"Adik, maukah adik menjadi penghuni surga?" tanya suamiku di malam yang gerimis ini. Syahdu dan romantis untuk berduaan. Apalagi anak kami Umi kelas 3 SD baru saja tidur. Aku memberikan gelas berisi wedang jahe, agar perutnya hangat. Suamiku baru saja pulang kerja. Aku pun mendekat lalu duduk di sampingnya, menatapnya penuh cinta seperti biasanya.
"Tentu saja mau. Siapa juga yang gak mau," sahutku sambil tersenyum. Ia balas tersenyum. Tangannya bergerak pelan mengusap rambutku, penuh sayang.
"Kalau begitu, ijinkan Abang menikah lagi ya, Dik? Dengan adik mengijinkan Abang nikah lagi, jaminannya adalah surga."
Aku menatapnya kaget sekaligus tak percaya. Tanganku refleks mengusap perut seiring rasa sakit yang menyeruak ke dalam d**a meninggalkan rasa nyeri juga sesak. Mataku memanas ingin menangis mendengar permintaannya tapi kutahan, karena aku tak pernah menangis di hadapannya. Selama ini, aku menunjukkan pada semua orang bahwa aku adalah wanita yang kuat, tangguh serta mandiri.
"Kenapa ingin nikah lagi, Bang? Adik kan sedang hamil," ucapku sembari memandangnya penuh tanya. Ia meraih tanganku dan menggenggamnya. Tatapannya lekat ke wajahku.
"Karena adik sedang hamil itu makanya adik tidak bisa melayani Abang. Adik muntah-muntah terus, Abang pun jadi tak berselera. Abang sangat sayang pada adik, makanya Abang tak ingin menyusahkan adik dengan melayani Abang."
Kamu tahu yang kurasakan? Sumpah luar biasa nyesek. Aku sedang hamil tiga bulan cukup kewalahan mengurus diri sendiri juga keluarga butuh perhatiannya, malah dia ijin ingin menikah lagi. Tapi seperti biasa aku tak ingin terlihat lemah dengan menunjukkan sisi rapuhku sekaligus hatiku sedang hancur berkeping. Pedih ini, biar aku saja yang tahu.
"Oh gitu, jadi Abang ingin poligami karena aku gak bisa layani Abang?" tanyaku, menatapnya dengan hati luka. Ia mengangguk.
"Apa, perempuan yang disukai Abang tahu bahwa Abang memiliki istri yang sedang hamil?"
Dia mengangguk. "Iya dia tahu. Abang sama dia, pernah kecelakaan dua kali, khilaf berzina. Abang tak ingin kecelakaan zina dengannya lagi jadi Abang minta ijin menikahinya. Abang janji akan adil," ucapnya sungguh-sungguh.
Hatiku bagai diremas kuat mendengar penuturannya. Dadaku sesak. Sakit. Rasanya bagai ditikam-tikam belati. Keterusterangannya membuatku sedih sekaligus jijik. "Itu berarti dia bukan perempuan baik-baik."
"Jangan bilang begitu, dia perempuan baik!" ucapnya sedikit membentak. Aku tersenyum getir. Ia tak pernah membentak selama ini tapi gara-gara perempuan itu ia berubah.
"Baiklah kalau Abang memang mencintainya, maka aku ijinkan Abang menikah lagi dengan sarat, harta yang selama ini kita kumpulkan harus diatas namakan aku semua, bukan lagi nama abang. Karena dengan begitu, aku bisa tahu dia perempuan materialis atau benar-benar mencintai Abang."
Dia menatapku tak percaya.
Aku balas menatapnya menantang. Selama ini aku adalah perempuan yang patuh, tapi keterusterangannya barusan yang telah zina membuatku luar biasa muak. "Apa Abang takut dia ternyata hanya menyukai uang Abang?" tanyaku sambil menyipitkan sebelah mata. Hatiku remuk dengan sikapnya tapi aku tidak mau pasrah dengan takdir, menjadi perempuan bodoh yang rela dipoligami. Aku sangat mencintainya tapi aku tak ingin bodoh karena cinta. Tidak ada maaf untuk pengkhianat. Jika dia benar-benar poligami, maka semua harta akan kubawa pergi bersama anak kami. Karena belum apa-apa aku sudah nyesek, apalagi sampai dibagi cinta, bisa-bisa aku jadi tidak waras.
"Abang takut?" tanyaku. Dia memandangku lalu menggeleng tegas.
"Tidak sama sekali!" katanya lantang.
"Dan satu lagi sebelum Abang menikahinya, aku ingin dia tinggal di sini sebulan. Setelah satu bulan tinggal di sini dan dia tetap mau menikah dengan Abang, aku akan ijinkan Abang menikahinya." Lalu aku akan pergi dengan membawa harta yang telah diubah menjadi atas namaku.
"Baiklah," sahutnya enteng. Aku tersenyum penuh kemenangan. Lihatlah apa yang akan aku lakukan pada perempuan itu, Bang. Ingin kubalas sakit hatiku.
"Sekarang, ambilkan Abang makan malam. Abang lapar," katanya. Diambilnya wedang jahe dan menyeruputnya pelan dengan wajah bahagia, mungkin karena membayangkan akan menikah lagi. Aku tertawa dengan hati yang hancur.
"Apa, Bang? Aku gak salah dengar? Abang kan akan nikah lagi, jadi mulai sekarang, aku gak akan mengurus keperluan Abang lagi. Tapi perempuan itu akan tinggal di sini dan mengurus Abang."
Ia tercengang dengan mata melebar tak percaya. Aku membalasnya dengan senyuman termanis. Kita lihat besok, Bang, apa perempuan itu sanggup tinggal di sini bahkan hanya lima hari saja? Aku pun pergi meninggalkan bang Rivan yang terus menatapku tak percaya.