Terdengar jelas kumandang azan. Sudah dhuhur ternyata. Aku mengecilkan api lalu mengintip keadaan diluar dengan membuka sedikit tirai. Masih begitu ramai pembeli, kalau begini bagaimana caranya aku bilang pada pada Pak Bos bahwa aku mau pulang? Jelas gak enak banget pasti kalau bilang mau pulang padahal warung makan masih ramai-ramainya. Kecuali kalau sepi tak masalah. Kulihat Pak Adam dengan cekatan mengambili piring-piring kotor di meja, aku buru-buru menutup tirai saat ia berjalan kemari. Aku meraih spatula dan membalik chiken, tirai tersibak lalu Pak Adam masuk. Diletakkannya piring-piring kotor ke wastafel lalu ia berdiri membelakangiku. Duuh, bagaimana ijinnya, yaa? Perasaanku benar-benar tak enak.
"Bapak," kataku. Ia menoleh.
"Ya?" ucapnya. Aku menggaruk rambut, lalu nyengir.
"Emp, aku mau ... emp, salat," ucapku akhirnya karena benar-benar tak enak hati mau bilang pulang.
"Di situ kamar salat." Ia menuding ke arah pintu tak jauh dari kami.
"Ada kamar mandinya di sana."
Aku mengangguk, lalu berjalan cepat meninggalkannya. Ah, benar-benar sulit mau ijin. Akhirnya aku pun salat, setelah selesai kembali lagi ke dapur. Pak Adam yang tengah menumbuk-numbuk chicken membuat chicken langsung berselimut cairan merah kental menoleh memandangku.
"Tidak ingin makan dulu?" tanyanya saat aku meraih spatula lalu membalik chiken yang telah berubah kecokelatan. Aku pun mengangkatnya.
"Sudah saya siapkan." Pak Adam menuding meja yang menempel di dinding dengan 4 kursi plastik merah terang ditumpuk ke atas. Di meja ada nampan berisi piring nasi, chiken berbalut cairan merah kental dan sambal di mangkuk kecil.
"Iya, aku makan dulu deh, udah lapar." Aku tersenyum canggung.
"Silakan." Tangannya bergerak mempersilakan.
Aku pun mengangguk. "Bapak tidak makan juga?" tanyaku.
"Nanti saja setelah kamu selesai makan. Masih ramai."
"Baiklah." Aku akhirnya menuju meja, meraih kursi paling atas meletakkannya di dekat meja lalu mendudukinya. Kucuci tangan di mangkuk lalu menyuap perlahan. Aku sesekali tersenyum saat Pak Adam menoleh kemari. Benar-benar tidak nyaman rasanya. Dan aku harus membantunya lagi besok? Astagaaa. Sepertinya aku harus mengusulkan padanya agar ia mencari karyawan sementara. Jujur saja daripada berada di sini, aku lebih memilih menjaga toko baju. Ya walau terkadang melelahkan jika ada pembeli yang tawar menawar walau sudah dibilang semua barang yang ada di toko sudah harga pas, tapi masih enak jaga di toko. Setidaknya di toko tak perlu merasa canggung pada Pak Bos.
Aku mencubit ayam geprek lalu memasukkannya ke mulut. Tepungnya renyah sekali, ayamnya empuk dengan baluran sambal yang tak pedas sama sekali. Bukan, sepertinya ini bukan sambal tapi seperti tomat. Aku kembali mencubit ayam lalu mencocolkannya ke sambal di mangkuk kecil yang ternyata sangat pedas sampai aku mengipas-ngipas mulut dengan telapak tangan. Pak Adam memandangku dan ia menggelengkan kepala. Aku tersenyum canggung padanya.
"Bagaimana bisa ayam gepreknya tidak pedas sama sekali, Pak?"
"Tidak pedas, tapi kamu kepedasan," jawabnya. Tampak bibirnya tersenyum samar.
"Itu kan karena sambal di mangkuk ini. Biasanya kan kalau beli di mana saja, pasti ayam gepreknya pedas," kataku.
"Yang umum itu pasaran. Bagaimana rasanya menurutmu?" Tatapannya lekat ke wajahku.
"Rasanya sangat enak. Tepungnya crispy dan agak asam karena tomat, ayamnya lembut dan rasanya pas." Aku kembali mencubit daging ayam, memasukkan ke mulut lalu mengunyah timun. Pak Adam meraih kertas nasi dan memotonginya segi empat.
Begitu aku selesai makan, aku merebut gunting di tangannya lalu menuding kamar salat. Kataku, "Sana bapak salat dulu. Lalu makan. Jangan biarkan badan menjadi sakit karena telat makan."
Ia memandangku lama yang membuatku jadi begitu salah tingkah. Aku menggaruk rambut yang tak gatal dan tersenyum tak nyaman.
"Apa aku bicara salah?" tanyaku karena tak nyaman terus diperhatikan.
Ia tergagap. "Ti-tidak. Baiklah. Saya salat." Lalu ia berjalan meninggalkanku, segera masuk ke kamar salat. Aku menghela napas lega sepeninggalnya. Kupotongi kertas, membalik chicken, lalu mengintip keadaan di luar melalui tirai. Pembeli terus saja berdatangan. Kalau begini bisa-bisa sore baru bisa pulang. Aku menghela napas, lalu melirik ke arah Pak Adam yang baru selesai salat. Ia meraih piring dan mengambil ayam hangat yang baru kuangkat dari penggorengan.
"Kalau aku boleh memberi usul, lebih baik, bapak mencari karyawan sementara. Jadi bapak tidak repot sendiri," kataku. Dan aku juga tidak akan merasa tak nyaman begini lagi. Pak Adam yang baru akan menyuapkan nasi ke bibirnya langsung menjauhkan tangannya dan memandangku.
"Sudah saya lakukan tapi belum mendapat yang cocok yang benar-benar bisa masak walau saya sudah mentrainingnya."
"Oh, begitu rupanya."
"Iya."
Aku tersenyum tak nyaman.
Aku terus berkutat dengan ayam goreng sampai tanpa terasa sudah sore. Pelanggan masih saja berdatangan tapi ayam goreng tinggal 4 biji. Pak Adam melangkah keluar lalu membalik tulisan buka menjadi tutup. Bisa kulihat beberapa orang yang sudah duduk di kursi tampak kecewa, mereka berdiri dengan enggan.
Aku mencuci perkakas kotor, memasukkan botol-botol teh yang telah kosong ke kotak kayu, setelah itu menyapu lantai. Aku menyibak tirai, tampak di ruangan depan Pak Adam menyapu lantai. Akhirnya semua selesai dibersihkan. Pak Adam menuju ke arahku lalu merogoh dompetnya, mengulurkan dua lembar seratusan ribu. Ia menyipitkan mata karena aku terus memandangi uang yang diulurkannya. Lumayan jumlahnya padahal hanya kerja sehari.
"Tidak mau?" tanyanya, sebelah matanya kembali terpicing. Aku pun segera meraihnya.
"Terima kasih," ucapku, segera memasukkan uang pemberiannya ke dalam saku.
"Emp, aku pulang dulu, Pak."
Ia menatap jam yang melingkar manis di pergelangan tangannya."Tidak salat asar sekalian?" tanyanya. "Sudah jam lima lewat."
"Eh, iya. Ini mau salat sekalian, Pak." Aku mengangguk sopan padanya lalu masuk ke kamar salat. Astaga, benar-benar aku canggung banget di dekatnya. Dari jendela kamar salat, kulihat langit begitu pucat. Rinai-rinai hujan berjatuhan membasahi bumi. Aku menarik napas. Ya ampun kenapa malah hujan?
Aku menyegerakan salat dengan pikiran tak bisa tenang, sama sekali tak khusuk salat. Begitu selesai, aku segera mengemasi belanjaanku dan menentangnya di tangan kanan dan kiriku lalu berjalan ke depan. Tampak Pak Adam berdiri di ambang pintu menatap keluar di mana hujan terus berjatuhan.
"Pak, aku permisi dulu," kataku.
"Masih hujan, La."
Aku nyengir. "Iya, he he." Aku kembali nyengir. Hujan semakin deras saja, tak mungkin kan jika aku nekat pulang mengendarai motor? Bisa-bisa baru keluar dari sini sudah basah. Aku juga bisa masuk angin kalau hujan-hujanan dari Keramat Jati sampai ke Kebun Nanas. Tapi terus di sini bersama Pak Adam aku benar-benar tak nyaman. Kutatap jam di dinding dengan gelisah. Pak Adam juga tampak gelisah.
"Mau teh hangat?" tanyanya.
"Eng ... enggak deh. Lebih baik aku nekat saja."
Ia memandang ke arah perutku lantas berdiri.
"Ayo saya antar kamu pulang."
Aku mendongak memandang. Ragu. Mana mungkin aku diantar dia lagi? Tapi menunggu hujan reda entah kapan redanya, itu sesuatu yang tak bisa diprediksi.
"Tenang saya tidak makan manusia."
Eh. Aku memandangnya. Lalu tertawa kecil. "Astaga bapak, siapa juga yang berpikir bapak akan memakanku."
"Ayo." Ajaknya. Ia segera masuk ke dalam dan kembali lagi dengan payung di tangan. Mau tak mau aku mengikutinya keluar. Ditutupnya pintu, lalu kami melangkah menuju mobilnya di bawah payung yang sama. Aku membuka pintu bagian belakang, dia memandangku.
"Saya bukan sopirmu."
"Bukan begitu."
Ia membuka pintu bagian depan, dengan tak nyaman aku segera masuk. Pak Adam menyusul duduk di sebelahku menghadap kemudi. Mobil pun berjalan menyusuri jalanan yang basah yang tak begitu ramai. Kebanyakan kendaraan roda empat, hanya beberapa saja sepeda motor, pengemudinya memakai jas hujan panjang.
Hening di antara kami. Aku terus menatap ke luar jendela.
"Bapak," kataku. Ia menoleh memandangku sekilas.
"Tolong antar aku ke kantor polisi."
Ia mengangguk. Karena semakin tak nyaman saja dengan situasi ini, aku pun mengeluarkan HP berniat melihat-lihat sss atau internet. Saat aku mengusap layar HP yang membuat HP langsung menyala terang, terlihat 50 an panggilan tak terjawab yang kesemuanya dari Bang Rivan. Ada dua pesan masuk yang segera kubuka.
La kamu di mana jam segini belum pulang juga! Toko tempatmu bekerja juga tutup
Pesan kedua. Kembalikan sisa uang yang ada padamu saat ini, La. Abang membutuhkannya.
Aku tersenyum sinis, memilih tak membalasnya. Aku menyandarkan tubuh ke jok lalu karena sedikit mengantuk, aku memejamkan mata.
Aku membuka mata tak lama kemudian saat mendengar suara Pak Bos.
"La, sudah sampai kantor polisi."
"Makasih, Pak." Aku mengusap mata yang begitu berat karena begitu mengantuk, lalu membuka pintu mobil dan melangkah keluar dengan cepat. Hujan masih menyisakan rintik-rintik kecil.
Sampai di dalam, aku pun segera melapor, menjelaskan bahwa perhiasanku hilang sudah lebih dari 4 hari dan aku mengatakan mencurigai seseorang Yang ada di rumahku saat ini, dia orang baru. Tak lupa juga kutunjukkan foto perhiasanku. Laporanku dicatat. Begitu selesai, aku pun keluar dengan perasaan lega. Mataku melebar saat melihat Pak Adam menyembulkan kepalanya dari jendela mobil. Aku pun melangkah mendekat.
"Aku kira bapak udah pulang," kataku, menatapnya tak nyaman.
"Lalu kamu bagaimana pulangnya kalau saya pulang duluan?" tanyanya balik sambil membuka pintu mobil. Aku pun masuk.
"Aku kan bisa naik angkot."
"Hujan-hujan begini jarang ada angkot lewat. dompetmu." Ia meraih dompet di dasboard lalu memberikannya padaku. Aku pun menerimanya.
"Aku gak tau kalau dompetku tertinggal."
Ia mengangguk. Dilajukannya mobil pelan. Hujan yang tadi sempat mereda kini kembali deras. Di dekat lampu merah, jalanan macet total. Ada sekitar sepuluh menit dan jalanan masih saja macet. Pak Adam pun keluar, tak lama kemudian ia kembali masuk dengan baju sedikit basah.
"Ada kecelakaan di depan, La, tubuh si korban berceceran. Pasti akan sangat lama jika menunggu. Sebaiknya kita makan dulu."
"Iya, Pak." Aku mengangguk. Mobil pun menuju rumah makan Padang tak jauh dari lampu merah.
Canggung. Aku dan Pak Adam duduk di kursi berhadapan, aku sesekali tersenyum tak nyaman saat secara tak sengaja bertemu tatap dengannya.
"Kepala kakapnya enak," kataku. Ia terus menunduk memakan makanannya.
HP dari saku celanaku tiba-tiba berdering nyaring. Aku mengangkat panggilan vidio dari Bang Rivan. Tampak wajahnya merah padam terlihat marah.
"Ilana! Pulang kamu sekarang!"
"Belum bisa, Bang. Aku terjebak macet," sahutku.
"Apa-apaan sih kamu, La! bisa-bisanya kamu melaporkan Fani mencuri perhiasanmu!"
Aku tersenyum senang. Oh rupanya itu sebabnya ia tampak begitu marah.
"Cepat pulang sekarang juga kamu, La! Ce-pat! Kamu harus menjelaskan bahwa semua hanya kesalahpahaman!" ucap Bang Rivan semakin panik saja. Aku tersenyum penuh kemenangan. Pulang lalu menjelaskan pada polisi seperti yang diinginkan Bang Rivan, begitu? Memangnya aku bodoh, apa. Melihat Bang Rivan begitu panik adalah kebahagiaan tersendiri untukku. Sungguh rasanya senang sekali.