Setelah mengusap lenganku Mas Arhab duduk di salah satu kursi di ruang inap ibu. Dia mulai fokus dengan gawainya. Aku tetap memerhatikan Ibu lekat. Takut ada suatu hal yang terlewat. Belum pernah ibu sakit seperti ini. Ibu selalu bilang baik-baik saja saat aku menanyakan kabar. Ibu juga tak pernah mengeluhkan kehidupannya di desa. Setiap kali aku pulang, Ibu juga tampak nyaman dengan kondisinya. Aku tak pernah menduga akan seperti ini keadaannya.
Kembali kupegang tangan keriput ibu. Menguntai doa pada langit agar beliau segera disembuhkan. Aku tertunduk takzim. Tanpa sadar sebuah bunyi keluar dari perutku.
“Apaan, Mir?” Sontak Mas Arhab menimpali.
“He.” Aku menatapnya malu.
“Kamu lapar?”
“He, iya. Dari pagi belum keisi ternyata perutnya.” Aku memang belum sarapan dan makan siang. Sementara waktu sudah hampir sore.
“Tunggu bentar ya,” ucapnya lantas berdiri.
“Mau ke mana, Mas?”
"Cari roti buat ganjal perut kamu.” Lagi Mas Arhab menghiaskan senyum di wajahnya. Aku tersipu malu.
Selepas Mas Arhab keluar, Martia datang setelah lama sekali dari toilet. Aku enggan bertanya banyak.
“Mas Arhab mana?” Gadis berambut keriting itu mengedarkan pandangan.
“Keluar sebentar,” jawabku singkat.
“Oh gitu. Ya udah aku mau balik ya, Mir. Gak bisa lama di sini.”
“Balik ke rumah?”
“Iya. Tadi aku ninggalin toko gitu aja. Takutnya ada yang mendesak.”
“Oke, Mar. Makasih udah kasih kabar ke aku. Maaf aku merepotkanmu terus.” Tak bisa dipungkiri Martia kerap menjenguk ibu juga. Kadang aku juga mengecek kondisi ibu lewatnya.
“Sama sama, Mir. Lagian yang banyak bantu kali ini juga Mas Arhab bukan aku. Oh, ya gimana masalah kamu?”
Martia juga menyadari rumah tanggaku sedang tidak dalam kondisi baik. Pulang tanpa Mas Baja dan Akila jelas menunjukkan seperti apa sebenarnya yang terjadi. Aku tertunduk kembali. Martia sedikit mengerti masalahku. Namun, untuk menceritakan semua terasa berat terlebih apa yang kuketahui pagi ini.
“Its okay. Kalau kamu butuh waktu buat ngilangin beban itu. Yang pasti fokus sama kesehatan ibu dulu, ya,” ucapnya seraya mengusap lenganku. Aku mengangguk lemah.
“Aku cabut dulu, Mir.” Martia pun bersiap keluar dari ruang inap ibu. Sebagai rasa terima kasih, aku mengantarnya sampai parkiran. Membiarkan Ibu beristirahat seorang diri.
***
“Kok di luar?” tanya Mas Arhab saat kami berpapasan di area depan rumah sakit.
“Ngantar Martia, Mas. Dia mau balik.”
“Oh, gitu. Ayo ke dalam lagi.” Mas Arhab mengangkat tinggi keresek bening berisi roti di dalamnya. Terlihat gambar salah satu kartun favorit Akila di sana. Dadaku kembali berkrenyut. Saat ini aku juga merindukan Akila.
Kami pun berjalan lambat.
“Amira!” Sebuah suara yang sangat kukenal terdengar. Aku tak langsung menoleh. Takut ini hanya halusinasi.
“Mira! Amira!” serunya lagi. Terpaksa aku menoleh ke belakang. Mas Baja mendekat ke arah kami.
“Mas,” ucapku pelan.
“Oh begitu. Kamu langsung balas dendam sama aku. Mentang-mentang tadi pagi kamu mergokin aku, sekarang kamu gantian berduaan sama Si pembuat patah hati ini?!” Mata Mas Baja mengarah pada Mas Arhab.
“Mas!” pekikku. Tak sepantasnya dia berbicara semacam itu.
“Kita belum resmi cerai, Mir. Enak aja kamu main sama laki-laki lain. Ingat anak, Mir. Anak kita cewek, kalau tahu kelakuan ibunya begitu bagaimana perasaannya?” Mas Baja berbicara seakan dia orang paling suci di dunia.
“Loe lagi gak mikir. Apa istrimu tahu kamu berduaan sama istri orang? Hah?!” Tangan Mas Baja mendorong tubuh Mas Arhab hingga Mas Arhab tersungkur beberapa langkah ke belakang.
“Yang benar, Mas!” bentakku. Refleks aku menghampiri Mas Arhab. Harusnya Mas Baja tidak main kasar seperti ini.
Tampak jelas wajah arogan dan penuh kuasa Mas Baja. Dia begitu puas bisa mendorong Mas Arhab. Namun, dia tak berhenti. Tangannya sigap menarik lenganku.
“Kita harus bicara,” ucapnya dengan wajah menyebalkan. Aku berniat membalas ucapan Mas Baja dan berusaha melepaskan diri.
“Ada apa ini ribut-ribut?!” Pertanyaan tak terduga dari orang yang juga sangat kukenal suaranya. “Baja, ada apa ini?” tanyanya untuk kedua kali.
“Gak apa-apa, Bu. Ini si Amira ternyata udah janjian sama mantannya buat nengokin Ibu. Pantas dia gak bilang kalau ibu kena musibah. Gak tahunya nyari kesempatan.”
Sungguh laki-laki yang teramat kucintai ternyata memiliki mulut yang tak jauh beda dengan ibunya. aku tidak pernah menduga itu sebelumnya.
“Oh, itu mantannya yang dulu ninggal nikah? Ibu baru tahu, Ja. Biasa aja mukanya.” Dengan ekpresi merendahkan orang lain, ibu mertuaku menatap sinis ke arah Mas Arhab. Kalau boleh aku ingin menyumpal mulutnya.
“Untung kamu udah mantap buat balikin dia ke kampung. Kalau nggak, rugi bandar kamu, Ja. Lihat baru ada masalah dikit aja dia lari ke laki-laki lain. Mantannya pula, gimana kalau kalian punya banyak masalah?”
“Iya, Bu bener. Untuk perceraian udah Baja daftarkan. Baja juga gak ngira Amira bakal serendah ini.”
Kali ini tatapan sinis itu beralih kepadaku. Kedua manusia yang sangat aku hormati menyalak buas dengan kesombongan yang mereka miliki. Dengan cepat aku melepaskan diri. Kuhempaskan tangan Mas Baja. Terlampau berlebihan apa yang ia ucapkan. Bahkan sangat jelas dia yang menghianati rumah tangga kami. Dengan entengnya membalikkan fakta dan menjadikan mantan sebagai alasan. Benar-benar berlebihan.
“Mana Akila, Mas?” tanyaku dengan nada tegas. Meski butiran kristal di pelupuk mata mulai mencair. Aku tidak boleh terlihat lemah. Terlebih ada Mas Arhab yang sedari tadi tampak memerhatikan meski hanya diam.
“Berani kamu nanyain cucuku?” Ibu mertua melangkah ke arahku. beliau terus menatapku intens. “Dengerin baik-baik. Akila sudah aman ikut ayahnya. Kamu gak perlu sok peduli dan perhatian sama anakmu. Kamu tinggal mengikuti persidangan dan bisa bersenang-senang sama mantan kamu itu.” Kembali Ibu mertua menatap Mas Arhab dengan pandangan tak suka.
“Ayo, Ja. Kita tengok mertua kamu untuk terakhir kalinya. Takutnya sampai meninggal Ibu gak sempet kasih tahu kelakuan putrinya! Ibu gak mau menyesal!” Ibu mertua membuang muka. Dengan langkah percaya diri ia meninggalkanku yang tak bisa berkata-kata.
Ya Tuhan haruskah semenyesakkan ini?