Gara gara keringat

1198 Kata
Amarah Rangga langsung mereda kala melihat menggemaskannya tingkah Nadia. Rangga tahu gadis itu sudah menjadi istri orang lain, namun apa yang dia lakukan hanya mengikuti kata hatinya. Menekan keras luka hati ketika melihat gadis yang dicintainya menikah dengan orang lain. Bahkan ketika ia harus mengatakan ‘Katakan saja jika kau menginginkan sesuatu’. Hati Rangga tak setegar itu, ada getiran hati yang berdarah di balik kata mengharukan itu. Seorang pria mengesampingkan perasaannya, lebih mengutamakan bayi yang ada di dalam perut gadis kesayangannya. Bukan bayi mereka, melainkan bayi pria lain yang telah berhasil mendahuluinya. “Tuan, saya sudah menemukan gadis yang anda ucapkan tempo hari.” Tutur Sekertaris Rey sangat sopan, badannya ia bungkukan Sembilan puluh derajat ketika Rangga menatapnya tajam. Entah kenapa, ucapan Rey sangat membuatnya muak. Calon istri, wanita. Hal itu menghantui pikiran Rangga, padahal jelas-jelas dia sendiri yang sudah memutuskan untuk mencari gadis lewat tangan Sekertaris Rey. Setelah menarik nafas, terlihat pria bertubuh atletis itu memejamkan mata. Tangannya mengepal mengingat kebersamaan suami Nadia bersama wanita lain. Tidak seharusnya memang dia mencampuri urusan rumah tangga orang lain, namun kecintaannya pada Nadia yang sudah besar membuat Rangga tak segan dengan hal itu. “Katakan.” “Beliau adalah gadis ….” “Tidak! Aku tidak ingin mendengarnya sekarang.” Ucap Rangga memotong ucapan Sekertaris Rey. Pikirannya yang dipenuhi oleh Nadia tidak akan bisa menerima laporan apapun dari Sekertaris Rey. Rey terlihat menatap tuannya lekat. Menimbang apa yang ada di pikirkan tuannya. “Apa tuan melihatnya tadi?” Rey yang pintar tentu tahu jika Rangga melihat jelas aksi dua sejoli yang bermesraan di Club tuan Dave tadi. Rangga hanya diam, dia hanya memikirkan perasaan Nadia saat ini. Namun ucapan Rey berhasil membuat Rangga menoleh padanya. “Nona Nadia di bawa ke rumah sakit karena mengalami pendarahan.” “Apa kau bilang?” Rangga berbalik mencengkram kerah baju Sekertaris Rey. “Iya tuan. Vian, suaminya mendorong Nona Nadia hingga membuat beliau mengalami pendarahan.” Tutur Sekertaris Rey dengan tetap tenang. Rangga berdecih, mendorong Sekertaris Rey kemudian menyambar kunci mobilnya. Sekertaris Rey menatap punggung besar itu, kemudian beralih pada foto dua anak kecil yang sedang tersenyum. *** “Apa bayinya baik-baik saja?” Tanya Rangga tiba-tiba, matanya langsung fokus pada perutku yang masih rata. Apa dia tahu kejadian tadi? Pertanyaanya kembali membuatku terpaku. Pria yang belum lama aku kenal di kampus itu kenapa bisa se peduli ini? Padahal jelas-jelas dia bukan ayah dari bayiku. “Alhamdulillah baik-baik saja, ….” “Rangga!” Timpal Rangga tegas. Sepertinya dia tahu aku akan memanggilnya bapak lagi. “Kamu bisa memanggil saya bapak jika hanya di dalam kampus.” Tegasnya lagi, aku hanya manggut-manggut. Menatap wajah dosenku itu dengan tenang. Hening. Aku dan Pak Rangga kembali terdiam ketika tidak ada lagi yang ingin kami bicarakan. Aku bergelut dengan pemikiranku perihal ucapan perasaan Pak Rangga tempo hari. Aku beranggapan jika Pak Rangga hanya sedang tak sehat dan bergurau saja, tidak mungkin jika seorang Rangga Prasetya yang tampan, kaya dan pintar belum memiliki istri atau kekasih bukan? Apalagi di usianya yang sudah matang. Sedang Rangga sedang merutuki Sekertaris Rey yang memberikan informasi terlambat padanya. “Hm, tau dari mana Nadia ada disini?” Tanyaku takut-takut. Pria di depanku ini selalu terlihat menyeramkan jika sedang marah, tapi selalu terlihat tampan jika sekali senyum saja. “Burung merpati!” Ketus Rangga karena masih kesal dengan Vian. Lelaki tak bertanggung jawab itu bahkan belum menampakan wajahnya disini. “Hmp, hahahaha.” Aku tertawa, menggema mengisi seluruh ruangan. Seorang dosen tampan yang terkenal cool dan irit bicara ini bisa berkata tak jelas seperti itu juga ternyata. Haha! Bisa di tertawakan satu kampus jika semua mahasiswi tahu. Rangga terlihat mengangkat alis, sambil