"Ini kenapa anak Ummi pada nangis?" tanya Airin saat ia baru saja tiba di rumah usai berbelanja sebentar di minimarket depan komplek. Ia menurunkan Adeeva yang sedang memakan ice cream dari gendongannya lantas berjalan mendekati Adshilla yang sedang menangis. Bocah enam tahun itu menangis tersedu-sedu lantas memeluk Umminya ketika Umminya mendekat.
"Kenapa anak Ummi?" tanyanya lembut sambil menepuk-nepuk punggung Adshilla. Tak lupa, ia menaruh belanjaannya di lantai. Sementara Adeeva sudah duduk anteng dengan mulut celemotan.
Adel? Adel sedang tidur sesiang ini.
"Ian, Ummi," adu Adshilla. Tangannya menunjuk keberadaan Adrian yang sedang menggambar tak jauh darinya. Anak lelakinya itu melengos.
"Tadi Illa yang ganggu Ian, Ummi!"
Ia membela diri. Airin hanya menggelengkan kepala lantas menggendong gadis kecil berusia enam tahun itu. "Aaaaak! Aaaak Agha!" teriaknya kemudian.
Ia berjalan ke arah tangga lantas berteriak lagi memanggil anak sulungnya itu. Tapi tetap tak ada jawaban. Padahal tadi ia sudah bilang pada Agha agar anak lelaki sulungnya itu mengawasi adik-adiknya. "Aaak! Aaaak Aidaaaan!"
"Iyaaa, Ummiiiiiii!"
Aidan nongol dari kamar Agha, dengan stik PS di tangan.
"Ini kok gak ada yang jagain adik-adiknya sih, Aaak!"
Aidan terkekeh. Ia melempar stik PS itu ke dalam kamar lantas berlari ke bawah. "Kan tadi pada akur, Ummi," celotehnya lantas mencoba mengambil alih Adshilla dari Umminya tapi Adshilla enggan lepas. Gadis kecil itu lebih suka digendong emaknya dibanding abangnya yang berusia 10 tahun itu.
"Tapi diawasi dong," tutur Airin lantas menyuruh Aidan membawa belanjaannya ke dapur. "Aa'ak mana?" tanyanya kemudian. Karena tak menemukan keberadaan Agha.
"Sakit perut, Ummi," jawabnya lagi lantas menaruh belanjaan di atas bar kitchen.
"Lain kali Aaak, kalau A'ak Agha gak bisa jagain adik-adik, gantian Aaak Aidan yang jagain. Apalagi kalau Ummi pergi. Takutnya kan kenapa-napa. Kalau nanti tiba-tiba adik-adik pada jalan keluar terus Aak gak tahu kan bahaya," nasehatnya dengan nada yang sangat lembut.
Aidan terkekeh tapi ia paham sekaligus mengakui kalau itu salahnya.
"Terus Ali mana?"
"Ali ketiduran, Ummi. Tadi waktu Ummi pergi, dia mau minum tapi ditahan sama Aak dengan iming-iming dibeliin mobil-mobilan. Nanti beliin ya, Ummi."
Walaupun menghela nafas, Airin mengiyakan. Memang agak susah membuat Ali untuk berpuasa. Bocah itu suka buka puasa diam-diam, suka ngeles kalau diberi tahu, paling banter yang bisa membuatnya tahan puasa ya dengan iming-iming hadiah. Tapi kadang Airin tak mau melakukan hal itu. Khawatir nanti Ali hanya ingin melakukan sesuatu bukan karena Allah tetapi karena hadiahnya.
"Ya sudah, Aaak. Ini jagain si Adeeva. Suruh Aak Agha ke bawah juga, ambil Illa dari Ummi. Ummi mau masak untuk buka puasa nanti."
Aidan menganggukan kepala lantas berlari menuju Adeeva yang cemongnya sudah seluruh badan. Hal yang membuat Aidan geleng-geleng kepala. Gadis kecil itu tertawa ketika Aidan berhasil menggendongnya ke kamar mandi.
Tak lama Agha turun lantas mengambil alih adiknya kemudian ia bawa ke kamar. Sementara dari luar terdengar suara mobil. Namun suaranya berbeda dari mobil yang biasa dikendarai Akib, suaminya. Betul saja, karena yang muncul adalah abangnya tersayang yang hampir tiga bulan tak bertemu dengannya. Airin melepas sayurannya sesaat kemudian menyalami Fadlan yang baru mengucap salam.
"Akhirnya bang Toyib pulang juga," nyinyir Airin yang membuat Fadlan terkekeh. Bayang kan saja, Airin turut menjadi tempat curahan kakak iparnya gegara lelaki yang satu ini tak pulang-pulang.
"Akib belum pulang?"
"Baru jam setengah empat ini, kak. Setengah jam lagi dia baru keluar dari kantor," tutur Airin lantas sibuk lagi dengan sayur mayurnya.
Fadlan mengikuti langkahnya lalu memilih duduk di kursi dekat bar kitchen. "Rissa ada kesini?"
Airin nampak berpikir tapi matanya fokus pada sayur mayur di depannya. "Kalau yang kakak tanya sebulan lalu sih iya."
Ooh. Fadlan mengangguk-angguk. Soalnya, tadi ia pulang ke rumah. Tapi gak ada istrinya disana. Ia kira di rumah Airin karena biasanya, istrinya suka datang kesini. Tapi saat tiba disini pun, istrinya tak ada.
"Kak Icha masih di kampus kali, kak."
"Enggak lah," bantah Fadlan. "Katanya tinggal UAS aja. Udah dia titipin sama asistennya. Jadi gak bakalan ke kampus."
"Belanja?"
Fadlan menggeleng. Tadi ketika ia tanya pada Ferril--satu-satunya orang yang ada di rumah--istrinya itu sudah menghilang sejak pagi. Entah kemana. Mana gak bilang pula. Mau nelpon tapi gengsi. Aih....aih....makan aja itu gengsi!
"Ngambek kali, kak," tutur Airin sambil terkekeh.
Fadlan hanya menghela nafas lantas menatap Airin yang masih sibuk dengan masakannya. "Menurut kamu, kakak salah gak sih kalau minta dia berhenti kerja?"
Airin menahan senyumnya. Ia sudah curiga sejak pagi karena kakak iparnya menanyakan hal yang berkaitan dengan itu. "Kan kakak suaminya. Ya gak masalah sih, toh bukan sesuatu yang salah juga kan?"
Fadlan menghela nafas lagi. Ya sih. Walaupun ia menampakan ketegasan di hadapan istrinya saat pembicaraan mereka semalam, tapi sejujurnya ia goyah juga. Karena takut istrinya tak mengikuti apa maunya. Maklum, ia pun tahu betapa keras kepala istrinya kalau sudah berpegang pada sesuatu.
"Kalau menurut Airin sih, kak, begini...," Airin menarik nafas dan mencoba mengutarakan pendapatnya secara adil. Tidak berpihak pada siapa pun di antara kakaknya ini dan kakak iparnya. "Sudah benar apa yang kakak pinta. Karena memang seharusnya, istri itu ikut suami kan? Tapi disisi istri, ia masih mengemban tanggung jawab yang sudah bertahun-tahun dipegangnya. Bisa saja dilepaskan tapi, akan ada banyak resiko yang akan diambilnya. Lagi pula, perempuan itu lebih mementingkan perasaan, kak. Ia sayang pada kakak, tapi ia punya caranya sendiri untuk taat pada kakak. Airin sih gak mau membela siapa pun. Tapi coba kakak pikir, ada gak, kak Icha ngeluh capek kerja? Capek ngurusin keluarga? Dan sebagainya?"
Fadlan menarik nafas. Ya sih. Istrinya nampak enjoy saja. Gak pernah komplain capek sana sini. Cuma sering komplain ia jarang pulang dan lembur di rumah sakit aja. Tapi sekarang kan sudah berbeda. Karena Fadlan ingin istrinya ini ikut bersamanya. Toh ia juga memang punya rencana sejak lama. Hanya saja baru ia utarakan semalam. Ketika ia berpikir kalau ini lah waktunya dimana anak-anak sudah dewasa.
