"Jadi Mas Juna sudah kerja apa sekarang?" tanya Mama Ana ketika sedang melakukan video call dengan Juna, sama Papa Dana juga, karena mereka berdua sedang di kantor T. Pra. Mama Ana memang sengaja datang ke kantor suaminya itu karena memang mereka sudah janjian untuk makan siang sama - sama, ini bukan hal yang aneh karena mereka sering melakukannya, kadang mereka malah janjian di salah satu resto favorit mereka dan berpisah lagi ketika jam makan siang selesai, semacam pasangan yang lagi kencan gitu.
"Di restoran burger, Ma."
"Apa namanya?"
"Burger's kitchen."
Papa Dana yang sedang duduk di kursi kebesarannya sedang berhadapan dengan laptop, sedangkan mama Ana duduk di tangan kursi itu sambil menatap layar ponselnya yang diletakkan memakai tripod tidak jauh dari laptop suaminya, sehingga selain bisa melihat papanya, Juna juga bisa melihat laptop itu.
Papa Dana langsung mengetikkan nama resto tempat Juna bekerja pada mesin pencarian google.
"Kayak Mekdi ya, Mas?" tanya papa Dana.
"Iya,Pa, tapi nggak sebanyak Mekdi pilihan makanannya, cuma konsepnya restorannya kurang lebih sama."
"Hmm."
"Mas Juna jadi apa disana?" tanya Mamanya.
Masa pemegang saham, Ma? Ya jadi kuli lah, kadang pelayan, kadang kasir, kadang tukang buang sampah, kadang jadi kang WC. Itu jawab Juna dalam hati.
"Jadi asisten manager, Ma."
Juna berbohong? Ya .. demi menjaga stabilitas percakapan ini tetap adem ayem dan tidak ada nada tinggi dengan emosi didalamnya.
"Hmm, awal yang bagus. Mereka ramah nggak, Mas? Maksud Mama nggak rasis gitu kan?"
"Owh mereka ramah banget, aku sudah punya beberapa teman di sini, mereka baik - baik banget, Ma. Minggu lalu aku diajak piknik ke taman. Lucu banget deh, Ma. Di Indo kan aku nggak pernah piknik ke taman sama sekali, mana ada temanku yang ngajak piknik ke taman," jawab Juna sambil terkekeh.
"Ya kalo di luar negri mereka sering banget piknik di taman gitu, mungkin karena taman mereka juga bagus - bagus dan luas banget."
"Mama kamu ini dulu juga sering piknik, Mas," sahut papanya.
"Serius, Ma? Taman dimana?"
"Iya, tapi di Central Park, sama teman mama, nemenin anak nya main."
"Lha jauh banget ya, aku kira di taman daerah Kebayoran. Tapi disini aku lihat banyak juga keluarga yang bawa anaknya main bola di taman, eh tapi aku nggak sampe siang banget, masih panas banget disini."
"Mama biasanya pikniknya sore, Mas. Bukannya disana pas musim panas itu siangnya lebih panjang ya?"
"Iya, nih kayak sekarang, jam lima rasa jam tiga."
"Mas Juna lagi di mana ini?"
Mama Ana melihat latar belakang tempat Juna duduk seperti cafe, bukan restoran burger.
"Lagi ngafe. Biasalah nyantai, nanti pulang tinggal mandi terus tidur."
"Ya harus balance lah kerja sama kesenangan pribadi biar tetap waras."
"Iya, makanya aku sempatkan buat nongkrong. Tadi waktu mama nelpon aku masih di resto, nggak sempat lihat hape."
"Memangnya pulang kerja jam berapa tadi, kok cepat udah nongkrong aja?"
"Jam empat juga udah selesai kok, Ma."
Tadi saat makan siang, Mama Ana memang sudah menelpon Juna karena dia tidak tahu kalau saat bekerja, anaknya tidak sempat menjawab panggilan telepon..
"Lho kok cepat, bukannya resto burger itu sampai malam banget? Malah disini ada yang dua puluh empat jam."
"Nggak, Ma. Kebetulan aku ini resto cabang perkantoran, lokasinya aja nempel sama gedung kantor, jadi buka tutupnya mirip jam kerja kantoran, soalnya kalo kantor - kantor pada tutup, nggak ada yang beli, Aku nggak tahu apa di cabang lain buka lebih lama atau nggak. Tapi aku malah suka kayak gini, nggak ada shift - shift an," jelas Juna.
Papa Dana dan mama Ana menyimak penjelasan Juna, setidaknya sekarang ada rasa lega, apalagi mama Ana. rasa khawatirnya tentang kehidupan dan pekerjaan Juna sudah bisa diabaikan. Begitu juga soal tempat tinggal, Juna sudah mengirim video kamar sewanya yang baru, yang cukup nyaman dibanding sebelumnya dan sempat membuatnya cemas.
"Mama lagi ngapain di kantor Papa?" tanya Juna yang baru sadar kalau lokasi mamanya di ruang kerja papanya.
"Tadi abis makan siang bareng papa di sini, jadi mampir dulu sambil telpon mas Juna."
"Makan apa?"
"Makan gudeg komplit."
"Siapa yang bikin?"
"Mama," sahut papa Dana dan membuat Juna dan juga mamanya jadi tertawa. Semua juga tahu kalau itu hal yang mustahil.
"Kalo ngeledek jangan pol - polan gitu dong, Mas ..." protes mama Ana, dia cemberut.
Papa Dana langsung merangkul pinggang istrinya sebagai permintaan maaf.
"Coba itu tangan di kondisikan, itu kantor loh pak direktur," sahut Juna yang jengah melihat pemandangan mesra - mesra an seperti itu di kantor. Bukan apa - apa, Papanya sering sekali begitu tidak lihat kondisi. Kalau melihat begini kan jadi kayak cerita CEO yang mesra - mesraan di kantor.
"Ada yang sirik, Ma ... nggak punya pacar soalnya," sindir papa Dana.
Juna terkekeh.
"Nanti .. aku cari pacar disini. Siap - siap aja ngelamar anak orang, rambut pirang, kulit putih, hidung mancung dan ngomong R nya nggak jelas."
"Eh, jangan ... produk lokal aja, jangan nerusin cerita Mama kamu yang nggak kesampaian di masa lalu," sahut Papa Dana cepat.
Mama Ana malah terkekeh sambil memukul pelan bahu suaminya.
"Mulai deh ngungkit, cari gara - garaaa ...."
"kamu juga sering."
"Kalo cewek wajar dong, Mas."
"Bisa gitu mau ngungkit aja harus pake gender segala?
"Helooo, yuhuuu ... ada anak nya lho disini, jangan debat, please."
"Papa nih, Mas."
"Eh beneran, kan?"
"Iya deh iya .. eh Mas, memangnya boleh ya baru dua minggu lebih dikit udah dapat bule aja?"
"Yang bilang udah dapat bule tuh siapa sih, Ma?"
"Lah itu tadi jelasinnya spesifik banget."
"Ya kan cuma ngomong siap - siap doang, aku aja punya kenalan bule yang lumayan deket cuma lima orang doang, yang dua orang pasangan pacaran, yang satu cowok temen kerja, dan dua lagi cewek ... tapi ya nggak lah. Ada juga sih temen kerja lainnya, orang India, sama Malaysia juga. Masa iya dah mau kawin aja."
"Makanya jangan ngomong php gitu."
"Lah papa yang mancing."
"Papa lagi yang salaaah," sahut papa Dana pasrah.
"O ya, Ma. Leah katanya mau nonton konser ke Singapore, kenapa nggak boleh?"
Tiba - tiba Juna teringat adik kesayangannya yang waktu itu bilang tidak diizinkan mama nya pergi.
"Boleh kok, asal sama Mama."
"Ya malu dong dia pergi diantar Mama, kan Leah udah gede, Ma."
"Gini deh, Mas. Mereka mau pergi berenam cuma ditemani sama satu kakak temannya, anak sma pula, masa Mama biarkan pergi? Kalo terjadi apa - apa gimana?"
"Suruh Bitha temenin, kalo Mama yang temenin udah kayak anak TK dong dia."
"Ckk ... Bitha sibuk, mana bisa dia."
"Yaelah, cuma konser sehari doang, besoknya langsung pulang pesawat pagi."
"Kayaknya Mbak Bitha nggak suka sama artisnya, kalo Kpop favoritnya mungkin dia mau," jawab Papanya.
"Nggak jelas banget tuh dia, apaan sih Kpop - Kpop gitu."
"Ya biarin aja sih, Mas."
Juna diam saja kalau sudah mendengar papanya membela Bitha, Juna tidak akan bisa menang debat.
"Mas Juna sudah telpon eyang - eyangnya lagi nggak?"
"Belum, Ma."
"Telpon dong, Mas. itu di grup juga sudah ditanya kenapa Mas Juna keluar dari grup."
"Kan aku ganti nomor."
"Ya kan nomor wa tetap bisa sama,Mas. Tapi mas Juna malah ganti juga."
"Biar fresh juga, Ma."
"Mama invite lagi ke grup ya."
"Iya."
"Ya udah ... jangan lama - lama nongkrongnya, langsung pulang, istirahat."
"Iya, Ma. Ini juga sudah mau pulang kok, dikit lagi kopinya habis," jawab Juna.
"Sudah makan?"
"Makan malam belum, tapi masih kenyang soalnya tadi jam empat sudah makan burger sih, lihat nanti aja kalo masih lapar aku pergi makan lagi, kalo nggak masak."
"Masak apa, memangnya di sana boleh masak?"
"Bisa, kan ada dapur umum juga."
"Alat masaknya dipake sama - sama?"
"Disana, ada, tapi aku punya teflon sama satu panci sendiri."
"Owh bagus deh.
"Mas Juna bisa makan - makanan sana terus - terusan ya?" tanya Papa Dana.
"Bisa - bisa aja sih, tapi aku udah nyobain makan di resto Indonesia sih, rasanya authentic kok, menunya kayak masakan rumahan, udah sama kayak di Jakarta aja."
"O bagus dong, tiap hari aja makan di sana daripada repot."
"Mahal, Ma."
"Berapa memangnya?"
"Eh bukan mahal, maksudku agak jauh dari tempat kerja sama tempat tinggalku, mager aku kesana."
Juna lagi - lagi berbohong. Inilah kenapa dia tidak boleh sering - sering telepon mamanya, dosanya numpuk!
"Yaudah, baik - baik di sana ya, jaga kesehatannya, makannya dijaga banget."
"Iya, Ma."
"Jangan begadang, Mas."
"Iya, Pa."
"Bye, Mas."
"Bye Pa, Ma."
Setelah sambungan video call dengan orangtuanya selesai, Juna langsung berdiri dan meninggalkan cafe. Sebenarnya dari tadi dia sudah mau pulang, selain capek dan ingin segera mandi, dia juga harus membawa cuciannya ke tempat laundry yang tidak jauh dari tempat tinggalnya, cuma jalan kaki lima menit. Tapi demi mendapatkan tempat yang estetik dan terlihat sedang menikmati hidup yang nyaman, santai, bahagia dan setengah foya - foya setelah pulang kerja seperti yang banyak dilakukan oleh anak - anak muda seusianya di Jakarta, Juna rela membeli secangkir Americano agar tercipta kesan yang diinginkannya, tentu saja supaya papa dan mamanya tidak prihatin melihat anaknya yang sedang di perantauan, kalau sampai prihatin pada akhirnya bisa berujung disuruh pulang lagi.
Sampai di tempat perhentian Tram, Juna langsung menaiki Tram yang memang baru berhenti di hadapannya beberapa detik yang lalu, dia membaur dengan penumpang yang lain karena ini memang waktunya jam pulang kantor yang sudah pasti sangat ramai. Kadang saat seperti ini lah Juna kangen mobil Mercy dua pintunya, kayaknya nyaman gitu.
Sementara itu di kantor Dana ...
Ana membahas percakapan mereka dengan Juna tadi. Ana sangat pantang dibikin penasaran.
"Menurut Mas Dana omongan Mas Juna tadi cuman mengalihkan pembicaraan apa memang dia benar - benar ada pacar bule?" tanya Ana.
Dana masih bekerja dan berhadapan dengan laptopnya, rencananya mereka akan pulang cepat makanya dia harus segera menyelesaikan membaca laporan yang masuk, soalnya Ana tidak suka kalau dia membawa pekerjaan ke rumah.
"Bisa iya bisa nggak," jawab Dana sambil membuka kaca mata bacanya.
"Ckk ... itu bukan jawaban Mas."
"Terus apa namanya?"
"Ya kalau Jawabnya cuman bisa iya bisa nggak semua orang juga bisa, maksudku menurut pendapat Mas Dana waktu dengar Mas Juna ngomong tadi, gitu loh."
"Kalau melihat tipikal Mas Juna kayaknya nggak sih, nggak mungkin dia secepat itu suka sama cewek."
"Kayak bapaknya,"sahut Ana.
Dana tersenyum sambil mengetikkan sesuatu.
"Bagus dong, jadi kan cewek yang didapat benar-benar terpilih."
Ana mencebikkan bibirnya tapi Dana tidak melihatnya.
"Tapi kalau soal bule, ya bisa aja karena dia lingkungannya kan di sana, mana rencananya mau setahun kan disana?"
"Tapi kan banyak juga orang Indonesia di sana."
"Ya banyak. Tapi ya terserah dia aja yang penting dia suka, lagian kan Mas Juna belum pernah juga ngenalin cewek sama kita, cuman siapa itu temennya mbak Bitha yang sering datang ke rumah nyariin kamu juga?"
"Tata maksudnya?"
"Nah itu, bukannya dia suka sama Mas Juna ya?"
"Kayaknya sih gitu tapi aku nggak sreg ah sama Tata, nggak suka aku."
"Lah kenapa kamu yang nggak suka? Yang mau hidup sama dia kan Mas Juna."
"Nanti kalau Mas Juna nanya pendapat aku, aku pasti bilang nggak suka dan mas Juna pasti nurut."
Dana terkekeh.
" Mulai deh pocecip," sahut Dana.
"Kayak kamu nggak aja," sambar Ana.
"Apa iya aku begitu?" tanya Dana sambil menahan senyumnya lalu men-shut down laptop Karena pekerjaannya sudah selesai padahal baru pukul empat tapi mereka sudah mau pulang.
"Jelas!"
"Masa sih?"
"Makanya aku ingatkan, takutnya kamu lupa."
"Udah yuk kita pulang, aku mau pacaran dulu sama istriku ini."
"Masih sore mas."
"Tapi boleh kan? Hmm kalo gitu kita bikin pacaran sampai malam kalo kamu pengennya malam, apa kita check in aja biar nggak diganggu Leah?," tanya Dana dengan mengangkat satu alisnya dan itu membuat Ana memutar bola matanya.
"Kumat!"
Mereka pun keluar dari ruangan Dana menuju lantai bawah. Sudah jadi tontonan karyawan kalau pas Ana datang karena pasangan ini selalu terlihat mesra dan yang pasti mereka serasi sekali.