***
"Jadi orang jangan terlalu baik. Karena baik sama b**o itu beda tipis."
~Radius Agraha Mahardika~
***
Sepertinya akan sulit memberitahukan Kay soal Atlan. Buktinya, sampai sekarang saja, Kay masih sibuk berpidato tentang chatnya semalam.
Atha melirik chat Kay dengan Atlan tadi malam. Waktunya sama dengan pesan yang dikirim Atlan untuknya. Berarti Atlan chat dengan dua cewek dalam satu waktu? Atau ada cewek lain lagi?
Mulut Atha sudah gatal rasanya ingin mengingatkan Kay, tapi saat ia melihat binar kebahagiaan di mata Kay, niatnya urung.
Ia tak ingin menghancurkan kebahagiaan Kay. Mungkin ia hanya perlu menjaga Kay dari belakang.
"Ih, Atha, lo dengerin nggak sih?" pekik Kay kesal.
Pasalnya, Atha hanya diam menyimak kala ia bercerita tentang Atlan yang menggombalinya tadi malam.
"Eh, iya denger," balas Atha.
"Apa coba?" tanya Kay.
"Intinya lo suka sama Atlan, begitupun sebaliknya, 'kan?"
Senyum Kay kembali merekah. "Heeh!"
"Udah, udah, ayo kantin," ajak Atha. Kay mengangguk lalu menggamit lengan Atha.
***
"Oi, Mbak Model!" panggil Heru dari pojok kantin.
Seketika seluruh pasang mata penghuni kantin menoleh kearah pintu masuk yang terdapat Kay dan Atha.
Rata-rata pandangan mereka menunjukkan kekaguman—untuk Kay tentunya. Kay berjalan biasa ke arah meja yang berisi Heru, Atlan, dan Agra. Sedangkan Atha berjalan di belakang Kay sembari menunduk.
"Mau pesen apa, Kay? Gue pesenin," tawar Atlan.
"Samain aja," balas Kay. Atlan mengangguk.
"Lo, Tha?" tanya Atlan pada Atha yang masih berdiri.
Atha menoleh kearah Atlan. "Nanti pesen sendiri aja."
"Ya udah, yuk, bareng." Atha mengangguk. Mereka berjalan beriringan ke arah stand bakso.
"Mang, bakso tiga. Nggak pake lama dong ya," kata Atlan mulai memesan.
"Siap, Den Atlan. Duduk dulu Den, Neng," ucap Mang Asep sopan.
Atlan dan Atha menunggu pesanan mereka dibuat sambil duduk di kursi yang tersedia.
"Kenapa chat gue semalem nggak dibales?" tanya Atlan tiba-tiba.
"Eh? Itu ... gue ... ketiduran kemaren," jawab Atha tersendat.
"Ooh, gitu. Tapi kenapa balesnya cuek banget? Enggak kayak biasanya."
Atha diam. Apa maksud arah pembicaraan ini?
"Nggak lah biasa aja kok," elak Atha.
"Lo lagi jaga jarak sama gue?" tanya Atlan lagi.
Atha menggigit bibir bawahnya. Kenapa bakso pesanannya lama sekali? Dan kenapa pula Atlan terus-terusan bertanya?
"Enggak. Perasaan lo aja kali."
"Kenapa?" tanya Atlan.
"Enggak papa."
"Ada masalah?"
Sepertinya Atlan sedang kepo maksimal. Sebelum Atha menjawab pertanyaan Atlan, Mang Asep sudah memanggil mereka karena pesanannya sudah siap. Atha menghela napas lega. Ia harus berterima kasih pada Mang Asep nanti.
"Makasih, Mang," ucap Atha dan Atlan bersamaan.
Atha dan Atlan saling lirik, lalu tertawa. Di sela tawanya, mata Atha melirik Agra.
Agra sedang menatapnya tajam. Ia segera menghentikan tawanya dan menunduk. Mulai berjalan menuju meja di mana ada Kay dan Heru yang sedang bergurau, dan Agra yang menatap Atha dengan tatapan dingin.
***
Sabtu. Hari libur yang membosankan bagi Atha.
Namun tidak dengan Kay. Kay sudah sibuk membongkar isi lemarinya demi mencocokkan pakaian yang pas untuk ia kenakan nanti saat pergi bersama Atlan.
Atha sedang menemani Kay berdandan. Sudah tiga jam namun Kay masih belum memilih pakaian yang cocok menurutnya. Padahal Atha pikir, Kay memakai apapun sudah cantik. Berbeda dengannya.
"Aduh gimana, nih! Mana udah jam 10! Bentar lagi Atlan pasti dateng, deh. Bantuin dong, Tha, dari tadi ngangguk-ngangguk mulu kalo ditanya!" teriak Kay heboh.
Atha menghela napas. Lalu berjalan ke lemari Kay yang besar. Ia mengambil dress simpel berwarna merah muda, lalu disodorkannya ke arah Kay.
"Nah, ini cocok!" pekik Kay. Ia langsung merebut dress itu dari Atha, lalu segera memakainya.
"Tha, naikin resletingnya," pinta Kay.
Atha melakukan apa yang Kay perintah.
Lalu Kay duduk di kursi rias, memoles wajahnya yang memang sudah cantik jadi lebih cantik. Tak lama, Kay berdiri, kemudian berputar. "Gimana, Tha?"
Kay seperti biasa. Sempurna.
Atha tersenyum tipis. "Cantik, kok. Atlan pasti tambah suka."
Kay tersipu.
TING TONG, TING TONG.
"Gue bukain pintu dulu, ya? Pasti itu Atlan. Lo sini aja dulu, masih mau ngeblow rambut, kan?" tanya Atha.
Kay mengangguk.
"Ya udah, gue turun dulu."
"Iya."
***
"Masuk, Lan," ucap Atha mempersilakan.
"Eh lo di sini, Tha?" tanya Atlan.
"Iya, bantuin Kay dandan," balas Atha seadanya.
"Oh ... Kay mana?" tanya Atlan.
"Belum siap. Bentar lagi turun. Mau minum apa?" tanya Atha.
"Nggak usah. Sini lo temenin gue aja."
Atha menurut. Ia duduk berhadapan dengan Atlan.
"Besok ada acara nggak, Tha?" tanya Atlan pada Atha. Atha menggeleng.
"Jalan yuk," tawarnya.
Kening Atha mengerut. Ia melirik ke arah tangga. Untung saja Kay tidak dengar. Apa maksudnya Atlan mengajaknya jalan?
"Enggak deh," tolak Atha.
"Kenapa? Udah ada jadwal ngedate sama cowok lain?" tanya Atlan menebak.
"Enggak. Lagi pengin di rumah aja," balas Atha.
"Masa—"
"Atlan!" pekik Kay.
Atlan berdiri, begitu pun Atha.
"Yuk." Kay menggandeng tangan Atlan.
"Duluan ya Tha," kata Kay. Atha tersenyum tipis.
"Duluan," ucap Atlan. Atha hanya mengangguk.
Atha memperhatikan Kay dan Atlan yang tampak sangat serasi. Atlan yang memakai kemeja pun cocok dengan Kay yang memakai dress imut.
Atlan membukakan pintu mobil untuk Kay. Kemudian mereka berdua melesat pergi dengan senyum merekah lebar.
Atha menghela napas panjang, lalu menutup pintu perlahan.
Ia berjalan lemas menuju atap rumah yang sering digunakan untuk menjemur pakaian. Entah kenapa hari ini ia merasa lesu, tidak mood, dan tidak bersemangat.
Atha sedikit kaget saat melihat Agra sedang merokok santai di sebuah kursi yang memang sudah disediakan.
Agra mengembuskan kepulan asap itu ke udara. "Masih mau ngesok, huh?"
Seperti sulap, Agra tahu bahwa Atha ada di sana walaupun dari tadi Agra tidak menoleh ke belakang.
Perlahan, Atha mendekatkan diri pada Agra. Ia duduk di bangku sebelahnya. Tidak sebelah persis. Atha memberi jarak dua kursi dari Agra.
"Apa maksudnya?" tanya Atha.
Agra selalu bicara tiba-tiba dan ucapannya juga sulit dimengerti ke mana arah pembicaraannya.
"Udah mulai ngerasain efeknya?" tanya Agra ambigu.
Kening Atha mulai berkerut. Ia benar-benar tidak paham apa yang Agra katakan.
"Apa masih mau ngelanjutin? Cih, ntar ujungnya juga mewek, nangis nggak jelas. Dasar cewek," tukas Agra.
Kerutan di dahi Atha semakin dalam. "Apa, sih, Gra? Gue nggak ngerti."
"Iya lah nggak ngerti. Makanya jadi orang jangan munafik. Lo aja nggak tau apa yang hati lo mau, gimana mau tau gue ngomong apa?"
Atha diam. Menunggu Agra melanjutkan kalimatnya.
"Jadi orang jangan terlalu baik. Karena baik sama b**o itu beda tipis," tukas Agra.
Baru saja Atha hendak bertanya, Agra sudah berdiri, menginjak rokoknya, lalu pergi dari atap.
Meninggalkan Atha yang masih mencerna apa maksud kalimat Agra yang absurd tadi.
Namun Atha tersenyum. Senyum paling lebar di hari ini. Ia baru menyadari satu hal. Sikap Agra sudah tidak seketus kemarin-kemarin. Atha sangat berharap Agra kembali menjadi Agra yang dulu. Ia rindu setiap perhatian kecil dari Agra.
Saat ini, Agra sudah mau bertegur sapa dengannya—ya walaupun masih cuek dan sedikit ketus. Ini peningkatan bagus. Atha ingin membuat Agra kembali menjadi Agra yang dulu. Atau ... Radi.
***
Agra melepas bajunya. Hari ini Jakarta panas sekali.
Heru dan Atlan sudah punya acara masing-masing. Sekarang, Agra gabut. Ia hendak mengambil gitar hitamnya di sebelah lemari pakaian.
Belum sempat mengambil gitar, ekor matanya tak sengaja menangkap siluet tubuhnya di kaca yang ada di depan almari.
Fokus Agra hanya tertuju pada punggungnya yang terbuka.
Bekas itu masih ada.
Agra menggeram. Sudah lama ia berusaha menghindari cermin saat badannya terbuka. Tapi hari ini ia harus diingatkan lagi dengan hal ini.
Ia mengepalkan tangannya. Ditinjunya kaca datar yang menampakkan cerminan dirinya itu hingga pecah. Hingga tangannya penuh darah. Sampai serpihan kaca itu menempel di jemarinya yang mengepal.
Napasnya tersengal. Tak dipedulikannya luka di kepalan tangannya itu. Karena luka di hatinya lebih besar.
Saat itu juga, pintu kamarnya terbuka.
"AGRA!" teriak Atha setelah menutup pintu kamar Agra. Atha takut ibunya tiba-tiba masuk dan melihat apa yang terjadi pada Agra. Ya walaupun ibunya sedang berada di dapur.
Atha berjalan mendekati Agra, namun Agra segera mendorong tubuh Atha cukup keras.
Atha terjerembab karena dorongan Agra yang keras dan tiba-tiba. Telapak tangannya mengenai pecahan kaca tadi.
"Minggir! Pergi lo!" bentak Agra.
Seketika, air mata Atha meluruh. Bersamaan dengan darah dari tangannya yang mulai mengalir.
"Diem! Enggak usah nangis!" sentaknya.
Atha berusaha berdiri setelah mencabut serpihan kaca yang menempel di telapak tangannya.
"Gra, tangan lo luka, sini gue—"
"GUE BILANG DIEM, SIALAN!" teriak Agra. Ia menepis kasar tangan Atha yang hendak meraih tangannya.
Untung saja Karin, Ivan—papa Kay, dan Kay sedang pergi. Ibunya dan beberapa pembantu rumah ini pun sedang ada di dapur. Jadi mereka tidak akan mendengar teriakan Agra.
Namun teriakan Agra menggema keras di hati Atha.
Tatapan mata Agra penuh amarah. Baru kali ini Agra membentaknya sampai mengeluarkan kata-k********r.
Mata Agra memerah, napasnya tersengal, dan darah dari lukanya menetes ke ubin di bawahnya.
Pandangan Atha tidak sengaja menatap punggung Agra. Luka itu masih ada. Terpajang jelas di punggung Agra.
Seketika kepala Atha pening. Memori itu terputar lagi di otaknya setelah bertahun-tahun berusaha dilupakan. Tubuh Atha gemetar. Keringat dingin mengalir deras. Kepalanya semakin pusing.
"Gue benci sama lo!" desis Agra penuh emosi.
Lalu ... semuanya gelap bagi Atha.
***