"Ya, kakak tahu itu. Tapi sekarang sudah beda cerita. Kan kakak juga gak bisa terus-terusan jauh-jauhan begini," tutur Fadlan yang membuat senyum Airin mengembang.
"Coba omongin baik-baik aja, kak. Airin yakin, kak Icha pasti mau ikut kakak."
~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~
"Loh? Loh?"
Farras bingung. Ia baru saja turun dari motor Farrel yang dikendarai Ferril. Omong-omong, Ferril ngotot menjemputnya dari kampus tadi. Tadi pagi juga diantar Ferril walau ia bilang gak mau juga tetap aja tuh bocah maksa. Rupanya saat dijalan, adik sablengnya itu bilang kangen. Hahaha.
Ando? Suaminya itu malah menyibukan diri di stand baju koko di pasar ramadhan berhubung istrinya sudah ada yang jemput.
"Kagak naik mobil, bang?" tanyanya pada Farrel saat melihat abangnya turun dari gojek.
Abang gantengnya itu malah berjalan santai ke arahnya. Omong-omong, usai ngobrol dengan Adit tadi pagi, Farrel langsung pulang setelah memastikan bahwa bundanya gak akan kabur kemana-mana. Saat tiba di rumah, ia mencoba aplikasi gojek setelah setahun penasaran sama aplikasi satu ini karena gak pernah menggunakannya. Makanya tadi ia gunakan dengan iseng, naik gojek dari rumah ke Istiqlal lalu ke Kota Tua lantas pulang.
"Mobil ada." Ucapnya enteng. "Abang cuma mau nyoba aja gimana pesannya sekaligus nanya-nanya tukang gojeknya."
Farras geleng-geleng kepala. Kalau sudah begini, ia tahu nih apa yang ada dikepala abangnya. Pasti mau buka bisnis lagi! Dulu juga, waktu mau buka warung martabak, abangnya ini sampai survei dari martabak gerobak sampai martabak restoran. Survei pelanggan sampai dapat wejangan dari pemilik usahanya.
"Mau ngojek juga, bang?"
Ferril bertanya iseng. Tapi kemudian menganga saat abangnya mengangguk, mengiyakan. Farras bahkan sudah terbahak. Terkadang suka heran sendiri akan kelakuan abangnya yang gak biasa ini. Pikirannya tak tertebak tapi menurut Farras keren sih. Disaat anak-anak lelaki lain sibuk ngurusin pacar, abangnya sibuk ngumpulin nafkah. Baru nanti tinggal nyari calonnya.
"Makanya itu motor, jangan lo pakek lagi. Besok mau gue service," tuturnya lantas meloyor masuk ke dalam rumah. Farras bahkan gak bisa menghentikan tawanya.
"Liat tuh abang! Contohin!" Sungut Farras pada Ferril yang malah berdecak. Dia sih beda. Tengsin banget kalau harus ngojek gitu. Beda emang sama Farrel.
Tak lama, mobil bundanya memasuki halaman rumah. Farras menyipitkan mata. Muncul Tata yang melompat keluar dari mobil. Ia terkekeh lantas menyongsong gadis kecil berusia tiga tahun itu. Seusia Adeeva anak tantenya, Airin.
"Tumben mau ikut sama bunda," tutur Farras. Tata hanya terkekeh. Bundanya baru keluar dari mobil sambil bawain makanan untuk buka puasa. "Gak masak, bun?"
"Udah kesorean," tutur bundanya lantas berjalan masuk. "Itu si Tata mandiin dulu. Tadi waktu di pasar ramadhan, dia main kipas-kipasan sate," tutur bundanya yang membuat Farras geleng-geleng kepala. Pantesan keteknya Tata bau-bau asap gitu.
"Ini gak dicariin ayahnya kan, bun?" Farras bertanya dengan nada sangsi. Tata sih sudah ia gendong.
Icha terkekeh mendengar pertanyaan itu. Caca sih sudah mengingatkan kalau sebelum magrib nanti, Fadli pasti akan nongol di rumahnya. Lelaki posesif yang satu itu kan emang begitu. Anak-anaknya kudu pulang kalau sudah waktunya berbuka. Kadang Rain aja susah kan diajak main keluar.
