangguin terus. Eh, atau sama Mbak Rizda aja?” Aku belum sempat menjawab ketika tiba-tiba Pak Hanif sudah berdiri di depanku. Aku berjengit kaget, begitu pun Bu Ami dan Bu Lulu. “Pak Hanif ini ngagetin aja!” Bu Lulu memukul pelan Pak Hanif menggunkan gulungan kertas. “Maaf, Bu.” “Ada apa, Pak?” “Ini saya mau antar Rizda pulang. Pulang sekarang, Da, mumpung Mas kosong.” Mataku mendelik kaget, bingung dengan apa yang Pak Hanif katakan. Tidak hanya aku, Bu Lulu dan Bu Ami pun ikut kaget. “Oh, iya. Maaf sebelumnya, Ibu-ibu dan Bapak-bapak pasti bingung. Saya dan sepupu Bu Isna sebenarnya sudah menjalin hubungan. Kami niatnya mau menyembunyikan dan pura-pura enggak kenal karena rasanya kurang etis saja bawa-bawa kehidupan pribadi di sini. Tapi ternyata saya enggak bisa.” “Pak!” aku semakin mendelik. “Enggak perlu manggil Pak lagi. Berhenti pura-pura. Lebih baik kita jujur aja.” Demi apa pun, saat ini aku blank. Aku mengedarkan pandangan, semua orang sedang menatapku dan Pak Hanif. Saat aku menatap Pak Hanif, makhluk irit omong ini malah sedang tersenyum padaku. Apaa-apaan ini! Ini apa maksudnya? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN