"Apaan nih?" tanya Raisa pada Brian, saat pria itu memberikannya nota harga padanya.
"Ini tagihan makan siang ini, jadi Mbak masih hutang sama aku sekitar 1 juta 600 ribu." Brian menunjuk jumlah total hutangnya pada Raisa.
"Kamu serius?"
Brian mengangguk "Kamu meras aku ya?"
"Ya, kan ini sesuai kesepakatan awal, Mbak yang minta di bayar kan? itu udah harga diskon loh, saya gak samain harga kopinya sama yang di Cafe."
"Kurang ajar banget ya, kamu!" seru Raisa kesal.
Brian menutup mulutnya dengan jari "Ssst, Mbak gak sopan tahu, maki orang kayak gitu," wajah pria itu tersenyum tak tahu malu.
"Masa bodoh, sejak awal aku bahkan terlalu sopan ya, sama kamu, usia kamu bahkan dua tahun di bawahku, tapi kamu malah bikin aku terjebak sama kopi gratis kamu itu." Raisa menggebrak meja kantin saking kesalnya. Ya, mereka masih di kantin setelah makan siang mereka.
Brian menyeringai, "Ingat ya Mbak, di bayar hutangnya." pria berseragam OB itu pergi tak peduli Raisa yang menatapnya tajam.
"Hey, Brian!" teriaknya keras.
"Mbak, berisik tahu. Teriak- teriak bikin kaget orang aja, ingat Mbak hutang ya hutang, harus di bayar." wajah Raisa merah padam, dia marah sekaligus malu.
Beberapa orang bahkan mencibirnya "Bisa- bisanya punya utang sama OB yang gajinya bahkan lebih kecil."
Raisa cemberut, lihat saja kamu Brian dasar OB kurang ajar!
****
Di jam pulang, seperti biasa Brian pergi ke ruangan Presdir untuk merapikan ruangan tersebut termasuk menguncinya.
Saat keluar dari ruangan Presdir Brian melihat ke arah Raisa dan menatapnya geli, sambil tersenyum menyebalkan dia melewati Raisa begitu saja.
Raisa memicingkan matanya dan mendengus lalu pergi setelah merapikan mejanya.
"Lo, beneran punya utang sama Mas Brian?"
Raisa berdecak saat mendengar Sella bicara mereka hendak menunggu lift terbuka "Gak."
"Kok bisa gue denger gosip begitu? orang- orang rame omongin Sekertaris Presdir yang punya utang sama OB."
Raisa mendesah lelah, lalu mulai menceritakan perihal masalah kopi yang selalu di berikan Brian dan berakhir menjadi hutang makan siang pada Brian.
"Jadi tuh kopi mahal dari Mas Brian?'
Raisa mengangguk lesu.
"Wah, itu sih senjata makan tuan, ngapain juga lo sesumbar mau bayar ..." Sella tertawa "Kalau gue jadi lo, gue terima semua perhatian dari Mas Brian."
"Itu mah kamu yang kecentilan." Raisa mendengus, sedangkan Sella tertawa..
"Lagian siapa yang gak mau sama cowok ganteng plus hot kaya Mas Brian, menurut gue nih Mas Brian tuh adalah sosok sempurna seorang pria, wajah ganteng udah kayak bule, mata tajam, rahang tegas, d**a bidang, punggung tegap, dan badan kekar, paket lengkap sama kulit putih yang bikin dia tambah bersinar, udah kayak tokoh- tokoh yang di gambarkan di tiap n****+ yang gue baca, minusnya dia itu cuma seorang OB bukan Direktur kayak di novel."
Raisa mengeryit "Jadi intinya tampang ganteng aja gak cukup kan?"
Sella mengangguk "Kenyataannya hidup butuh uang, jadi mereka akan memilih yang mapan bukan tampan."
Raisa terkekeh, dia bahkan sudah melihat sosok sempurna, yang tidak hanya mapan tapi juga tampan secara bersamaan, tapi nyatanya itu tetap tak bisa menjamin hidup akan bahagia, sebab mereka yang merasa sempurna tentu menginginkan yang sempurna juga. Ya, seperti Kemal yang tak menerimanya karena telah ternoda dan tak sempurna, justru menorehkan luka mendalam untuknya.
Jadi bagi Raisa tak ada bedanya, entah itu tampan atau pun mapan, sebuah hubungan tidak ada dalam tujuan hidupnya, titik!
"Ikut gue aja Sa, gue ada jemputan," ajak Sella saat mereka keluar dari lift.
"Gak, ah aku naik bis, lagian arah pulang kita berlawanan."
