Pendekatan Akhyar

1166 Kata
Ola duduk menunggu dengan cemas di ruang tamu. Sebelumnya Akhyar mengirim pesan bahwa dia akan tiba pukul sembilan. Tapi sudah hampir setengah jam lebih dari pukul sembilan, tidak ada tanda-tanda kedatangan Akhyar. Ola sempat mengecek ponselnya. Juga tidak ada pesan apapun dari Akhyar. Hampir saja Ola meninggalkan ruang tamu menuju dapur, terdengar suara ramai dari luar rumahnya. Ola tersenyum lebar setelah menyingkap tirai rumahnya, Akhyar dan rombongan benar-benar tiba di rumahnya. “Assalamualaikum, Eyaaang,” suara anak kecil perempuan setengah berteriak memanggil Ola. “Waalaikumussalaaam…” balas Ola seraya membuka pintu rumahnya. Ola senang sekali melihat dua anak perempuan berdiri di depan pintu dengan senyum menyeringai. Ada Akhyar juga di belakang mereka, dan dua orang berbadan tegap. “Waduh. Siapa namanya ini?” Ola benar-benar tidak menyangka dengan sikap dua cucu Akhyar yang sangat sopan di hadapannya. Keduanya cepat menyambar tangan Ola dan mencium punggungnya. “Aku Grace. Ini Gloria…” ucap Grace yang berbaju ungu motif garis-garis. Dia sibuk melepas sepatunya. “Oh iya. Silakan masuk,” ajak Bu Ola. Dia juga tidak lupa menyambut Akhyar. Akhyar dan kedua cucu kembarnya pun memasuki rumah Bu Ola. Kecuali dua pengawalnya yang duduk di bangku luar. “Maaf, Ola. Agak telat. Ini tadi si Gloria mengeluh sakit perut. Jadi terpaksa kita singgah di SPBU,” ucap Akhyar sambil melepas jas hitamnya dan menyerahkan ke Ola. Ola sedikit terperangah dengan sikap Akhyar yang seakan sudah menganggap dirinya orang yang sangat dekat. Dia gantung jas Akhyar di balik pintu kamar Farid yang berada di dekat ruang tamu. Ola tersenyum mendengar alasan Akhyar. “Gimana, Gloria?” tanya Ola ke Gloria yang tampak masih meringis menahan sakit. Ola sudah bisa membandingkan wajah Grace dan Gloria. Di samping pakaian mereka tidak mirip, dia juga cepat menebak seorang gadis yang tampak menahan sakit. Sementara yang lainnya terlihat sangat ceria. Grace bahkan langsung duduk selonjoran di atas tikar bersih yang Ola bentang sebelumnya. “Lega, Eyang. Tapi masih sedikit sakit,” jawab Gloria sedikit mengeluh. Logat jawanya sangat kental. Ola terperangah mendengarnya. “Cucumu medok, Mas,” komentar Ola kagum sambil melirik Akhyar yang sudah duduk manis di salah satu kursi tamu. Ola melangkah cepat menuju kamarnya, mengambil sesuatu dari sana. Lalu kembali cepat ke ruang tamu. “Nananya orang Bantul, La. Mereka ini lahir dan tinggal di sana sampe umur dua tahun. Trus pindah ke sini. Aku sekolahkan. Tapi tetap tiap libur sekolah pasti ke sana,” jawab Akhyar. Dia senang melihat sikap Ola yang sangat ramah. “Oh begitu. Ini mukanya bule-bule semua. Keriting lagi,” Ola kagum melihat cucu-cucu Akhyar. Dia pegang-pegang rambut keduanya dengan perasaan sangat senang. “Papa mereka rambutnya keriting. Keturunan Jerman Belanda,” tanggap Akhyar. Ola langsung meraih tubuh Gloria. “Eyang urut perutnya ya. Biar legaan,” tawar Ola ke Gloria. Gloria mengangguk tersenyum. Dia rebahkan tubuhnya di hadapan Ola. “Oh. Pantes. Muka-mukanya nggak ada Indonesianya ini. Mamanya?” Ola kembali menanggapi Akhyar. “Yah, mama mereka anakku, La,” Akhyar tampak gelisah. “Trus istrinya Mas dulu orang mana? Arab Jawa juga kayak Mas Akhyar?” Akhyar semakin gelisah. Sekilas dia melirik ke Grace yang asyik dengan gadgetnya, lalu Gloria yang sedang dipijat lembut Ola. Ola menyadari perubahan sikap Akhyar, akhirnya mencoba memberanikan diri menatap Akhyar. “Nanti aku ceritakan,” ucap Akhyar tenang. Dia juga mengedipkan matanya ke arah Ola. Berdesir jantung Ola ketika Akhyar mengerdipkan matanya kepada dirinya, seakan mengingatkannya kepada seseorang. Ola lalu ingat, Akhyar sebelumnya mengaku tidak pernah menikah. Ola langsung cepat-cepat mengalihkan perhatiannya ke Gloria. “Enak pijatan Eyang,” puji Gloria yang terlihat sangat tenang dipijat Ola. Ola senang dengan sikap sopan Gloria. “Tadi pagi makan apa?” tanya Ola dengan senyum hangatnya. “Roti isi telur mata sapi sama sayuran. Trus minum susu.” jawab Gloria. “Buru-buru nggak makannya,” Gloria tertawa kecil. “Iya, Eyang. Buru-buru. Takut mlayu Njidnya…” Gantian Ola yang tertawa keras. Gloria bisa saja candaannya. Sekilas dia lirik Akhyar. Sikap Gloria dan Grace persis dirinya, ramah dan cepat akrab. *** Siang itu Ola mengajak Akhyar dan kedua cucunya makan siang di rumahnya. Ola sebelumnya memang sengaja mempersiapkan makan siang buat tamu-tamunya hari itu. Ola senang, karena tamu-tamunya sangat lahap menikmati hidangannya. Padahal hanya sayur lodeh, ikan gabus goreng dan sambal terasi. Dia sempat heran melihat dua gadis kecil cucu Akhyar yang lahap sekali. “Merek biasa makan begini di Bantul. Nananya yang mengajari. Malah jarang makan cepat saji atau makan di resto. Mamanya juga jago masak ikan,” ujar Akhyar sambil membantu mengambilkan nasi tambahan untuk Gloria. Akhyar kemudian sejenak melirik-lirik dapur Ola yang diisi dengan peralatan dapur yang sederhana. “Kamu sudah berapa lama tinggal di sini, Ola?” tanya Akhyar. “Hm, kurang lebih 14 tahun, Mas. Sebelumnya tinggal di Bogor. Suami berpulang, trus aku pindah ke sini,” jelas Ola. Entah kenapa dia mulai merasa nyaman di hadapan Akhyar. “14 tahun? Wow. Punya siapa rumah ini, Ola? Kenapa nggak dibeli saja? Nyaman,” Ola tergelak. “Orangnya nggak niat jual. Rumah penuh kenangan katanya. Aku yo seneng di sini. Orang yang punya juga seneng aku di sini. Katanya ada yang jaga.” Akhyar menatap wajah Ola yang sering menghindar dari tatapannya. “Njiiid. Wetengku wes penuhhh,” keluh Grace sambil memegang perutnya. Padahal masih ada sisa nasi sedikit yang ada di piringnya. “Ya sudah. Sini piringnya. Eyang habiskan nasinya,” tanggap Ola. Lalu tampak Grace turun dari kursi makan sambil menunggu Ola mengambil nasi dari piringnya. Ola amati Grace dengan wajah kerut penuh tanya. “Piringnya, Eyang. Mau aku letak di sink.” Ola menganga takjub. Dia lirik Akhyar yang terlihat bangga dengan sikap cucunya. “Ya sudah. Ini sekalian piring kecilnya. Ini dan ini,” perintah Ola sambil meraih dua piring plastik kecil bekas sambal terasi dan meletakkan di atas piring bekas Grace makan. “Ok, Eyang. Siap,” “Duh. Cah Ayu. Rajiiin. Siapa nama Mamanya ini?” Ola tak berhenti menatap kagum sosok Grace yang dengan santai berjalan menuju sink dapur dan meletakkan piring-piring kotor. “Aku tarok aja ya, Eyang. Nggak ngerti cuci,” aku Grace malu-malu. “Udah. Eyang nggak suruh cuci, Sayang,” Grace lalu melangkah ke ruang depan dengan langkah berat karena kekenyangan. Ola tak berhenti mengamatinya. “Sabine,” ucap Akhyar tiba-tiba. “Iya, Mas?” “Nama mama mereka ini Sabine.” “Oh … Sabine,” beo Ola. *** Setelah makan siang, Akhyar duduk-duduk santai sambil merokok di atas kursi sofa di teras samping rumah Ola. Kursi tersebut sebenarnya kursi tamu rumah Ola. Akhyar meminta pengawalnya memindahkannya ke teras samping. Biar lebih nyaman. Karena cuaca cukup panas siang itu, Akhyar membuka kemejanya dan membiarkan tubuhnya terbalut kaos putih tipis dan sarung milik Farid yang dipinjamkan Ola untuknya. "Jangan berebutan. Gantian mainnya," ujar Akhyar ke kedua cucunya yang asyik bermain di dalam sebuah kolam plastik besar yang berisi air. Grace dan Gloria yang tubuh masing-masing hanya berbalut singlet dan k****t, sangat ceria berendam di dalam kolam tersebut. Sesekali terdengar cekikikan keduanya yang saling siram. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN