"Kenapa gak bilang kalau masih harus datang ke kantor? Tahu gitu kita tetap di apartemen aja, Mas." Hanania merasa keputuasannya pindah tidak tepat.
"Cuma sebentar. Aku janji kalau urusan sudah selesai langsung pulang." Arafan mengusap lembut perut Hanania.
"Beneran?" Hanania snagat takut ditinggalkan suaminya.
"Beneran, Nin."
"Jangan macam-macam, ya, Mas. Aku di sini sendirian." Arafan pun tersenyum. Ia menutup pintu mobil. Menurunkan kaca dan melambai untuk terakhir kalinya.
Kehidupan baru telah dimulai oleh dua pasangan muda itu. Mereka yang harus melewati banyak masa hanya berdua berusaha saling menguatkan satu sama lain. Tidak ada orang tua lagi di rumah itu. Wanita yang mereka sayang sudah tenang di alam kubur. Sebelum bisa menyaksikan cucu yang selalu dinanti. Hanya foto dengan pigura berukuran sedang menjadikannya tetap hadir di ruang keluarga itu. Arafan sengaja memasang foto mamahnya di bagian yang bisa dengan mudah ia lihat. Tepatnya di dekat jendela. Meski AC disediakan di rumah itu, ia tetap membuka semua jendela agar angin bisa bertiup sampai dalam. Untuk menyingkirkan pengap yang kerap ia rasa.
Pagi ini setelah satu minggu fokus berbenah rumah, ia harus kembali ke Jakarta untuk mengurus pekerjaannya dan sesuatu yang selalu membuatnya merasa ketagihan. Laki-laki itu memang menuju ibu kota. Namun, tidak untuk mengurus pekerjaannya. Ia melaju lebih jauh dari tempatnya bekerja. Menuju rumah sakit yang kini semakin sering ia kunjungi.
***
Seorang psikolog dengan celana jins dan kemeja panjang sudah menunggunya. Dengan cepat Arafan turun dari mobil. Ia tersenyum hangat. Melebihi senyumannya pada Hanania saat berangkat tadi pagi.
"Lets go!" ujarnya seraya mengangkat dagu. Mata Syara berbinar. Ia merasa senang Arafan selalu punya waktu untuknya. Sudah lebih dari tiga bulan kedekatakan mereka semakin terjalin. Dari mulai saling sapa hingga berbagi rasa. Melakukan diam-diam saling mengisi kekurangan dan berusaha memenuhi kebutuhan diri. Sungguh, keduanya menikmati setiap pertemuan yang terjadi.
Dua orang yang mengatasnamakan hubungan mereka sebagai pertemanan menikmati perjalanan menuju sebuah studio foto. Sudah lama Syara ingin mengenakan dan mengabadikan dirinya mengenakan gaun pengantin. Meski gagal menikahi Abbas, setidaknya ia bisa membingkai manis kenangan bersama gaun itu lewat foto. Tas belanja berisi gaun pengantin dan tuxedo ia jinjing sampai ke dalam studio.
"Aku prepare dulu, ya," ucapnya pada pemilik studio tersebut. Mereka tampak akrab.
Arafan mengulas senyum. Ia selalu punya sopan santun di atas rata-rata. Sembari menunggu Syara berganti pakaian, Arafan melihat ke sekeliling. Banyak foto pre wedding juga wedding yang ditempel pada dinding. Pemilik juga menempelkan beberapa foto maternity dan wisuda. Lengkap sekali. Laki-laki itu tersenyum sendiri. Mengingat, dulu tidak melakukan sesi foto saat Hanania bertubuh besar dengan perutnya. Syara sudah siap dengan gaun pengantin warna putih dengan riasan sederhana yang memesona. Perempuan itu keluar dari ruang ganti dengan senyum menawan.
"Bagaimana?" tanyanya pada Arafan. Meski sudah menatap diri di cermin, ia tetap butuh pendapat orang lain.
"Beautifull," jawab Arafan pelan.
Syara semakin senang mendengarnya. Ia mengangkat sedikit gaun pengantin itu dan berjalan ke arah background foto. Tanpa sadar bagian belakang gaun terinjak. Nyaris saja ia terjungkal. Arafan sigap memeganginya. Kedua bola mata pria itu tak henti menatap paras ayu yang kini lebih dekat dengannya.
"Serius cantik banget. Abbas pasti nyesel gak perjuangin kamu," ucap Arafan dengan tatapan tajam penuh kekaguman.
Syara menegakkan tubuhnya lagi. Ia dibuat salah tingkah dengan ucapan Arafan. Dengan cepat Syara memalingkan muka. Perempuan itu menutupi rasa malu dengan berjalan cepat menuju area pemotretan. Arafan terkekeh. Ia juga ikut berjalan dan mengeluarkan ponsel.
"Aku mau foto dulu sama pengantin," ujarnya dnegan mengangkat ponsel. "Ayo, senyum!" Syara merasa geli dengan tingkah Arafan. Namun ia menurutinya.
"Dasar," ujarnya seraya mendekatkan wajah. Desir aneh menyerang Arafan. Darahnya seakan mendidih lewat kedekatan yang tercipta. Hatinya semakin tertaut pada perempuan yang gagal menikah itu.
"Aku foto dulu, ya." Arafan pun menyingkir saat juru kamera sudah siap beraksi. Syara menjadi pengantin seorang diri. Cekrak cekrik kamera profesional menangkap gambarnya. Dengan berbagai macam gaya yang menampakkan keanggunan. Arafan meneguk ludahnya. Aura kecantikan Syara begitu terpancar. Dengan sadar ia memegangi d**a sebelah kirinya. Jantung itu kian berdegup kencang.
Satu jam Syara memuaskan dirinya dalam berbagai pose berbeda. Ia pun kembali menuju ruang ganti untuk melepas gaun pengantin tadi. Jika bukan karena usul dari Arafan gaun itu sudah dimusnahkan. Syara terus kepikiran sampai akhirnya memutuskan mengambil gambar. Arafan menekuni ponselnya yang berisi foto-foto Syara tadi. Ia mencuri beberapa pose yang membuatnya semakin takjub saja. Tiga puluh menit Syara tak kunjung keluar. Arafan pun penasaran. Dengan berani ia membuka sedikit pintu ruangan untuk ganti. Dari celah itu terlihat jelas Syara mengalami kesulitan. Arafan langsung masuk tanpa mengetuk pint. Ia mengunci pintu dari dalam.
"Why?" tanyanya saat berada di belakang Syara yang duduk di kursi rias. Syara terus menggeleng. Ia juga tak tahu kenapa tiba-tiba dirinya merasa sedih. Padahal niatnya sudah tertunaikan.
"Kamu boleh menangis, Syara. Sepuasnya," ujar Arafan seraya menyentuh bahu Syara. Perempuan itu tak melarang.
"Aku terlalu bodoh, Fan. Sampai-sampai aku mengharap Abbas kembali. Gaun ini tak ada gunanya. Meski aku menyimpannya."
Arafan juga merasa pedih. Terlebih ia menaruh hati pada perempuan itu. Melihat perempuan yang ia damba justru memikirkan laki-laki lain membuatnya semakin ingin mengutarakan isi hati. Arafan semakin mendekat pada tubuh Syara. Ia menekuk lututnya dan meraih tangan Syara.
"Ada aku yang siap menjadi temanmu. Ada aku yang akan menghapus laramu asal kamu bersedia menerima keadaanku. Sejak pertama melihatmu aku sudah merasakan getar yang berbeda." Dengan lembut Arafan mengecup punggung tangan itu.
Syara menatap Arafan beserta derai air mata yang tak bisa berhenti. Ditinggalkan oleh kekasih hati dan dicintai laki-laki beristri. Malang sekali nasibnya. Namun, perempuan itu benar-benar sedang butuh teman. Dunianya runtuh saat Abbas tak lagi ada di sisinya.
"Bagaimana?" Syara hanya diam. Ia tak bisa menolak ataupun menerima. Syara hanya membiarkan Arafan terus menatapnya. Perlahan laki-laki itu meneggakkan tubuh. Ia menyeka air mata Syara dengan tangannya.
"Kita hanya teman yang saling membutuhkan. Kita hanya perlu menjalani seperti itu. Aku tidak akan menuntut lebih dari pertemanan kita." Arafan menekuni wajah ayu yang berubah sayu. "Kamu akan dengan mudah melupakannya setelah menerima ini." Arafan mendekatkan wajah. Dipandanginya kedua bola mata indah itu. Dengan segenap perasaan sayang, ia menyapu bibir Syara dengan bibirnya. Sebuah tanda pertemanan mereka berkembang ke arah yang berbeda.