"Ayo bang pijetin aku," kataku saat Fani kembali duduk di kursi setelah kembali dari kamar mandi. Fani langsung memandang Bang Rivan. Aku pura-pura tak tahu bahwa Rifani cemburuan, itu terlihat juga dari wajahnya yang begitu keberatan saat ini. Aku terus bersikap cuek seolah tak tahu apa pun.
"Umi, kalau makannya udah selesai nanti langsung bobok, ya? Mama capek ingin dipijetin sama ayah." Sambil aku tersenyum sok manis pada Bang Rivan yang tengah menatap Rifani seolah mengatakan pada Rifani agar mau mengerti keadaannya. Melihat Rifani cemberut membuatku senang. Aku bahkan terang-terangan tersenyum penuh kemenangan pada Rifani.
"Iya, Bun," sahut Umi.
Aku pun beranjak berdiri, memandang Bang Rivan yang terlihat ragu dengan tatapan ke arah Fani tapi aku lagi-lagi pura-pura tak tahu. Aku segera menarik tangan Bang Rivan hingga berdiri lalu menggandengnya cepat menuju kamar. Begitu Bang Rivan masuk, segera kukunci pintunya agar Fani tak mengintip lagi. Aku duduk di bibir ranjang lalu menyentuh bahuku dengan tangan melengkung ke belakang.
"Ayo bang pijetin. Di sini rasanya pegal sekali."
Bang Rivan menurut, tangannya pun bergerak ke arah bahuku. Ah, enak. Setelah cukup lama, ia pun berhenti.
"Sudah enakkan belum?" tanyanya. Aku menggeleng.
"Masih pegal, Bang." Kini aku tiduran menyamping. Bang Rivan kembali memijitiku. Lalu semakin lama, tangannya mulai mengembara ke mana-mana. Pasti ia mau minta yang aku janjikan tadi. Benar saja, hangat napasnya menerpa telingaku membuatku berdesir, tentu saja walau aku sangat kesal pada Bang Rivan, tapi aku tetaplah perempuan normal. Dengan d**a yang semakin berdebar saja, aku berpikir bagaimana agar aku tak sampai melayaninya lalu sebuah ide muncul begitu saja di benakku. Aku pun melepas tangannya dari tubuhku lalu aku beranjak duduk, memandangnya. Dia yang sepertinya sudah ingin sekali mengajak ke surga dunia menatapku penuh tanya.
"Kenapa, Dik? Apa kamu mual lagi?" tanyanya yang langsung kujawab dengan gelengan kepala. Karena jika alasannya mual-mual, maka mual-mual orang hamil akan ada akhirnya yaitu menginjak 5 bulan sudah tak mual lagi. Jadi, aku memilih menggunakan alasan untuk satu tahun ke depan sebelum benar-benar cerai dengannya.
"Lalu kenapa?" tanyanya dengan mata sayu sepertinya sudah sangat ingin melakukannya.
"Aku takut terkena HIV, Bang." Suaraku lirih, tapi cukup membuat matanya melebar kaget, tampak begitu syok.
"HIV?" tanyanya dengan mulut menganga tak percaya. "Adik kira Abang punya penyakit HIV, begitu?"
Aku menggeleng. "Selama kita menikah aman saja, Bang. Tapi setelah aku hamil anak kedua dan Abang gak pernah nyentuh aku sama sekali tapi Abang nyentuh Fani, aku jadi ragu. Siapa yang bisa menjamin kalau Fani bersih, Bang?" tanyaku dengan sebelah mata terpicing. Wajah Bang Rivan seketika langsung memucat.
Ia pun menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak. Dia tidak mungkin punya HIV. Dia perempuan baik-baik, La," katanya dengan wajah terlihat tak yakin.
Aku menatapnya mengejek. "Perempuan baik-baik mah gak mungkin zina, bang. Perempuan baik-baik akan menjaga harga dirinya, kehormatannya."
"Jangan menjelek-jelekkan Fani Abang tidak suka, La!" katanya tegas membuatku langsung tersenyum mencemooh.
"Maaf ya, Bang, aku gak bisa layani Abang untuk saat yang gak bisa ditentukan. Aku sedang hamil, aku gak ingin anak kita tertular HIV. Karena seandainya Abang terkena HIV dari Rifani atau dari hubungan bebas dengan perempuan di luar sana, anak kita akan kena juga jika kita sampai berhubungan."
Matanya setengah mendelik dan ia menuding dadanya sendiri saat berkata, "Jadi kamu nuduh Abang selalu zina, begitu? Abang hanya melakukannya dengan Fani, La! Hanya dengan Fani!"
"Ya ya." Aku menggangguk-angguk karena tak ingin berdebat lagi. Namanya orang sudah keblinger, ia pasti akan terus membela diri seolah paling benar. Hanya membuang-buang waktuku saja.
"Ya sudahlah kalau kamu tidak mau, lebih baik Abang keluar saja!"
Oh tentu saja tidak akan kubiarkan ia keluar kamar lalu bermanjaan dengan Rifani. Maka aku pun menggunakan cara ini untuk membuatnya tetap di sini.
"Walau aku gak bisa atau belum bisa melayani Abang karena takut, tapi aku ingin deket sama Abang terus. Mungkin ini bawaan bayi, anak kita, Bang. Abang mau kalau keinginanku gak dituruti, anak kita jadi ileran?" tanyaku sambil memandangnya.
"Ya tidak!" sahutnya lalu menyentak napas.
"Kalau begitu, Abang tetap di sini!" sahutku memutuskan. Ia menghela napas panjang lalu merebah di sampingku. Saat ia berbaring miring memelukku, aku langsung menyingkirkan tangannya.
"Ya ampun panasnya, Bang. Hawanya panas malah dipeluk, ya tambah panas. Orang hamil benar-benar serba salah," kataku. Ia menarik napas, akhirnya ia memeluk bantal guling lalu memejamkan mata.
Aku bukannya tidak tahu kalau menolak keinginan suami untuk melakukan hubungan suami istri yang akan dinilai ibadah bersama adalah dosa. Hanya saja, aku jijik membayangkan saat ia bergumul dengan Rifani. Ya Allah ampuni aku.
Semakin lama mataku semakin berat, lalu aku jatuh tertidur.
***
Aku terbangun saat mendengar suara Rifani dan Bang Rivan, sumbernya dari kamar tamu yang ditempati selingkuhannya itu. Kutatap jam dinding, ternyata sudah jam lima pagi. Aku pun beranjak bangkit lalu berjalan menuju ke arah kamar tamu tanpa menimbulkan bunyi berisik sama sekali. Kulihat mereka duduk di ranjang berdampingan, tangan Rifani menyentuh perutnya.
"Duuh, perut aku gak enak banget rasanya, Mas, dari semalam terus bolak-balik ke kamar mandi." Keluhnya sambil meremas perutnya. Wajahnya pucat. Aku tersenyum kecil melihatnya yang tampak begitu tersiksa. Setakenak apa pun yang dirasakannya saat ini, jelas tak ada apa-apanya dibanding dengan yang kurasakan saat tahu dikhianati.
"Memangnya kemarin kamu makan apa? Mungkin kamu salah makan, Fan," ucap Bang Rivan menatapnya terlihat kasihan.
"Mungkin karena aku kebanyakan makan sambal kali, ya, kemarin? Habisnya bebek goreng di rumah makan langganan kita itu enak banget dicocol sambel."
Tangan Bang Rivan mengusap kepala Rifani dengan gemas dan ia tersenyum padanya.
"Kamu sih tidak bisa mengontrol diri. Kalau begini siapa yang susah? Kamu yang merasakannya sendiri, kan?" tanya Bang Rifan sambil menatap perempuan di hadapannya itu penuh sayang. Melihat tatapan Bang Rivan pada Fani membuat dadaku panas juga muak.
"Duuuh, mulas lagi, niiih. Aku ke kamar mandi dulu ya, Mas. Awas aja kalau sampai tinggalin aku. Aku butuh ditemani," katanya sambil berdiri. Aku cepat-cepat bersembunyi.
"Iya Sayang, akan mas temani sampai Mas berangkat kerja."
Fani pun segera berlari menuju kamar mandi. Enak saja minta ditemani, tidak akan kubiarkan ia ditemani Bang Rivan. Yang seharusnya Bang Rivan temani juga perhatikan adalah Umi. Walau aku sudah tak respek pada Bang Rivan, tapi aku tetap memikirkan Umi anak kami, tak akan kubiarkan Umi kekurangan kasih sayang ayahnya. Toh begitu, aku tetap ingin cerai karena Bang Rivan sudah berzina m*****i pernikahan kami. Walau begitu, komunikasi Bang Rivan dan Umi tak akan kubiarkan sampai terputus. Tapi sebelum aku dan Bang Rivan benar-benar cerai, aku akan membuat Bang Rivan juga Fani merasakan seperti yang kurasakan. Aku menderita juga sakit hati karena dikhianati, maka Bang Rivan juga Fani harus merasakannya juga. Harus.
Aku keluar dari persembunyian lalu melangkah ke arah Bang Rivan, menatapnya pura-pura terkejut seolah baru melihatnya di ruangan ini.
"Abang di sini, ternyata. Aku cariin di kamar gak ada, aku mau ajak Abang salat jemaah bareng Umi," kataku menatapnya.
Dia tergagap. "I-iya, La. Abang di sini karena di kamar gerah. Makanya Abang ke sini ngadem."
"Padahal AC di kamar nyala, di sini mati." Aku mengerutkan kening pura-pura heran, dalam hati ingin tersenyum melihatnya yang tampak begitu gugup dan salah tingkah.
"Itu...."
Aku mengerutkan kening, menatapnya menyelidik. "Awas ada CCTV di sini ya, Bang. Kalau Abang sampai buat zina di rumah kita, aku gak akan setuju Abang nikah lagi."
Dia menggeleng cepat. "Sumpah Abang tidak zina, tidak ciuman juga," katanya sambil mengangkat dua jari ke udara.
"Baguslah kalau Abang gak zina lagi. Kasihan Umi kalau punya ayah pezina. Ayo, Bang, kita salat."
Dia pun mengangguk. Kugandeng ia keluar kamar. Di ruang tamu, kami berpapasan dengan Rifani yang menatap suamiku protes. Astaga, dia benar-benar terlihat tidak rela melihatku dekat dengan Bang Rivan. Tapi aku terus bersikap cuek. Aku memandangnya lalu berkata,
"Fan, jangan lupa setrika baju Bang Rivan, juga siapkan sarapan untuknya."
Mata Fani langsung membulat, dia terlihat kaget sekali. Bukan hanya Fani, tapi Bang Rivan juga. Bang Rivan pun menoleh memandangku yang tersenyum kecil melihat ekspresi kaget Fani.
"Fani tidak bisa masak, Dik. Jadi kamu saja yang masak. Dulu saat orang tuanya masih hidup, dia selalu dimanja oleh orang tuanya, maklum anak satu-satunya. Dia tidak pantas melakukan pekerjaan pembantu." Bang Rivan menatapku memohon agar aku tetap memasak seperti biasanya tapi dengan tegas aku menggeleng. Enak saja Bang Rivan mau memperlakukanku seperti pembantu dan memperlakukan Fani yang hanya selingkuhan bak ratu. Oh tidak bisa aku tak sebodoh itu. Maka aku pun kembali menggeleng tegas.
"Dia akan menjadi istrimu jadi harus belajar mengurusmu, Bang. Apa Abang lupa bahwa sebelum aku nikah sama Abang, aku selalu dimanja oleh ayahku? Aku bahkan gak bisa masak gak bisa nyapu gak bisa nyuci piring karena yang aku tahu hanya kerja mencari uang waktu masih gadis. Tiap aku berangkat juga pulang kerja sudah tersaji makanan di atas meja. Ibu sangat menyayangiku dari kecil aku gak diijinin melakukan pekerjaan rumah, begitu pun ayahku setelah ibu meninggal, ayah tetap begitu memanjakanku aku gak boleh masak. Tapi setelah kita nikah, aku berubah mau melakukan pekerjaan rumah tangga walau aku pun kerja. Aku belajar masak makanya aku bisa masak. Jadi, Fani pun harus belajar. Aku tidak mau punya adik madu yang hanya bisa menyusahkanku ke depannya!" kataku tegas dan lantang membuat Rifani langsung menatap Bang Rivan minta dibela. Bang Rivan memijit-mijit kening tampak begitu frustrasi.
Aku menghela napas. "Ayo kita salat, Bang. Dan kamu Fani, cepat salat juga lalu buat sarapan. Dan jangan lupa setrika pakaian Bang Rivan. Oh ya ada lagi, jangan lupa cuci piring juga sapu rumah dan halaman."
Bang Rivan menghela napas. Dia memandangku terlihat kesal. "Kamu jangan keterlaluan, La. Kalau kamu bisa melakukan semua pekerjaan rumah kenapa bukan kamu saja yang lakukan? Biar Fani belajar dulu."
"Gak bisa, Bang. Aku lagi hamil. Aku gak mau kelelahan lalu keguguran. Abang ingat, kan, aku hampir keguguran saat hamil Umi karena kelelahan?"
Dia menghela napas, lalu mengangguk. "Iya."
"Sepertinya anak kita ini jantan lho, bang."
Matanya langsung berbinar. "Iya, iya, kamu jangan sampai kelelahan." Ia mengusap perutku, aku tersenyum penuh kemenangan pada Rifani yang terlihat sekali begitu kesal. Kusuruh bang Rivan wudu, lalu kubangunkan Umi untuk salat jemaah. Selesai salat kuajak Umi dan Bang Rivan minum teh sambil makan roti bakar yang kubuat. Ini kulakukan agar Fani cemburu melihat kebersamaan kami, juga agar Umi menikmati moment dengan ayahnya sebelum aku dan Bang Rivan cerai. Tentu saja Bang Rivan boleh menemui Umi kapan pun setelah kami cerai tapi pasti tak saban waktu dua puluh empat jam bertemu seperti saat tinggal serumah. Jadi moment ini tidak akan kusia-siakan. Ini semata untuk Umi.
"Ah sudah jam tujuh rupanya. Ayo Umi siap-siap, aku juga mau siap-siap ya, Bang?" Pamitku, tapi aku bukan siap-siap berangkat kerja, melainkan siap-siap untuk belanja menghabiskan uang Bang Rivan. Karena mobil akan dipakai Bang Rivan ke kantor, maka aku harus ke pasar Kam dulu mengambil motor. Bisa jalan kaki atau naik becak. Kalau bergegas, maka berjalan kaki menuju sekolah Umi, Umi tidak akan terlambat.
"Pakaian Abang tidak disiapkan dulu, La?" tanya Bang Rivan saat aku berdiri, meraih gelas berisi s**u hamil lalu meneguknya hingga kandas.
"Fani akan menyiapkannya untuk Abang." sahutku. Lalu aku bergegas ke kamar untuk ganti baju, seperti biasa hanya pakai kaus dan celana jins saja, rambut sebahu yang tergerai kukucir ke belakang agar tidak berantakan. Simpel. Kuraih ransel lalu menyelempangkannya ke punggung.
"Ayo Umi, kita berangkat." Ajakku sambil berjalan menuju kamar Umi. Umi yang sudah siap pun mengangguk. Saat kami mencapai ambang pintu hendak keluar rumah, terdengar sentakan napas keras. Penasaran, aku pun menggandeng tangan Umi menuju kamar yang digunakan hanya untuk meletakkan pakaian yang belum disetrika juga untuk menyetrika baju. Tampak Bang Rivan tengah memandangi bajunya yang bolong di bagian tengah membentuk setrikaan, wajahnya luar biasa jengkel.
"Ini kenapa bisa begini sih, Fan? Ini baju kesayangan Mas kenang-kenangan dari almarhum nenek." Bang Rivan tampak sangat kesal. Aku tersenyum melihat ekspresi suamiku yang begitu jengkel itu. Dia saja marah karena baju kesayangannya kenang-kenangan dari almarhum nenek dirusak oleh Fani, tapi bisa-bisanya dengan tanpa rasa bersalah memberikan gelang emasku dari almarhum ayah pada Fani. Mungkin itu yang dinamakan hukum karma dibalas tunai. Ha ha. Aku tertawa sendiri dalam hati lalu dengan perasaan luar biasa girang, aku membalikkan badan menuju pintu keluar, melangkah ke halaman sambil tersenyum senang. Hari ini cerah, secerah senyumku yang sedang senang sekali. Rasakan Bang Rivan, itu adalah pilihanmu sendiri yang ingin memperistri kan Fani.