LIMA

1101 Kata
Selama tiga hari MPF tak ada hal ganjil yang dihadapi Meta, pun Ian. Kecuali fakta bahwa gosip tentang mereka yang digoreng dalam berbagai versi menjadi tajuk utama pembicaraan di kalangan mahasiswa dan mahasiswi — sebagian besar tentu saja mahasiswi — Fakultas Hukum, bahkan mungkin seantero kampus — mengingat sepak terjang Ian yang berganti pacar lebih cepat daripada mengganti sikat gigi. Sama seperti dua hari sebelumnya, Ian tetap menjemput Meta di pagi hari, dan pulang bersama setelah mereka selesai dengan kegiatan masing–masing. "Yan, Meta hari ini kuliah sampai jam tiga. Meta pulang sendiri aja ya. Alhamdulillah Meta diterima kerja di café yang di perempatan lampu merah dekat kosan." "Aku antar aja, Ta..." "Mereka sistemnya delapan jam kerja, Yan. Dua shift tapi flexible, yang penting jam kerja perhari terpenuhi dan ga tumpang tindih. Kalau aku bisa datang jam empat sore, jam sepuluh malam aku udah pulang, besok pagi tinggal ngisi dari jam enam sampai jam delapan. Jadi bisa ikut kuliah jam sembilan. Jam kerjanya udah aku cocokin dengan jadwal kuliah." "Ta..." "Meta bisa, Yan. Meta harus kerja. Ian lihat kan kondisi Meta? Meta butuh pekerjaan." Ian diam. Hanya menatap lekat perempuan di hadapannya. "Ta! Ayo, sepuluh menit lagi nih!" Entah darimana, Gita sudah berdiri di samping Meta, merangkulnya hangat. "Eh iya Git! Ian, Meta duluan ya..." Meta sudah beberapa langkah berjalan cepat, hingga langkahnya melambat mendengar teriakan Ian. "Aku ijinin kamu kerja. Tapi jangan pacaran! Biarpun gantengnya ngelebihin aku, jangan coba–coba pacaran! Kamu denger Ta?" Meta hanya tertawa sembari menggelengkan kepalanya. "Sekaian aja lo ke masjid, nyet! Umumin pake toa!" sindir Fandi yang tadi sedang memarkir motornya tak jauh dari tempat Ian. Tara yang juga ada di sana hanya menggeleng–gelengkan kepalanya. "Ngumumin lo mati, nyet?" "Astaghfirullah! Lo kira–kira dong kalo berdoa, nyet!" "Yan, kemarin gue ketemu Dira. Dia nanya apa lo udah punya cewe lagi." Ujar Tara. "Terus lo jawab apa?" "Tanya aja sama lo. Gitu. Tapi dia kaya kesel gitu." "Lo ngapain sih nyet nyari masalah banget jadiin cewe kaya gitu mantan? Lo ga tau apa nasibnya Bobby anak mesin? Siapapun yang jadi cewenya diganggu mulu sama Dira." "Ya kan gue ga apa–apain dia nyet. Nyium aja gue ga pernah. Harusnya ga ada dendam dong!" "Ya mudah–mudahan, Yan. Kalau parameter pacarannya si Dira itu emang ujung–ujungnya s*x harusnya kalian ga diganggu. Tapi kalau dia ngerasa sakit hati karena diputusin bisa lain cerita. Lo tau kan buat dia image yang utama!" Ujar Tara lagi. "Ngga lah. So far aman kok!" Ya, hingga tengah hari memang tak ada hal mengganggu yang dialami baik Meta ataupun Ian. Keduanya menjalani kegiatan mereka dengan tenang. Meta baru saja duduk usai membeli jus alpukat keju dari gerai Umi. "Emang enak ya Ta? Ga eneg apa lo minum jus pake keju begitu?" Meta terkekeh. "Enak banget Git! Dulu pas upacara gue pernah pingsan. Digendong Ian ke UKS. Itu pertama kali gue kenal Ian. Pas gue sadar, Ian datang lagi bawain gue jus alpukat keju kaya gini." "Jadi sukanya karena bang Ian?" Meta mengangguk. Ia membuka kotak makan siang yang tadi Ian berikan padanya. Tersenyum. Nasi daun pandan, telur ceplok balado, dan tumis buncis bawang putih. Ian masih mengingat betul makanan kesukaannya. Makanan yang selalu menjadi pilihannya ketika makan di warung kecil milik Mami – Ibunya Ian. "Dulu dia cuek banget sama cewe. Ga kaya sekarang kan ekspresif banget. Gue seangkatan sama Ian, cuma ga sekelas waktu itu. Jadi waktu ngasih jus ini ke gue ya mukanya lempeng banget gitu. Dan dia ga pernah main sama cewe. Tipe cowo cool gitulah. Sampe gue jadian sama kapten basket sekolah. Entah kenapa sejak saat itu Ian tiba–tiba aja gitu deketin gue terus." Gita mendengarkan cerita Meta dengan seksama. "Sering ribut dong mantan lo sama Ian?" "Banget Git! Tapi adu mulut aja. Mantan gue ga berani, Ian kan jago karate. Guru karatenya itu abang sahabatnya. Bisa abis mantan gue berani adu bacok sama Ian." "Sahabatnya yang kata Kak Tara meninggal itu?" "Bukan, mereka sahabatan berempat. Salah satunya meninggal. Yang dua lagi setau gue di London." "Ian ga ke London?" Meta menggeleng. Ia tau betul, dirinyalah penyebab Ian tak meneruskan cita–citanya itu. "Kayanya lo tau banyak tentang Ian, Ta?" Kali ini Meta mengangguk. "Gue yatim piatu, Git. Sampai gue besar, ga ada yang adopsi gue. Sekalinya ada yang mau, gue ga bisa ninggalin Ibu panti. Gue sayang banget sama beliau. Panti asuhan gue dulu dekat rumah Ian. Ian sering dapetin gue buru–buru ngabisin roti kadaluarsa sebelum masuk panti. Makanya dia jadi sering geret gue ke warungnya Mami. Keluarga Ian, semua sayang sama gue." Meta tak sadar, Gita sudah banjir air mata di hadapannya. "Ya Allah, lo kenapa Git?" Meta panik mendengar Gita yang sesenggukan. Gita menggeleng. Masih sambil menangis. "Gita..." "Mulai sekarang, gue sahabat lo! Lo harus cerita dan bagi apapun ke gue! Lo denger Ta?" ucap Gita tegas sambil menghapus uraian air mata yang membasahi pipinya. Meta tersenyum, mengangguk pelan. Kedua sahabat itu saling menggenggam tangan dan tertawa, walau air mata haru masih menetes dari kedua pasang netra mereka. 'byuuur!' Seorang perempuan menyiramkan es teh manis milik Gita dan jus alpukat keju milik Meta ke atas kepala Meta. Perempuan itu tanpa rasa bersalah menunjukkan seringai sinisnya. "Lo bakal terus menderita selama lo masih dekat dengan Ian! Ian milik gue! Paham lo!" desis perempuan itu tepat di depan wajah Meta. Ia tertawa sinis, menegakkan tubuhnya, bersiap beranjak pergi. Meta menahan tangannya, mencengkramnya kuat. "Buka baju lo! Gue masih ada kuliah b******k!" bentak Meta. "p*****r b*****t!" balas perempuan itu seraya menarik kencang rambut Meta. Meta tak panik sama sekali. Perlakuan seperti ini sudah khatam diteguknya mentah–mentah. Percayalah bahkan anak yang memiliki orang tua lengkap seringkali mengalami tindak kekerasan, apalagi yatim piatu sepertinya. Meta mengangkat satu tangannya yang bebas, mengepalnya, bersiap menjatuhkan bogem mentah ke wajah atau tubuh perempuan yang tak dikenalnya itu, hingga saat nyaris mengenai Dira, teriakan dari dua orang pria berbeda umur menghentikan aksi mereka berdua. "META!!!" Meta menurunkan tangannya dan melepaskan cengkramannya pada Dira. Dira pun melakukan hal yang sama, melepas tangannya dari kepala Meta. Ian masih membeku, berdiri tak jauh dari pria yang tak lama lagi menyentuh usia paruh baya itu. Pria itu berjalan mendekati keduanya. Ia mengenakan kaos berwara hitam, jaket denim yang tidak dikancingnya, dan celana hitam yang juga berbahan denim. Pria itu begitu kekar, terlihat lebih muda dibandingkan usia yang melekatinya. Ia berjalan dengan kedua tangan di pinggang, memperlihatkan tanda pengenal kepolisian yang menggantung di ikat pinggangnya. "Apa yang Anda lakukan pada putri saya? Saya bisa menuntut Anda atas tindakan p*********n pada putri saya!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN