Siapa dia dan dari mana asalnya, aku jelas sangat paham. Sejak awal wanita itu memang milik Mas Baja. Namun, aku mencoba memanipulasinya. Aku menolak fakta itu. Menganggap rumah tangga kami baik-baik saja. Tenang seperti aliran sungai tanpa riak. Nyatanya aku salah besar. Laki-laki tidak bisa berubah secepat itu. Dia tak kan dengan mudah melupakan cinta pertamanya.
Satu tahun bukan waktu yang cepat untuk mengabaikan semua masalah. Satu tahun aku berjibaku dengan prahara itu tanpa penyelesaian. Aku terus saja memaksakan diri berjalan di biduk ini. Meski perih merongrong diri.
Sudah bukan hal baru aku mendapati chat mesra dari wanita itu. Sikap dingin dan tak acuh Mas Baja juga kerap kuterima. Semua berjalan lebih intens saat Mas Baja melakukan kunjungan kerja ke berbagai kota. Bisnis yang ia kembangkan menjadi alasan untuk bertemu dengan Raline.
"Biasa, cuma relasi, Mir. Paling biar aku mau kerjasama makanya chat begitu. Hal umum kok." Mas Baja memberi alasan.
"Tapi, Mas nomor ini sering banget lho," ucapku seraya menunjukkan layar ponsel.
"Dah, blokir aja."
Dengan tanganku sendiri aku memblokir nomor wanita yang kerap mengirimkan pesan pada Mas Baja. Tak pernah tahu jika ada banyak cara untuk mereka berkomunikasi. Bodohnya aku luluh karena tindakan tegas Mas Baja.
Kututup pintu itu dari luar dengan rapat. Sudah pasti mereka akan meneruskan aktivitasnya tanpa pernah peduli dengan lingkungan sekitar. Sekuat hati menahan air bah di pelupuk mata sia-sia. Lepas tangga ketiga teras rumah Ibu mertua aku tak mampu lagi berdiri. Tubuhku luruh ke bumi.
"Bodoh. Perempuan bodoh."
Selama ini Mas Baja hanya menunggu kesempatan terbaik sampai aku melakukan kesalahan. Mas Baja hanyalah bersabar untuk menceraikanku dengan lebih mudah. Komentar dari mantan hanya sebuah kamuflase atas kesalahan besar yang ia perbuat. Bagaimana caranya kesalahan bukan berasal darinya. Mas Baja tetap melanjutkan hubungan terlarang itu diam-diam dan menunggu waktu yang tepat untuk mengakhiri pernikahan. Rupanya seperti itu.
"Payah. Perempuan payah." Kupukul kepala dengan telapak tangan.
Bisa-bisanya selama ini aku justru mencoba memperbaiki sikap dan tutur kata saat bersamanya. Aku terus berusaha menyenangkannya juga.Tak tahunya sejauh ini ia melempar kesetiaanku. Menjadi istri setia berusaha menopang ekonomi keluarga tak cukup membuatnya lupa dengan mantannya. Wanita itu kembali setelah Mas Baja sukses membangun bisnisnya. Tanpa peduli pernah mematahkan hati laki-laki yang kini menjadi suamiku.
Ibu dan keluarga Mas Baja juga sepertinya tahu dan mendukung perbuatan putranya. Bukan hal mustahil mengingat wanita itu sempat digadang akan menjadi menantu di rumah besar ini.
***
"Demi tuhan apa salahku sampai anak semata wayangku menikah dengan gadis kampung sepertimu!" Sebuah pukulan mendarat di pipiku. Tampak jelas ibu sangat membenciku.
"Aku tahu dia frustrasi karena kekasihnya pergi. Tapi aku gak akan pernah rela anakku menikah dengan wanita seperti kamu. Pakai pelet apa kamu, hah?!" Wajah Ibu semakin kesal. Ia mencoba mengelak fakta ini.
"Sabar, Mbak. Sabar. Jangan main pukul begitu."
Meski tidak diterima aku tak bisa kembali lagi ke kampung. Sudah telanjur bilang jika kehidupanku baik-baik saja. Ini hari ke tiga puluh setelah pernikahan kami. Ibu mertua yang memang tidak setuju tiba-tiba datang ke rumah kami. Hanya untuk menamparku.
"Mana Baja? Di mana anakku?!" pekiknya. Ia masih sangat marah. Matanya mengarah ke dalam rumah.
"Mas Baja kerja, Bu. Sudah berangkat sejak subuh."
"Dia kerja dari subuh? Sementara istrinya santai-santai di rumah dan gak tahu diri?!" Ibu mertua masih tidak terima dengan hubungan kami. Ia menyalahkan Mas Baja yang rela meninggalkan rumah demi menikah denganku.
"Sudah, Mbak. Sudah. Malu sama tetangga," ujar adiknya Ibu. Perempuan itu datang di pernikahan kami sebagai wakil keluarga.
"Pokoknya sampai kapanpun aku gak bakal sudi mengakuimu jadi mantu. Titik!" Satu tamparan mendarat lagi di pipi.
Bodohnya aku hanya bisa diam. Tidak membantah ataupun melawan. Lagi hanya air mata yang kuperlihatkan. Ibu berbalik. Sepertinya niatnya sudah tertunaikan. Dengan perasaan yang tampak masih kesal, Ibu berlalu dari rumah ini.
"Yang sabar, Amira. Mohon dimaklumi sikap kakakku, ya. Dia emang keras kepala." Adik Ibu mertua mengusap lenganku.
"Iya, Tante," jawabku dengan tergugu. Tak bisa menutupi kesedihan ini.
"Dah, Tante pergi dulu. Nanti ibu kamu marah," ucapnya seraya menatap punggung Ibu yang terus berjalan ke badan jalan.
Aku hanya mengangguk. Sembari menatap pilu punggung-punggung itu. Sungguh terlampau bodoh menerima pinangan Mas Baja. Genap kedua punggung itu lenyap dari pandangan. Aku bersimpuh. Meratapi nasib yang jauh dari kata mujur.
***
Ponselku kembali bergetar. Kali ini bukan sebuah panggilan melainkan notifikasi email. Aku pun mengetuknya. Saat itu juga mataku berbinar. Pemberitahuan sebuah dana masuk ke rekeningku. Aku langsung memeriksa pesan w******p. Benar sekali. Teh Rina dari penerbit bukuku memberitahu jika hasil penjualan sudah bisa diterima oleh penulis. Tanganku bergetar membalas pesan itu.
"Terima kasih, Teh. Terima kasih Allah," lirihku.
Membuka pesan w******p membuatku juga teringat akan kabar dari Martia. Dengan cepat aku berdiri. Melanjutkan perjalanan untuk ke desa. Ibu sedang menungguku. Ibu membutuhkanku. Dengan sedikit dana di rekening, aku berani pulang seorang diri. Mengendarai motor matic merah.
Sebelum benar-benar bertolak dari kota aku sempat mengirimkan pesan pada Martia. Ibu harus dirujuk ke rumah sakit besar. Katanya. Satu-satunya rumah sakit dengan fasilitas lengkap di kabupatenku. Itu artinya aku bisa memangkas waktu satu jam. Jika tidak ada kemacetan empat jam lagi aku akan bertemu dengan Ibu.
Memikirkan wanita itu, membuatku mengingat Akila. Bagaimana perasaannya saat berpisah denganku? Bahagiakah? Atau bersedih. Kembali setetes air bening lolos dari pelupuk mata. Terpaksa aku menepikan motor di pinggir jalan dan mengeluarkan ponsel lagi. Melakukan panggilan.
"Halo, ya, Mbak bagaimana?"
"Ibu dan Akila di situ tidak, Om?" tanyaku. Dari semua keluarga Mas Baja Riko paling bisa menerimaku. Anak Tante yang juga baik padaku.
"Ada, Mbak. Ada. Gimana?"
"Gak apa-apa. Kalau kebetulan Akila nanyain aku atau pas Bude mau bawa Akila ke aku, bilangin aku lagi pulang kampung. Ada urusan penting. Gitu, ya." Riko selalu bisa kuandalkan. Setidaknya dia tidak menghujat dan menolak keberadaanku.
"Baik, Mbak," ucapnya lantas menutup panggilan.
Enam tahun merantau, ini kali pertama aku pulang dengan motor sendiri. Biasanya aku selalu pulang dengan Mas Baja dan Akila. Sikap baik Mas Baja pada Ibu juga sangat kentara. Meski ragu aku harus yakin bisa sampai tempat tujuan sebelum terlambat. Ibu pasti membutuhkanku. Hanya aku satu-satunya keluarga yang ia punya.
"Tunggu aku, Bu."