Mobil silver itu benar-benar pergi. Pintu rumah masih terbuka begitu juga dengan pintu gerbang di ujung halaman. Mas Baja seakan sengaja tidak menutupnya. Ia pergi tanpa perlu menengok ke belakang, seperti yang biasa ia lakukan. Perlahan aku bangkit dari posisi duduk. Mengayunkan langkah ke arah daun pintu lalu menutupnya. Ucapan Mas Baja mengusik kembali ruang hening yang selama ini begitu nyaman untuk kusinggahi. Foto dalam kolom komentar itu seolah menunjukkan orang yang sudah lama pergi ingin kembali menyapa dengan cara yang berbeda. Seketika aku bergidik ngeri membayangkannya. Seperti daun pintu ini. Meski tertutup rapat aku tak menguncinya.
Apakah hatiku memang tidak pernah benar-benar terkunci untuk seseorang di masa itu? Segera kutepis semua pikiran aneh.
“Kamu tidak boleh goyah, Amira. Setelah ini bersikaplah seperti biasa. Seolah tidak ada masalah dengan Mas Baja. Ya. Kamu hanya perlu melakukan seperti itu.” Kulanjutkan kembali niat untuk berangkat kerja. Sudah sangat terlambat.
Kamar Akila yang terbuka kutengok sebentar. Membuka tirai jendela yang ada dan merapikan sprei beserta selimutnya. Gadis itu masih sangat muda untuk mengetahui hal-hal semacam ini. Ia bahkan harus siap diboyong ke tempat neneknya setiap kali Mas Baja membuat masalah denganku. Suamiku sangat menyayangi putrinya. Aku yang memang kalah dalam hal menyayanginya sangat terlambat. Mas Baja sangat mendamba anak perempuan. Kehadiran Akila membuatnya menguasai penuh pengasuhan dan pendidikan untuk putri kami. Kusapukan pandang pada kamar Akila yang berwarna ungu. Lagi setetes air bening membasahi pipi. Semua barang-barang yang ada di kamar ini pemberian Mas Baja. Aku selalu tidak diizinkan membeli sesuai yang aku inginkan untuk Akila. Getar ponsel membuatku tersadar dari lamunan.
“Halo, Bagaimana, Pak?”
Jam berapa ini Amira! Kamu jatah masuk shift pagi. Kenapa jam tujuh belum juga datang?!
Suara Pak Ginanjar-supervisor di tempat aku bekerja terdengar keras di telinga. Karakter beliau memang begitu.
“Maaf, Pak. Saya izin terlambat. Hari ini sedikit tidak enak badan.”
Enak saja. kamu sudah dapat jatah libur sementara teman-teman kamu belum. Cepat datang atau gaji kamu saya potong!
“Baik, Pak. Baik. Saya akan segera datang. Jangan dipotong, Pak. Gaji saya setiap bulan juga sudah tidak utuh.” Lima bulan ini sebuah pinjaman membuatku harus menerima separuh gaji untuk membayar angsuran. Sebuah hal yang belum pernah aku lakukan.
Makanya cepat. Saya tunggu maksimal jam delapan. Sampai lebih dari itu gaji kamu bulan ini sama dengan nol besar. Mengerti?!
Kujauhkan ponselku dari telinga. Jika tidak sudah pasti akan rusak. Pak Ginanjar menutup telepon tanpa mengucap salam. Aku segera melakukan persiapan untuk berangkat kerja. Namun, sebuah notifikasi di laman f*******:-ku sedikit membuat penasaran. Kuusap layar untuk membaca pemberitahuan itu. Tidak ada satu kalimat pun yang ia tulis. Hanya sebuah foto buku terbaruku di atas meja kerja dan sebuah laptop menyala di depannya. Efek kamera bokeh membuat bagian lain ter-blur dan hanya fokus pada buku serta laptop.
Itu memang hanya sebuah foto dari seorang pembeli yang ingin menyampaikan bahwa buku pesanannya sudah tiba. Hanya sebuah pemberitahuan bahwa ia akan membaca buku tersebut entah kapan. Namun, anehnya foto itu juga mampu membuatku mengingat masa lalu. Hanya ingat tidak untuk mengulangnya. Hanya ingat tidak untuk membuat hidupku yang sekarang goyah. Hanya ingat dan tidak seperti yang dituduhkan oleh Mas Baja. Aku sudah berhasil mengubur kenangan bersamanya. Aku tidak akan lagi berkomunikasi dalam berbagai macam bentuk. Namun, aku tak pernah menduga akan kembali bertegur sapa dengan jalan seperti ini.
Dadaku kembali berdenyut pedih. Aku harus melupakan komentar ini dan menunjukan pada Mas Baja kalau aku tidak pernah berkomunikasi lagi dengan laki-laki itu. Aku juga harus terus menapak di bumi agar tidak mendongak ke langit lagi. Kondisi saat ini sangat berbeda. Jika jam delapan aku gagal sampai di kantor sudah dipastikan aku tidak dapat apa-apa di tanggal empat. Kuusap wajah dengan kasar. Aku harus berangkat bekerja lalu menjemput Akila di rumah Ibu mertua.
***
Motor matic berwarna merah yang belum lama lunas itu membawaku sampai di tempat kerja. Menjadi admin untuk sebuah perusahaan tekstil memang harus membuatku ektra dalam mengurus segala sesuatunya. Sebelum kena semprot lebih banyak aku langsung meletakkan jaket dan helmku di loker. Bersiap menjalani hari sampai jam enam sore. Mau pendidikanku S1 tetap saja berakhir sebagai buruh dengan upah sesuai UMR.
“Hobi terlambat, kalau ada sidak dari Bos bagaimana?” Pak Ginanjar langsung menyambutku dengan omelan.
“Maaf, Pak. Tidak akan saya ulangi lagi.”
“Terakhir. Mau orang tuamu apa mertua apa anak kecelakaan tetap sudah tidak boleh izin.” Mata Pak Ginanjar membulat nyaris keluar. Saat berekspresi seperti itu beliau malah terkesan lucu.
“Baik, Pak.”
Aku pun bersiap menuju meja kerja. Melupakan semua masalah dengan Mas Baja. Ponsel berbodi pipih itu, kuraih dari saku celana. Memindahkanya ke dalam laci agar mudah saat menggunakan. Walpaper dengan wajah Akila yang berseri cukup membuat gurat senyum terpancar di wajahku.
“Tunggu, Ibu, ya, Nak. Nanti sore Ibu jemput.” Kukecup sebentar layar itu lantas menaruhnya.
Monitor komputer berisi data penting menjadi teman setia. Di tempat ini aku memang tidak mengenal banyak rekan kerja. Sengaja membatasi diri dan lebih memilih berteman dengan sesama perempuan. Mas Baja kadang menaruh rasa cemburunya tidak pada tempatnya. Ia bahkan pernah salah paham dengan Pak Ginanjar.
“Memang parah suami kamu, Amira. Masa dia gak mikir perutku buncit gini. Harusnya kalau mau nuduh orang lihat-lihat dulu.” Satu bulan lalu aku terpakasa membuat permohonan maaf pada Pak Ginanjar.
“Ya, Pak. Sekali lagi saya mohon maaf. Hape saya kadang memang dipakai Mas Baja.”
“Laki-laki pesakitan namanya kalau begitu. Lagian juga kamu kerja lembur buat nutup utang dia juga, ‘kan? Kalau dia gak foya-foya aset kalian tidak mungkin habis.” Dengan mengunyah gorengan Pak Ginanjar menimpali ucapanku.
“Ya, Pak.”
Jujur aku sangat malu. Bisa jadi Pak Ginanjar dan Bos sangat paham masalah yang menimpa rumah tanggaku. Bahkan tak sekali Pak Ginanjar menyarankan agar aku benar-benar melakukan apa yang dituduhkan oleh Mas Baja. Meski disampaikan dengan nada bercanda, aku lumayan tersinggung. Namun, aku tak bisa meralat saat ucapan orang-orang yang tahu kondisiku, berpikiran seperti itu. Mas Baja memang kerap menunjukannya.
Kembali kufokuskan diri pada pekerjaan. Menyelesaikan segala yang tertunda karena mengambil jatah cuti. Jam istirahat makan siang tidak kugunakan. Aku hanya mengunyah sepotong roti dan air mineral yang tadi pagi kubeli di warung depan kantor. Penghematan besar-besaran sedang kulakukan. Tak lain tak bukan untuk memperpanjang hidup di rumah kami yang cukup megah, namun menjadi jaminan di sebuah Bank. Rasanya mengingat itu semua membuatku seakan tak menapak di bumi lagi. Kehidupan berubah seratus delapan puluh derajat. Kami yang awalnya serba kecukupan menjadi sangat minus. Pukul lima sore saat beberapa rekan kerja sudah bersiap untuk pulang aku masih menghadap komputer. Bekerja satu jam lebih lama membuatku mendapatkan sedikit tambahan jam lembur. Tepat jam enam sore aku baru bisa meninggalkan meja kerja. Layar monitor masih menyala. Aku bersiap mematikannya. Ponselku di laci bergetar. Membuatku terlonjak dan segera meraihnya.
Mas Baja : [Jangan lupa bawa martabak telor buat Ibu!]
Aku hanya membacanya.
Mas Baja : [Telor bebek. Dua!]
Aku tak membalasnya. Kuhela napas berat.