Sella mengangguk "Ya, udah kalau gitu, duluan ya, Sa." Sella melambaikan tangannya lalu memasuki mobil jemputannya.
Raisa sendiri melangkahkan kakinya ke arah halte setelah membalas lambaian tangan Sella.
Raisa mendudukan dirinya di kursi halte, menunggu bis datang, namun sudah lebih dari lima belas menit dia duduk bis tak juga muncul.
Raisa mendongak menatap langit yang mulai gelap, sepertinya akan hujan. "Kemana sih," keluhnya, tak biasanya bis datang terlambat, paling lama Raisa hanya perlu menunggu bis lima belas menit hingga bis datang, tapi kali ini sudah hampir setengah jam bis tak juga muncul.
Dari arah kantor tempatnya bekerja Raisa melihat Brian yang mengendarai motornya, lihat pria itu bahkan sudah selesai dengan tugasnya, tapi dia masih diam disana menunggu bis untuk pulang.
"Mbak ngapain?" Brian menghentikan motornya di depan Raisa.
"Lagi nunggu bis lah." Raisa mencoba acuh, tentu saja dia kesal pada Brian, gara- gara pria itu orang- orang menuduhnya memiliki hutang pada Brian.
"Mbak gak liat berita ya, hari ini semua bis gak beroperasi." Raisa mengerutkan keningnya.
"Hah?"
"Mereka lagi demo Mbak, entah itu angkot atau pun bis."
Raisa berdecak, kenapa dia tak tahu, tahu begitu dia minta antar Sella tadi, meski resikonya malu pada pacar Sella.
"Mending Mbak saya antar aja kalau gitu." Raisa menatap tajam Brian.
"Gak usah, aku naik taksi aja." tentu saja Raisa tidak akan mau.
Brian terkekeh "Kalau kondisinya begini, biasanya taksi pasang tarif mahal Mbak, gak rugi apa ngasih ongkos tiga kali lipat."
Raisa melongo tak percaya "Masa?"
Brian mengedikkan bahu acuh "Lagian udah mau hujan loh Mbak." Raisa masih diam.
"Ya udah kalau gak mau ikut, selamat menunggu taksi mahal ya, Mbaak." Brian hendak pergi, namun dengan cepat Raisa menghentikannya, meski wajahnya terlihat ragu.
"Saya, gak bakalan ngapa- ngapain Mbak kok, saya udah janji kan? Janji saya yang itu berlaku selamanya loh. Ya, kecuali seperti kata saya, lain lagi kalau Mbak yang minta, dan lain lagi juga kalau kita udah halal."
Raisa menelan ludahnya dan menatap Brian yang menyeringai "Kita gak akan pernah halal."
Brian berdecak "Gak ada yang tahu rencana Tuhan, Mbak. Dia itu maha membolak balik hati manusia."
Raisa menatap jengah.
"Jadi ikut gak nih?"
"Iya, saya ikut, tapi jangan minta ongkos ya, uang saya hari ini abis buat bayar makan siang Mas OB yang gak tahu diri."
Brian terkekeh "Iya deh, hari ini gratis, besok- besok boleh ngutang, kan lumayan bisa buat makan siang."
"Ish." dengan kesal Raisa mendorong bahu Brian, dia sendiri kini sudah naik ke motor bebek pria itu, dan duduk dengan posisi menyamping, rok span nya tak memungkinkan nya untuk duduk mengangkang.
Bukannya marah Brian justru tertawa, sambil memberikan helmnya "Pakai helmnya Mbak." Raisa meraih dan mengenakannya. Bagus sekali pria itu bahkan membawa helm dua.
"Siap ya, Mbak."
Raisa berdehem, dia sendiri duduk dengan canggung tanpa berpegangan pada Brian, dan memilih memegang tali tasnya erat.
Brian melajukan motornya tiba- tiba, lalu menghentikannya, membuat Raisa yang terkejut refleks memegang pinggang Brian.
"Nah, gitu dong Mbak, pegangan. Nanti kalau jatuh kan bahaya."
Brian tertawa dan mulai melajukan motornya dengan kecepatan sedang, tak peduli Raisa yang mencubit pinggangnya saking kesalnya dia padanya, nyatanya cubitan Raisa justru terhalang jaket yang pria itu kenakan, hingga Brian tak merasakan sakit sama sekali.
Untuk selanjutnya Brian kembali menghentikan motor secara tiba- tiba, saat Raisa kembali melepas pegangannya, hingga lagi- lagi Raisa yang terkejut pun berpegangan kembali ke pinggang Brian.
Di belakang sana Raisa berwajah masam, sedangkan Brian justru tersenyum berseri- seri.