"Papa belum pulang ya?" Farras bertanya lagi karena rumahnya sepi. Abangnya nampaknya sedang mandi. Ferril malah duduk sambil mengangkat kaki di depan televisi.
"Tadi udah pulang deh."
Icha langsung menoleh ke arah anak bungsunya yang sedang santai.
"Tapi pergi lagi. Gak tahu kemana," sambung Ferril.
Tangannya sempat berhenti bergerak. Kemudian ia menarik nafas dalam. Jujur, ia belum punya jawaban untuk sebuah keputusan dengan permintaan semendadakan itu.
"Ando belum pulang, kak?"
Icha mengalihkan pembicaraan. Yah....ketimbang harus deg-degan membicarakan Fadlan.
"Masih di stand, bun! Katanya bentar lagi juga pulang!" teriak Farras dari dalam kamar mandi.
"Bilangin Ando, selama gue disini, gue yang antar jemput lo pokoknya!" Ferril turut berteriak. Farras terkikik mendengarnya sementara bundanya terkekeh. Benar-benar deh anak bungsunya itu.....
~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~
"Di rumah siapa?"
Fadli bertanya lagi. Caca mendengus di seberang sana.
"Di rumah bang Fadlan! Makanya kalau nyetel musik jangan kenceng-kenceng, Fa!" Jawabnya sambil mengomel.
Fadli terkekeh lantas mengiyakan. Lagi pula ia bosan kalau tidak ada suara di sepanjang jalan menuju rumah. Mana Jakarta macet begini walau Depok sudah kelihatan dari sini. Tapi ia harus mampir dulu jadinya. Sementara istrinya sudah mematikan telepon dan sibuk dengan masakan di dapur.
Mobil Fadli meluncur memasuki komplek perumahan kakaknya lantas mengambil belok kiri tapi saat akan berbelok lagi ke kanan, dari arah samping kirinya, muncul mobil Fadlan yang memotong dengan cepat. Ia terkekeh lantas segera mengekor. Tampaknya abangnya gak tahu kalau ia mengikuti dari belakang.
Fadlan baru sadar kalau ada mobil lain saat mobilnya sudah berhenti di garasi rumah. Fadli terkekeh saat keluar dari mobil dengan tampilan sok gantengnya. Omong-omong, badannya emang gak segemuk Fadlan. Jadi tampak terlihat lebih muda begitu dibanding Fadlan.
"Ada apaan?" tanya Fadlan saat melihat kembarannya muncul.
"Jemput Tata," ujarnya santai.
Kening Fadlan mengerut heran karena gak tahu kalau ada ponakannya di rumahnya.
"Tadi dibawa sama kak Icha waktu ke rumah," tuturnya lagi lantas bersiul-siul.
Fadlan geleng-geleng kepala lantas berjalan masuk ke dalam rumah. Fadli mengikutinya kemudian berteriak memanggil anaknya yang udah cantik setelah dimandiin Farras.
"Sini anak Ayaaah!"
Farras geleng-geleng kepala. Belum juga selesai ia menyisir rambutnya, gadis kecil itu sudah melompat pada Ayahnya. Fadlan malah celingak-celinguk mencari istrinya yang gak kelihatan.
"Bunda mana?"
"Mandi, Pa."
"Dia baru pulang?"
Farras hanya mengangguk kemudian menyalami om tengilnya itu.
"Widih ada es buah," tutur Fadli yang sudah nyerong ke dapur sambil menggendong Tata.
Fadlan menoleh ke arah dapur namun kemudian memilih duduk di sofa ruang keluarga. Diikuti Fadli dan Tata yang sudah membawa satu kue belanjaan Icha tadi.
"Gimana, kak? Proyek Banjar? Gue sih maunya gak cuma rumah sakit. Maksud gue sekalian klinik preventif gitu kayak yang ada di luar negeri."
"Bisa aja. Cuma mesti cari pekerja baru yang mumpuni dan mau ditempatin disana itu yang agak susah," tutur Fadlan. Farrel baru keluar dari kamar saat mendengar suara om-nya. Kemudian turun dan menyalaminya. Ferril? Bocah itu malah ketiduran di depan televisi.
"Kapan balik lagi, Rel?"
"Masih lama, Om."
"Gak berniat magang di rumah sakit Papamu?"
Farrel melirik Papanya yang malah garuk-garuk tengkuk. Sebenarnya ia belum mau menyerahkan pekerjaannya pada Farrel. Tapi kalau cuma untuk belajar sih gak masalah. Toh nanti Farrel juga yang pegang.
"Dia katanya masih mau coba bisnis baru lagi," tutur Fadlan.
Farrel mengangguk. Sesubuh tadi ia sempat mengobrol dengan Papanya kalau ingin membuka bisnis baru. Makanya ia sedang mendalami sistemnya dan mencoba membuka perusahaan sendiri dengan tema yang berbeda. Bukan sejenis transportasi atau makanan atau sepatu yang telah ia geluti.
"Sambil belajar lah," tambah Fadli. Ia menaruh Tata yang sedang makan kue, duduk di sebelahnya. "Tuh, si Ferril juga, suruh dia datang ke kantor besok, bang."
Fadlan mengangguk. Ia sudah bilang pada Ferril semalam. Tapi anaknya itu berdalih kalau masih ingin istirahat beberapa hari.
"Lalu kalau abang jadi menetap lama di Banjarmasin, siapa yang megang rumah sakit?"
"Biasanya juga gak ada yang megang. Tapi gue kan selalu pantau lewat Regan. Lo tahu lah, Regan gimana," tuturnya yang membuat Fadli mengangguk aman. Kalau urusannya sama Regan, urusan bisnis pasti aman.
"Ya udah deh. Tapi gue mau pastiin lagi soal proyek itu, kak. Minggu depan, ajak yang lain aja buka bareng sekalian ngobrolin panjang. Regan kan punya investor banyak. Lumayan buat tambahan pemasukan," tuturnya yang membuat Fadlan mangut-mangut lagi. Kemudian bangkit dari sofa dan pamit bersama Tata.
"Yaaah, Tata udah pulang, Pa?"
Farras baru selesai mandi. Fadlan yang baru saja balik badan hanya mengangguk. "Bunda abis dari mana tadi?"
"Ciyeeee nanyain bunda," Farras malah meledek. Farrel sampai menutup mulut, menahan tawa, mendengar ledekan itu. Papanya sih sok stay cool gitu. "Bunda gak kemana-mana kali, Pa. Ada dihati Papa teruuuus," ledek anak perempuannya itu lantas terkikik-kikik seiring bundanya yang baru keluar dari kamar yang malah menatap heran akan keributan yang dibuat Farras sendiri di lantai bawah.
"Kamu ini," celoteh Fadlan. Ia geleng-geleng kepala lantas berjalan menaiki tangga. Farras yang hendak bersiul-siul langsung ditutup mulutnya oleh Farrel lantas menarik adik perempuannya itu menuju halaman belakang. Barang kali, Bunda dan Papanya butuh privasi.
"Aku mau ngomong sebentar," tutur lelaki itu saat melewati istrinya yang masih berdiri di dekat pintu kamar.
Icha menarik nafas lantas mengikuti langkah Fadlan. Kemudian duduk dengan kikuk di atas tempat tidur sementara suaminya menarik kursi di depan cermin lantas duduk menghadapnya.
"Aku mau kamu ikut, yang. Setelah ini, kemana pun aku pergi, kamu harus ikut." Tuturnya pelan sih tapi penuh ketegasan khas Fadlan. Apalagi sorot mata tajamnya yang kadang membuat ngeri sedikit. "Anak-anak kan sudah besar. Makanya, aku pilih waktu ini setidaknya menghabiskan sisa usia. Memang sudah aku pikirin dari dulu, bangun banyak rumah sakit gratis bagi yang tidak mampu di daerah pelosok-pelosok dan perbatasan."
Icha menarik nafas. Tak bicara sedikit pun sementara suaminya masih berkicau soal rencana hidup yang sudah direncakan sejak lama tapi salahnya, baru dibicarakan saat ini. Kalau semendadak ini, siapa pun akan sulit. Apalagi dengan posisinya.
"Tapi kan kakak ta--"
"Dengerin aku dulu," lelaki itu memotongnya lantas menarik kursi agar lebih dekat lagi pada istrinya. "Kamu kan istriku. Sudah sewajarnya, ikut kemana pun bersamaku. Aku paham mimpimu, tapi kamu juga harus paham posisimu, kodratmu sebagai perempuan dimata Tuhan dan istri untuk pendamping hidupku." Cerocosnya penuh kelembutan tapi terdengar begitu romantis.
Aiih kalau begini, bagaimana bisa istrinya menolak?
"Kali ini aku memaksa. Aku bantu kamu, asal kamu mau mengikutiku. Aku mau kita jalan sama-sama. Bukan terpisah-pisah, yang." Lelaki itu menarik tangannya. Menggemgamnya erat seperti dulu saat meyakinkan kalau perempuan itu lah satu-satunya yang ingin kan untuk menjadi perempuan, bidadari surganya. "Ikut aku ya, yang?"
~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~
"Cuuiiiwiiiiiit!"
Ia bersiul padahal baru saja tiba di rumah. Airin geleng-geleng kepala akan tingkah suaminya yang kadang suka rada-rada itu.
"Kalau sampai rumah itu ngucapin salam, Bi."
"Tadi kan udah. Kamu aja yang gak denger. Ngurusin anak mulu sih, aku enggak!" tuturnya yang kalau didengar Tiara mungkin cewek itu sudah muntah akan kelakuan omnya yang sableng satu ini.
Airin? Airin sih terkekeh aja. Cinta-cinta aja. Gak pernah komplain walau kadang Akib suka aneh-aneh ahahaha.
"Kak Fadlan mana? Tadi katamu, dia di rumah," tanyanya heran karena gak melihat abang iparnya itu.
Airin mengambil alih tasnya usai menyalaminya kemudian turun berjalan ke kamar mereka.
"Tadi cuma sebentar. Kirain kak Icha kesini makanya dia nyusul kesini," jawab Airin yang membuat Akib mangut-mangut.
"Kak Icha gak request hamil lagi kan?"
Airin terkekeh. Perutnya sampai terguncang. Ya kalii, suaminya ini! Walau masih bisa juga, kakaknya mana mau. Katanya agak-agak trauma melihat istrinya melahirkan dulu dengan keadaan hampir koma. Dulu aja mereka sempat berantem kan sampai-sampai, Adel suka dibawa nginep ke rumah. Kalo sekarang sih udah enggak. Tapi malah anaknya yang suka minta nginep di rumah kakaknya itu karena ketergantungan dari kecil sama Farras. Terlebih sejak Farras menikah. Bah! Adel makin sering minta nginep karena tidurnya bareng Ando juga! Hahahaha!
"Mandi gih, Bi. Biar pikirannya gak ngawur!" dorong Airin lantas segera keluar karena mendengar suara salam dari teras.
Ternyata Tiara yang sudah teriak-teriak centil. Mau pakai gamis juga, kelakuan masih pecicilan. Apalagi bentar lagi mau nikah! Hahaha!
"Om udah pulang, Tan?" tanyanya usai menyalami Airin.
"Barusan aja. Bawa apaan tuh?" tanyanya. Pasalnya, ia sudah memincingkan mata saat menuruni tangga tadi demi melihat apa yang dibawa Tiara. Gadis itu malah terkekeh lantas menyerahkan goodie bag pada Tantenya itu.
"Seragaman," tuturnya sok malu-malu yang malah membuat Airin terkekeh. Kalau lagi malu-malu begini, biasanya bakal di-bully sama Ardan. Tapi berhubung gak ada orangnya ya....
"Persiapannya udah selesai semua, Ya?"
"Udah beres, Tan. Tinggal acaranya aja," tuturnya lantas duduk di sofa sementara Tantenya membuka isi goodie bag yang ia berikan.
"Syukur deh," tutur Airin. Matanya berninar melihat baju-baju gamis dengam brokat bunga-bunga pink untuk Adel, Adeeva dan Adshilla. "Banyak-banyak berdoa loh. Biar lancar menuju acara. Tapi sejauh ini, gak ada masalah kan?"
Tiara mengernyit lantas menoleh pada Tantenya yang malah mengerlingkan mata. Ia terkekeh.
"Si diaaaa? Gak ada masalah kan sama diaa?"
Ooh. Tiara lantas terbahak. Mukanya langsung bersemu merah. Aiih, taan. Calon manten ini kan jadi maluuu.
"Lancar aja, Tan. Alhamdulillah sih sejauh ini."
"Mungkin ini yang namanya jodoh kali ya, Ya. Siapa yang bisa menebak?"
~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~
"Bang, gak mau yayasan Farras?"
"Kenapa emangnya?"
"Anak-anak udah pada nanya kapan abang pulang. Terus Farras bilang kalau abang udah pulang," tuturnya lantas melirik tampang datar Farrel yang sedang mengotak-atik ponsel. "Tapi ada Zakiya disana," cicitnya pelan tapi abang gantengnya itu tak bereaksi apapun. Masih sibuk mengotak-atik ponsel. Tanpa terganggu dengan nama yang ia sebut tadi. Omong-omong, ia mulai akur dengan gadis itu ketika usai menikah dengan Ando. Saat itu, Andra dan Zakiya datang baik-baik demi menyambung silaturahmi. Andra juga mengucapkan selamat dan bilang kalau ia sedang belajar menerima kenyataan bahwa Farras tak memilihnya. Sementara Zakiya minta maaf karena sempat marah pada Farras. Gadis itu nampaknya tulus walau kadang kata-katanya masih judes. Tapi makin lama, obrolan mereka makin panjang. Apalagi Zakiya aktif di yayasannya. Gadis itu sebenarnya bawel hanya nada bicaranya yang ketus. Dan sebenarnya ia gadis yang baik.
"Abang? Abang gak pernah mikirin dia lagi kan?"
Jemari Farrel berhenti menyentuh ponsel lantas menghela nafas panjang. Sementara Farras menunggu dengan was-was jawaban abangnya ini.
"Abang emang pernah mikirin dia," ucapnya menggantung lalu mengantongi ponselnya. Kemudian memejamkan mata seraya merebahkan tubuhnya di gazebo itu. Kedua tangannya terlipat di belakang kepala guna menahan kepalanya agar tak terantuk. "Tapi itu dulu," lanjutnya yang sempat membuat Farras berhenti bernafas.
"Syukur deh," keluhnya senang. Farrel menoleh padanya lantas menatap heran. Tapi kemudian, abang gantengnya itu tersenyum.
"Abang gak sebodoh itu, berharap pada seorang perempuan," tuturnya yang makin menenangkan Farras. "Setiap pelajaran yang abang terima, setiap kecewa yang abang dapat, abang selalu yakin kalau Allah punya yang lebih baik untuk abang."
Farras ikut tersenyum. Lantas ikut berbaring di samping abangnya sambil menunggu magrib. Menatap langit senja bersama. Hal yang sudah sangat jarang ia lakukan. Ia bahkan lupa kalau suaminya belum pulang. Ando masih terjebak macet di jalan.
"Kan begitu memang cara kerjanya, bang. Patah hati dulu lalu bangun hati. Bukannya mengeluh karena dikecewakan. Allah kan selalu tahu mana yang hamba-Nya butuh kan dan mana yang hanya menjadi 'yang terlewatkan'." Farras menarik nafas. Matanya menatap langit yang makin menggelap itu. "Di US banyak perempuan, bang?"
Farrel terkekeh. "Ya banyak. Tapi bukan yang seperti itu yang abang cari."
"Lalu seperti apa yang abang cari?"
Farrel tersenyum lantas menatap langit kemudian memejamkan mata. Mengenang satu perempuan di pertemuan singkat di negara tetangga. Perempuan idamannya yang terlewatkan yang sampai kini masih ia cari. Perempuan yang tak ia tahu namanya, perempuan yang tak ia tahu bagaimana rupanya, perempuan yang menjaga kehormatannya. Entah dimana perempuan itu, ia hanya bisa berusaha seraya berdoa lagi meminta pada-Nya. Allah, jika berkenan, pertemukan lagi ia dengannya. Jika pun tidak, tak apa. Mungkin izin-Mu bukan padanya.
~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~