menikmati tawa renyahnya Nadia. Gadis itu masih bisa tertawa dalam kondisi seperti ini? Aneh! Puk, puk. Aku memukul lengannya gemas, tawaku tak bisa ku tahan apalagi melihat alisnya yang tebal bertaut. Terlihat tampan tapi lucu sekali. Dasar cewe ya, selalu saja mukul jika sedang tertawa. Rangga semakin menautkan kedua alisnya menatap tangan Nadia, tawanya juga tak kunjung berhenti. “Hey! Apa kau sakit?” Rangga sampai beranjak, menempelkan punggung tangannya pada dahiku. Membuatku langsung terdiam dan menatapnya. Mataku bergerak-gerak menatap keringat di pelipis Rangga. Karena jarak kami yang dekat membuat aku bisa melihat jelas keringat itu. Malam-malam? Berkeringat? Pikiranku langsung menerawang. “Hahahahaha.” Gadis itu kembali tertawa membuat Rangga reflex melangkah mundur. Meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. “Rey! Panggilkan dokter kesini, sekarang!” ujar Rangga tegas bercampur panik, hal itu membuat Sekertaris Rey yang masih berdiri di depan ruangan kelimpungan dan langsung berlari menuju ruang kepala Dokter. Sedang aku langsung terdiam mendengar suara Rangga. “Eh, kenapa panggil dokter?” Tanyaku aneh, kurasa tidak ada yang membutuhkan dokter saat ini. Rangga tak menghiraukan, matanya terus menatap pintu menanti kedatangan dokter. Tak lama seorang dokter gagah datang dengan tersengal-sengal, alat-alat yang menempelnya di tubuhnya saja sampai bergerak menandakan jika dokter itu habis berlari. “Ada yang bisa saya bantu Tuan?” Tanya sang dokter dengan nafas yang masih tersengal-sengal. Tak lama Sekertaris Rey juga datang kemudian membungkuk. “Cepat periksa dia!” Ujar Rangga sambil menunjukku yang masih terperangah. Dokter itu menatapku heran, kemudian beralih menatap pemilik Rumah Sakit itu dengan lekat. “Tapi tuan, dia baru saja di cek oleh dok-.” “Sudah kukatakan aku tidak senang mengulang kataku Dokter Aditya!” Tutur Rangga dengan tercekat geram. “Baik-baik tuan.” Dokter itu langsung patuh dan berlari, menghampiri dan mengecek tubuhku yang masih menatapnya aneh. “Eh, eh. Aku mau diapakan?” Bergerak-gerak menghindar, takut jika aku tiba-tiba di suntik dan pingsan, terus di bawa dan di jual. Kan, aneh-aneh deh mikirnya. Melihat Nadia yang memberontak, Dokter Satya memutuskan untuk memberi obat penenang. Mengeluarkan suntikan dari kotak peralatannya. “Tidakkkk!” Mataku langsung membulat melihat suntikan yang terlihat jumbo itu. Aku hendak loncat, namun Rangga dengan cepat memegangi kedua tanganku kuat dan reflex membuat aku semakin ketakutan dan semakin memberontak. “Tidak! Kalian mau buat apa padaku?” “Rey! Cepat bantu aku!” Sentak Rangga pada Sekertaris Rey yang hanya menatapnya dengan senyum tipis. “Baik tuan.” Aku semakin memberontak, aku tidak ingin di jual. “Aaaa tolong!!!!” Teriakku masih berusaha menghindari suntikan yang akan di layangkan dokter Aditya. “Bodoh!” Geram Rangga ketika melihat Dokter Aditya yang tak kunjung menancapkan suntikannya. Terlihat Sang Dokter malah diliput keringat panas dingin menghadapi pasien membuat Rangga semakin naik pitam dan mengambil alih suntikan. Aku semakin ketakutan ketika suntikan yang terlihat jumbo dimatanya itu ada di tangan Rangga, aku bergerak-gerak sekuat tenaga untuk menghindarinya. Kala di tengah keributan memegangi aku yang memberontak, aku tak sengaja menarik tangan Dokter Aditya yang gugup diam saja hingga membuat Rangga tak sengaja menancapkan suntikan itu pada lengan sang dokter. “Dokter!” Ujar Rangga, Rey dan aku berbarengan. Semua langsung terdiam dan saling tatap ketika sang dokter langsung pingsan di tempat, bahkan di atas kakiku. Alhasil, bukan aku yang pingsan. Sekertaris Rey malah menggotong Dokter Aditya ketempat tidur menggantikan aku yang kini menatapnya kasian. “Apa dia mati?” Tanyaku tiba-tiba membuat Sekertaris Rey dan Rangga menatapnya tajam. Aku cengengesan, berharap amarah kedua pria menakutkan itu mereda. Kemudian kembali menatap Dokter Aditya yang terlelap pingsan di atas brankar milikku. Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN