Bujukan Hanindita

1135 Kata
Anggiat sangat tersentuh mendengar alasan Hanin yang menginginkan Akhyar dan Ola ‘bersatu’. Keinginan Hanin sangat mulia, menginginkan hidup besannya diliputi kebahagiaan dan cinta. Anggiat akhirnya ikut memikirkan kehidupan Akhyar yang juga tidak sempurna. Ada sisi yang sangat rapuh yang Akhyar punya dan menurutnya harus diperbaiki segera jika masih ada kesempatan. Akhirnya Anggiat bercerita panjang lebar mengenai kehidupan Akhyar. Sangat detail. Dari awal Akhyar yang memilihnya sebagai salah satu tim pengacara yang mengurus perusahaannya, kisah cintanya yang kandas, lamarannya yang ditolak, hingga berujung kekecewaan yang menyebabkan dirinya memiliki affair dengan seorang wanita yang baru saja menyandang status janda. Kemudian Anggiat juga mengisahkan sisi hidup Akhyar yang sangat aneh menurutnya, yaitu senang memelihara gadis-gadis muda yang berganti-ganti setiap tahun bahkan setiap bulan, tanpa ‘menyentuh’ mereka. Akhyar sangat dikenal kelompok elit gadis-gadis muda yang haus kasih sayang. Akhyar memang penuh pesona. Mata Hanin mengerjap-ngerjap mendengar sisi kehidupan Akhyar yang sangat aneh. Berkali-kali dia menelan ludah membayangkan kehidupan Akhyar. Terutama saat Anggiat dengan tenang mengisahkan Akhyar yang jatuh cinta kepada seorang gadis muda yang bernama Sabine yang dia jumpa di sebuah hotel. Bahkan berniat ingin menikahinya. Dan gadis itu ternyata adalah anak kandungnya sendiri dari rahim janda yang dulu dia gauli. Merinding Hanin mendengar kisah Akhyar. Rasanya tidak mungkin dia akan menceritakannya ke besannya. “Tapi kehidupan Akhyar sudah berubah, Bu. Dia sudah menjalankan hidup normal. Dia sudah mengakui kesalahannya. Tidak ada lagi gadis-gadis yang dia pelihara. Anaknya, Sabine, menikah dengan salah satu pegawainya, punya anak kembar perempuan.” Hanin menganggukkan kepalanya. Kini dia memahami kenapa status Akhyar tetap menjadi ‘single’ meski memiliki anak dan cucu kandung. Dia ingat ketika berkunjung ke kediaman adik Akhyar di mana Akhyar tinggal. Dia juga sempat berkenalan dan bercakap-cakap dengan Sabine dan anak-anaknya. Keluarga Akhyar sangat hangat dan akrab. “Jadi dia itu tinggal di paviliun kecil di belakang rumah adiknya, Anggiat?” tanya Hanin akhirnya. Kali ini dia sangat prihatin dengan hidup Akhyar. Meski memiliki segalanya, tapi ternyata hatinya sangat rapuh. “Iya. Sebelumnya dia tinggal di apartemen mewah. Karena kecewa dengan sikap gadis-gadisnya yang memusuhi Sabine, dia pindah ke rumah adiknya. Itu jauh sebelum dia mengetahui bahwa Sabine adalah darah dagingnya.” “Dan dia masih menyesalkan cinta pertamanya?” tanya Hanin. “Ya. Ini kabar baik menurut saya. Akhyar sangat sulit melupakan Nayura. Apalagi Nayura menikah dengan adik dari ibu mertua Uzma, adik Akhyar. Yang juga tidak lain adalah Ibu mertua Ayu, cucu Ibu.” Hanin tersenyum menggeleng. Hidup Akhyar benar-benar sulit. “Cukup susah menundukkan hati Ola. Meski lemah lembut, tapi hatinya sangat teguh,” keluh Hanin. Masih teringat jelas di benaknya wajah Ola yang begitu sewotnya ketika dia mengatakan keinginan Akhyar untuk mengenalnya lebih jauh. “Apalagi saat mendengar curhat Akhyar tadi pagi. Ola benar-benar tidak menginginkannya.” Anggiat menghela napas berat. Sedikit menyesal bercerita sisi kelam Akhyar. “Terima kasih banyak, Anggiat. Sepertinya memang sudah saatnya Ola mengetahui hidup Akhyar. Paling tidak, dia bisa menentukan sikap.” “Tapi, Bu Hanin. Bukannya dengan mendengar cerita saya tadi, Bu Ola jadi bertambah menjauh?” “Tidak juga. Justru menurutku lebih baik sedari awal Ola tau. Aku juga tenang bisa bercerita dan memberinya pandangan terhadap kepribadian Akhyar. Aku tau Ola. Kamu saksikan saja menantu-menantunya, dari Renata yang memiliki sisi hidup yang tidak jelas dahulunya, termasuk anakku yang keras kepala. Dia tidak pernah mempermasalahkan. Yang penting mereka saling sayang.” Anggiat merapatkan bibirnya. Lalu mengangguk. “Jika ibu menginginkan informasi lebih mengenai Akhyar, saya akan siapkan.” Hanin menepuk-nepuk pundak Anggiat. Ini awal yang baik bagi Ola, juga Akhyar. *** Hanin berdecak nikmat setelah meneguk habis jamu buatan Ola. “Waduh. Kerasa banget ini kencurnya, Ola. Enak tenan,” puji Hanin setelah meletakkan gelas kecilnya di atas meja makan rumah Ola. “Enak kan jamu saya, Mbak. Ini semua tetangga sekeliling setiap hari beli jamu saya. Cuma sekarang saya nggak bisa buat sebanyak dulu. Sejak asisten saya diboyong Guntur.” Hanin tertawa kecil mendengar candaan Ola. Dia amati besannya itu cukup lama. Sejak Akhyar menyatakan rasa sukanya terhadap Ola melalui dirinya, lama-lama Hanin mengakui jika Ola ternyata memang memiliki pesona yang spesial. Dia baik, sopan, humoris, apa adanya, pengalah, dan rajin. Terlepas dari sifat-sifat baik Ola, Ola ternyata cantik juga. Terbayang di benaknya besannya itu berjalan berduaan dengan Akhyar, sangat membahagiakan. “Ih, Mbak. Kenapa liat-liat saya begitu?” sewot Ola. Dia mulai curiga dengan sikap Hanin yang senyum-senyum mengamatinya yang sedang mengolah jamu di atas lantai beralas tikar kecil. Sementara Hanin duduk di atas kursi makan. Hanin tertawa kecil melihat ekspresi wajah Ola. Persis Nayra. Sepertinya Guntur dan Akhyar memiliki selera yang hampir mirip. Menyukai perempuan-perempuan yang memiliki warna wajah yang sama ketika sewot. “Akhyar cerita ke aku kalo kamu menolak bantuannya,” mulai Hanin. Tampaknya Ola tidak terlalu kaget dengan perkataan besannya itu. Dia bersikap biasa saja, tidak kaget atau marah. Ekspresi sewotnya pun tidak terlihat lagi. Namun bagi Hanin, justru ekspresi yang ditunjukkan Bu Ola sulit ditebak, apakah hatinya ngedumel, marah, sebal, atau kecewa. Ola terus saja mengolah rempah-rempah jamunya. “Mbak ... Mbak. Ya wajar toh saya tolak. Wong saya nggak kenal banget. Cuma beberapa kali bertemu.” Hanin masih mengamati wajah Ola. Kali ini seperti ada perasaan yang dia simpan dan tidak mau dia ungkapkan. “Tapi dia tetap berusaha ingin dekat, Ola. Jelas sudah aku katakan, dia bukan orang asing lagi di keluarga besar kita. Menurutku nggak wajar kamu tolak,” tukas Hanin. Sepertinya dia tidak menyetujui sikap Ola kemarin. “Seharusnya kamu penuhi saja permintaannya. Coba kamu di posisi dia, ditolak mentah-mentah. Nggak enak banget kan? Kecewa, malu. Itu yang dia rasakan kemarin.” Ola menelan ludahnya. Dia sedikit merasa bersalah. “Ya. Sampaikan maaf saya, Mbak,” ujar Ola pelan. “Mungkin saya memang nggak tau cara halus menolak. Habis wajahnya itu lo, kayak maksa. Kurang suka saya,” aku Ola akhirnya. “Apalagi setelah Mbak bilang dia mau deket-deket saya. Duh. Risih saya. Nggak enak duduk-duduk dekat-dekat di dalam mobil kecilnya dia itu. Kalo mobil Mbak kan ada jaraknya. Kursinya masing-masing.” Senyum Hanin terkulum mendengar alasan Ola menolak bantuan Akhyar. Akhyar memang memiliki selera berbeda. Dia lebih menyukai mobil tipe sedan yang kursi penumpangnya memang tidak ada pembatasnya. Berbeda dengan van mewahnya yang kursi penumpangnya terpisah-pisah. “Yah. Kalo kamu merasa bersalah. Hubungi dia. Ucapkan maaf,” ujar Hanin menyarankan. “Saya nggak punya nomornya. Tapi Rena sudah kasih nomor saya ke dia. Sampai sekarang dia juga nggak pernah hubungi saya. Bagaimana bisa saya bilang maaf?” Hanin mengeluarkan ponselnya. "Kamu mau minta maaf?" tanya Bu Hanin sambil menyerahkan ponselnya ke hadapan Bu Ola. Bu Ola tampak ragu meraihnya. "Ya sudah. Saya hubungi dia," putus Bu Ola akhirnya. Hanin menghela lega ketika ponselnya diraih tangan Ola. Ola tampak tenang meletakkan ponsel ke telinganya sambil dengan seksama mendengar nada sambung yang tehubung ke ponsel Akhyar. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN