PART. 10

1086 Kata
Raka duduk di ruang tamu, punggungnya bersandar di sandaran sofa. Kepalanya ditengadahkan. Hembusan napasnya terdengar berat. 'Apa yang Tari ucapkan memang benar, semua benar, tapi aku terlalu takut dikecewakan, terlalu takut untuk terluka, mungkin pikiranku terlalu picik dengan menganggap gadis kota besar sama saja semuanya, ya Allah..maafkan aku sudah berdosa dengan mengabaikan kewajibanku sebagai suami, aku berjanji dihadapanmu untuk menjadi suami yang baik, tapi rasa takut ini membuatku lupa akan janji saat pernikahan untuk memberikan nafkah lahir dan batin bagi istriku. Ya Allah Tolong hapuskan rasa takutku, rasa cemasku, tolong kuatkan keyakinan dalam hatiku, bahwa ini yang terbaik dari MU untukku, aamiin' Raka menarik napas pelan, lalu dihembuskannya juga dengan perlahan. Ia beranjak dari tempat duduknya, ditatapnya Tari yang berbaring tengkurap di atas ranjang. Raka masuk ke dalam kamar Tari, diambilnya selimut untuk menutupi tubuh Tari. "Aku kira kita perlu bicara Tari" "Apa lagi yang mau dibicarakan, aku sudah terlanjur kesal sama Aa!" Sahut Tari tanpa merubah posisinya. "Aku minta maaf Tari, aku akui bersalah karena mengabaikan keinginanmu, tapi..." "Pakai tapi segala, sudah Aa keluar sana, aku kesal sama Aa, aku sudah merendahkan diriku serendah-rendahnya, sudah bertindak seagresif-agresifnya, tapi Aa tetap saja menolakku, aku masih punya malu, masih punya harga diri, kalau Aa tidak suka dengan perempuan aku bisa pahami, tapi Aa normalkan, makanya Aa bisa bicara akrab dengan perempuan lain, dengan Jannah, Halimah, Eli dan entah siapa lagi, tapi Aa tidak mau berbincang akrab denganku, kenapa? Karena aku gadis kota? Apa Aa pernah patah hati dengan gadis kota? Kenapa Aa tidak bisa mempercayai aku?" Tari duduk dengan menjepit ujung selimut di kedua ketiaknya untuk menutupi tubuhnya yang hampir polos. "Tari, kita baru beberapa hari bertemu, tidak bisakah kita saling mengenal lebih dulu, tidak bisakah semuanya berjalan seiring waktu, aku terlalu syok dengan sikapmu yang...yang...ehmm..yang..." "Yang apa? Terlalu urakan? Terlalu terbuka? Terlalu vulgar? Aku begini cuma di depanmu, karena kamu itu sedingin salju, jadi aku merasa perlu menjadi api untuk membakarmu biar kebekuanmu itu meleleh!" Sahut Tari sengit. Sebentuk senyum tersungging di bibir Raka mendengar ucapan Tari tentang salju dan api. "Kenapa senyum-senyum!" Tari memukul bahu Raka dongkol. Ia merasa senyuman Raka seperti mengejeknya. "kenapa senyum-senyum!" Lagi Tari memukul Raka dengan cukup keras. "Aduuuh sakit Tari hsstt" Raka mengusap bahunya yang dipukul Tari. "Jawab kenapa senyum-senyum" "Aku senyum dipukul, aku diam dibilang salju, jadi aku harus bagaimana?" Tanya Raka. Tari terdiam mendengar nada suara Raka yang terdengar lain dari biasanya. Tari ingin tertawa girang, tapi ditahannya. "Tahu ah, sana ke luar, aku masih marah!" Tari mendorong bahu Raka kuat. "Aku kan sudah minta maaf, maafkan aku ya" "Janji dulu tidak akan menolak permintaanku lagi" Raka menatap Tari tepat di bola matanya. "Kamu sungguh-sungguh ingin kita melakukannya?" Tanya Raka serius. "Tentu saja aku sungguh-sungguh" "Tapi jika suatu saat kamu bosan dan merasa ingin pergi dari sini, kamu akan rugi karena...." "Kenapa masih berpikir aku akan bosan dan ingin pergi dari sini!?" "Ini bukan tempat yang cocok untukmu Tari" "Aku akan berusaha menyesuaikan diri dengan tempat di mana aku harus berada, yang Di Atas sudah memilihkan tempat ini untuk jadi masa depanku, aku bersedia menyapu halaman rumahmu, hal yang belum pernah aku lakukan seumur hidupku, aku bersedia tinggal di rumahmu, yang sangat berbeda jauh dengan keadaan rumahku, aku bersedia berbecek ria di pasar, sesuatu yang sebelumnya membayangkan saja aku merasa jijik, aku bersedia memakai pakaian dengan harga hanya puluhan ribu, yang jika di Jakarta duit sejumlah itu hanya cukup untuk satu gelas kopi yang aku minum, apa itu belum cukup untuk menunjukan kalau aku sedang berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kehidupanmu?" Tari menatap Raka, entah kenapa ucapannya sendiri membuat hatinya bergetar dan matanya jadi berkaca-kaca. "Ehmm ternyata benar kata Hafiz dan Hafid" gumam Raka. "Apanya yang benar!? Mereka bilang apa? Pasti mengatakan yang jelek-jelek tentang akukan? Jawab!?" Tari memukul bahu Raka kesal. "Kamu bawel, kamu suka gombal, kamu...awwww!!" Raka berteriak nyaring karena Tari mendorongnya sampai jatuh terjengkang ke lantai. Tari melompat lalu duduk di atas perut Raka. "Iiih aku tidak gombal tahu!" Tari mencengkeram kerah baju koko Raka. Mata Raka berkedip-kedip, melihat d**a Tari yang berada begitu dekat dengan wajahnya. "Mau?" Tanya Tari menggoda. "Eeh..hmmpp" mata Raka membeliak lebar saat mulutnya dijejali Tari dengan ujung dadanya. "Uuuh Aa ssshhh, isep Aa.. mmmhhh...ya ampun..hehhh...Aa.." Tari meraih satu tangan Raka, diletakan di dadanya yang lain. Sementara yang satu lagi masih berada di dalam mulut Raka. Wajah Tari memerah, wajah Raka lebih merah lagi. "Gantian yang satu lagi Aa" rengek Tari, Raka seperti terhipnotis melepaskan yang satu dari mulutnya lalu mengganti dengan yang lain. "Aa...." Tari menundukan kepalanya, wajahnya tenggelam di atas rambut Raka. Tangan Raka menyentuh lembut d**a Tari yang bebas, sedang tangannya yang lain mengusap pinggul Tari lembut. Tubuh Tari gemetar, lalu menegang dengan hebat. "Aa...uuhhh" seiring dengan teriakan Tari, Raka merasakan perutnya yang di duduki Tari menjadi basah. Raka melepaskan mulutnya dari d**a Tari. Raka mencoba bangun dari rebahnya dengan Tari masih duduk di atas tubuhnya. "Tari!" Panggilnya, karena Tari tidak bersuara, hanya deru napasnya yang terdengar nyata. Kepala Tari terkulai di atas bahunya. Rasa malu membuat Tari menyembumyikan wajah dari Raka. Tari malu karena baru di belai sedikit saja oleh Raka ia langsung meledak. Padahal ia yang selalu menyerang dan meneror Raka, tapi justru ia yang terkapar lebih dulu. "Tari!" Raka berusaha melepaskan pelukan Tari yang sangat erat. "Aku malu" sahut Tari. "Malu? Aku kira di depanku kamu sudah tidak punya malu" "Iiiih...mukaku bukan tembok tahu!" Tari memukul punggung Raka kesal. "Siapa yang bilang mukamu tembok? Ehmm ini kenapa ya kok bajuku basah, kamu..." "Iiih jangan dibahas!" Tari memukul sekali lagi punggung Raka. "Aku bertanya Tari, bukan mem..." "Jangan bertanya!" "Ayo berdiri, aku harus ke kamar mandi" "Kita belum selesai!" Tari menegakan kepalanya. "Belum selesai!?" "Kita bel..." Suara ponsel Tari membuat ucapan Tari terhenti. "Sebentar, jangan ke mana-mana!" Tari bangkit dari atas tubuh Raka agar bisa mengambil ponsel dari dalam tasnya. Raka juga bangun lalu melepas sarungnya, di pasangkan sarung di tubuh Tari yang membelakanginya. Raka merasa tubuh Tari yang hanya memakai cd mengganggu pandangannya. Diikatnya tepi sarung di salah satu bahu Tari, Tari memutar tubuhnya. Tapi Raka sudah melangkah ke luar dari kamarnya. Tari menatap layar ponselnya. "Ambar!" Serunya senang, karena Ambar adalah sahabatnya sejak mereka SD. "Hallo Ambar, assalamuallaikum!" Sapa Tari dengan dengan nada riang. "Walaikumsalam Tari" Bukan suara Ambar di seberang sana, melainkan suara seseorang yang sudah melukai hatinya, menodai cintanya, memupus impiannya. "Mas Guntur" sahut Tari dengan suara lirih. ***BERSAMBUNG***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN