Untuk kesekian kalinya aku menangis karena dia
Untuk kesekian kalinya aku sakit karena dia
Entah berapa banyak air mataku yang jatuh karenanya
Jika aku bisa sudah sejak dulu kuhapuskan namanya dari hatiku
Agar aku tidak merasakan rasa sakit lagi
-Fanny Andreas-
****
Aku tidak bisa menahan lagi kemarahanku, langsung saja aku masuk ke dalam kelas itu. Kulihat dua orang itu ketakutan seperti maling yang tertangkap basah saat ketahuan mencuri.
"Oh jadi kamu." Ucapku dengan nada mengintimidasi.
****
Siswi yang kutahu bernama Bella daeri nametag di seragamnya, melihat nametagnya yang berwarna kuning aku bisa tahu bahwa dia adalah anak kelas satu. Astaga baru kelas satu aja udah berani nepotisme lapor ke bapaknya apalagi kalau sudah besar mau jadi koruptor.
"Dik, apa maksud kamu lapor hal itu ke ayahmu, kamu nggak tahu apa sekolah kita bahkan kena SP dari dinas pendidikan." Ucapku marah padanya, kulihat dia bersembunyi di balik punggung temannya.
"Anu. . .anu kak." Balasnya dengan nada terbata-bata.
"Anu. . . .anu, anu apa?" lama-lama pengen tak gampar dia, baru digertak aja udah takut, dasar mental tempe.
"Emmm, aku aku. . . ."
"Dik, kalau ngomong yang jelas dong, giliran sama bapaknya aja berani ngadu." Aku menaikkan satu oktaf suaraku, biar dia takut, tak peduli dia hampir menahan tangis.
"Kamu tahu nggak, apa yang kamu perbuat udah bikin sekolah kita malu, bahkan kepala sekolah sampai dipanggil sama kepala dinas, dan bisa-bisa akreditas kita dicabut, kamu mau susah diterima universitas, kita buat acara juga ada tujuannya nggak asal bikin, baru kelas 10 aja udah kaya gini kalau besar kamu mau jadi apa?
Aku sudah tak peduli lagi kalau dia mau nangis, bahkan aku tak peduli dengan siswa yang mulai mengerumuni kami.
"Aku. . . .minta. . . .maaf. . .kak." Ucapnya terbata-bata sambil menangis sesunggukkan.
"Maaf kamu nggak akan mengembalikan semuanya." Balasku marah, enak aja main minta maaf, dia kira maafnya bisa bikin aku luluh. Sory to say, aku benar-benar emosi sekarang.
"Kamu benar-benar udah buat sekolah kita tercoreng, kalau kamu nggak suka aturan sekolah ini kamu bisa keluar dari sini, cari sekolah idaman kamu, dan aku pastikan kamu nggak akan pernah menemukannya."
"Fanny, hentikan semua ini!"
Aku terkesiap mendengar suara itu.
"Apa yang kamu lakukan?"
Aku jengah mendengar suara ini, sudah tahu aku sedang apa malah nanya, dasar.
"Apa?" Aku balik membentaknya.
Dia pikir hanya dia yang bisa marah, aku juga bisa.
"Ayo ikut aku."
Tanpa persetujuan dariku dia menarik tanganku menjauh dari Bella. Sial padahal aku belum puas memarahinya, ingatkan aku untuk memarahi orang yang menggenggam tanganku ini.
"Lepaskan tanganku."
Dia tidak menggubris suaraku dan malah membawaku ke ruangannya. Sampai di ruangannya dia lalu mendudukkanku di kursi.
"Kau mau apa?" Tanyaku dengan nada marah.
"Astaga Fanny, kau sadar apa yang telah kau lakukan?" Dia malah balik bertanya.
"Memangnya apa yang kulakukan, salah dia sendiri bikin ulah." Ucapku dengan tangan bersidekap di depan d**a.
"Ya Tuhan kamu masih berani bertanya, kamu sadar nggak kalau banyak orang yang liat kejadian tadi." Dia mengacak rambutnya frustasi.
Ya memang saat kejadian tadi banyak siswa sekolah ynag menegrubungi kami, mungkin karena saking kerasnya suaraku hingga membuat mereka mendekat. Tapi aku tidak peduli dengan semua itu, lagipula yang berbuat salah bukan aku.
"Aku tak peduli, karena dia udah bikin aku kesel, biar semua orang tahu kalau yang bikin Dies Natalis gagal adalah dia." Balasku sengit.
"Dia bahkan sudah minta maaf."
"Sudah aku bilang, aku tidak peduli sama sekali, dia mau minta maaf seperti apa, nggak akan mengembalikan semuanya, bisa nggak dia bikin dies Natalis ini sukses, bisa nggak dia bikin sekolah kita nggak kena Surat Peringatan, nggak bisa kan." Ucapku frustasi.
"Kamu keterlaluan Fanny, setidaknya kamu bisa bicarakan ini baik-baik bukan malah menghakimi dia."
Adiemas masih mencoba menasihati diriku, tapi aku sungguh tidak ingin mendengar apapun darinya. Diriku sedang sangat amat marah, dan tidak butuh omongan dia yang membuatku semkain tersulut emosi saja.
"Aku nggak butuh nasihat kamu, kamu nggak tahu rasanya jadi aku, kamu cuma bisa marah-marah doang, dan kamu bahkan nggak pernah peduli sama aku." Ucapku marah padanya, saking marahnya mataku mulai berkaca-kaca.
"Aku justru peduli denganmu." Laki-laki itu mulai menurunkan nada suaranya satu oktaf
"Hahaha." Aku tertawa miris
"Kalau kamu peduli, kamu nggak akan pernah pergi." Air mata memaksa keluar dari pelupuk mataku.
Akhirnya aku mengungkapkan isi hatiku kepadanya, entah kenapa aku ingin dia tahu kalua kepergiannya benarr-benar membuatku terluka.
"F..a..n..n..y." Ucap dia lirih.
"Kamu nggak bisa jawab kan, jadi nggak usah sok peduli denganku."
Aku menatap dia yang masih diam membisu.
"Kamu bahkan lebih membela dia daripada aku, jelas-jelas dia yang salah, aku dan teman-teman lain berusaha buat acara ini meriah dan dia dengan seenaknya hancurin semuanya." Lanjutku frustasi.
Adiemas menundukkan sedikit keplanya untuk mengamati wajahku, dan aku melengoskan kepalaku ke kanan, aku sangat muak meliahat wajah sendunya.
"F..a..n..n..y, a..k..u min...ta ma...af."
"Sudah berapa kali aku bilang, aku nggak butuh maaf kamu, buat apa kamu minta maaf kalau akhirnya kamu nyakitin aku lagi, bullshit tahu nggak, jangan pernah urusin hidupku lagi, jangan pernah ganggu aku lagi, bagiku kamu udah nggak ada, bagiku kamu udah mati." Aku tahu kata-kataku sangat keterlaluan untuknya tapi aku nggak peduli, karena dialah aku merasakan luka.
"Dan tentang penampilan kita, aku nggak mau satu panggung denganmu, kalaupun kamu tetap mau tampil, aku nggak akan pernah datang baik ke panggung maupun ke sekolah ini." Lanjutku.
Aku langsung pergi meninggalkannya tanpa menunggu balasan darinya.
"Fanny, Fanny, Fanny." Panggil dia dengan nada frustasi.
Aku tak menghiraukan panggilan Adiemas. Untuk kesekian kalinya aku menangis karena dia, untuk kesekian kalinya aku sakit karena dia. Jika aku bisa, aku sudah menghapus namanya dari hatiku, tapi semakin aku mencoba semakin tercetak jelas bayangnya dalam anganku.
Kuputuskan untuk menuju taman belakang sekolah. Masa bodo dengan jam selanjutnya, karena aku memutuskan untuk membolos. Air mataku tak kunjung reda, bahkan semakin deras saja. Aku butuh bahu untuk bersandar.
"Masa, gitu aja kamu nangis Fan."
Aku mendengus kesal itu pasti Berlin, siapa lagi orang yang punya nada ketus seperti itu selain dia.
"Apa liat-liat?" Bentakku kepadanya.
"Ckckck, udah nangis masih aja gitu, ni." Ucapnya sambil menyerahkan tisu padaku.
"Sejak kapan sih Fan, kamu jadi cengeng begini." Keluh dia.
Aku juga bingung kenapa aku mendadak jadi melankolis seperti ini, padahal biasanya aku. . .
"Malah bengong, kamu itu nangis karena Dies Natalis atau karena. . ."
Dia sejenak menghentikan ucapannya lalu berdehem pelan.
"Atau karena. . .Pak Adiemas."
Mataku membulat sempurna, tangisanku sejenak berhenti.
"Jadi benar, atau jangan-jangan dia Bagas teman masa kecilmu?"
"Kok kamu tahu?" Tanyaku tak percaya.
"Hahahaha, kamu lucu banget Fann."
"Malah ketawa, dasar sahabat durhaka pergi sana sama Galih."
"Gitu aja ngambek, ya siapa lagi guru sekolah ini yang namanya Bagas, dan pas aku ke rumahmu aku sempat melihat Pak Adiemas, and guess what he always look at you, lebih tepatnya ke arah rumahmu sih, tapi pas lihat kamu keluar rumah, dia malah senyum-senyum sendiri."
"Kok aku nggak lihat?"
"Tau deh, kamu kan nggak peka orangnya, udah ah jangan nangis lagi, malu-maluin Osis aja kamu, hahahaha."
"Hemm."
"Eh yang masalah Dies Natalis itu, beneran Bella yang lapor ke bapaknya?" Tanyanya padaku.
"Iya, aku dengar sendiri, itu anak kurang kerjaan banget sih."
"Namanya juga anak mami."
"Hah?"
"Kamu sih nggak ikut acara kemah kemarin di Sekipan, si Bella itu cerewetnya minta ampun, ini kurang inilah kurang itulah, disuruh makan malah nangis kejer katanya nggak suka makanannya."
"Nah soal yang hukuman push up sama guling-guling itu, semuanya juga dapat hukuman itu kok, sebenarnya yang salah dia nggak ikut acara senam pagi sama outbond, tapi kan kamu tahu sendiri kita menerapkan jiwa korsa, kalau ada satu yang salah yang dihukum semua, nggak tahunya hukuman itu malah berefek kayak gini." Dia mendengus kesal.
"Hahahaha, pantes aja mungkin dia nggak biasa dikerasin kali ya?" Tanyaku geli, ada-ada saja ulahnya.
"Gitu dong ketawa."
Aku beruntung, Berlin telah berubah seperti dulu, tapi aku masih tidak enak tentang perilaku Galih tempo hari.
"Berlin. . . , emmm kamu udah tahu kalau Galih dipukul Bagas. . ., maksud aku pak Adiemas?" Tanyaku padanya, kenpa juga aku salah sebut nama, refleks kupukul bibirku pelan.
"Ciyeeee Bagas, ehem." Dia kembali meledekku. Sontak pipiku langsung terasa panas.
"Oh yang itu, santai aja, lagian Galih bisa-bisanya kaya gitu, pokoknya aku lagi ngambek sama dia." lanjutnya.
"Dimana-mana ngambek ngak pakai senyum-senyum la ini?" Tanyaku geli.
"Tau deh, kapan-kapan aku cerita, ayo gih balik ke kelas." Ajak dia.
"Nanti aja, kan ini udah waktunya pulang sekolah, duduk dulu aja disini."
"Yoi mbak bro."
Aku terkekeh kecil, ternyata gaya bicaranya masih tidak berubah. Mulailah perbincangan kami mengalir seperti air sungai hingga hari menjelang sore kami baru pulang sekolah, dan karena aku nggak bawa motor jadilah kami pulang bareng. Setidaknya hari ini tidak berakhir dengan buruk.
****
Bisa jadi yang baik menurut kita belum tentu baik menurut orang lain
Dan bisa jadi pula apa yang menurut kita buruk belum tentu buruk menurut orang lain
Berpendapat itu mudah
Yang susah adalah bagaimana menyatukan pendapat itu agar bisa diterima semua orang
-Airiyasuko-
****