Kemarahan

1268 Kata
"Jauh-jauh lo dari Nasim! " Jina mendorong keras bahu Jihan, menghadang langkah lebar Jihan menuju UGD. Jihan yang tidak siap, nyaris jatuh. "Gara-gara nolongi lo, Nasim jadi celaka ... kehadiran lo cuma buat Nasim nyaris mati! " Suara teriakan Jina di lorong rumah sakit, menarik perhatian semua orang yang lalu lalanh, mereka menatap keduanya. Jina tidak peduli, Jihan menunduk dalam, tidak kuasa membalas perkataan Jina, Nasim tertikam karena dia ingin menyelamatkannya, itu faktanya. "Selama gue hidup gak akan gue biarin lo dekatin Nasim lagi!" Jina hendak kembali mendorong tubuh ringkih Jihan, tapi kali ini gagal. Fajar terlebih dahulu menarik tangan Jina menjauh dari Jihan. Jina memberontak, tidak terima, Fajar tidak peduli, terus menarik Jina yang sudha bertingkah bak kesetan. Tangan keras Fajar, tidak terlepas sekali pun Jina sudah mulai merintih, sadar, kesakitan. "Kalo ada orang yang salah di sini ... itu lo!" sergah Fajar, setelah Jina terus memberontak. "Lo dan otak busuk lo! " tambah Fajar, sadis. "Lepasi gue! " teriak Jina, menggila. "Kalo gak karena rencana busuk itu, Nasim mungkin gak akan sampai gini, lo sadar gak sih?! Lo itu benalu, dimana pun lo berada! Bahkan sebelum lo lahir ke dunia, lo benalu yang merusak segalanya! " Gerakan memberontak Jina, terhenti. Gadis itu mentap tajam kakak tirinya itu. Pertanyaan demi pertanyaan muncul dibenak Jina. Fajar membuang muka, kemarahan membuatnya membuka apa yang selama ini dia simpan. Perhatian Jina teralihkan, begitu lampu UGD berubah warna, tidak lama, kasur dorong yang membawa Nasim keluar. Bersamaan itu, Jihan datang, berlari kecil mengejar Nasim. Jina berang, hendak menarik kasar bahu Jihan, tapi lagi-lagi Fajar, kakak tirinya menghentikan. Jina mendelik, memberontak lebih brutal dari sebelumnya. "Lepasin gue! Atau gue teriak di sini." "Teriak aja, gue gak peduli," sahut Fajar dingin. Jina menatap nanar Jihan dan Nasim yang kini makin jauh dari pandangan matanya. Tanpa pikir panjang, Jina mengigit lengan Fajar. Fajar kaget dan spontan melepaskan tanganny dari lengan Jina. Jina menggunakan kesempatan itu untuk lari, mengejar Nasim. "Lo ya, berani-beraninya dekatin Nasim! " pekik Jina begitu ia sampai di ambang pintu ruang rawat Nasim. Nasim yang masih terpengaruh obat bius, menoleh, merasa terganggu dengan kedatangan Jina. Seno mencoba menghalangi Jina untuk masuk, anehnya, kemarahan Jina membuatnya jauh lebih kuat dari Seno. Seno kewalahan menghalangi tubuh semapai Jina. Jina berhasil masuk, berjalan cepat, menyergah Jihan bagai serigala buas, memiting lengan Jihan, nyaris seperti ingin mematahkan tangan kecil Jihan, Jihan menjerit kesakitan. Seno berusaha menolong Jihan, lagi-lagi gagal, Jina malah berhasil mendorongnya jatuh membentur nakas. Nasim kembali merasakan efek obat bius, terlelap kembali. Fajar datang dengan kemarahan menjadi-jadi, lawan Jina sebanding, Fajar kembali menarik Jina, melepas tangannya dari Jihan, sebelum Jina berhasil memberontak, lima jari Fajar sudah lebih dulu tersemat keras di wajah Jina. Jina terdiam. "Dasar benalu! Gak lo, gak ayah kandung lo, sama bejatnya!" teriak Fajar, diluar kendali. "Lo tahu siapa ayah kandung gue?" Jina tidak menduga kalo kakak tirinya, mengetahui sebagian dari hidupnya. Bagian yang bahkan Jina tidak tahu. Jina hidup tanpa sosok seorang ayah. "Preman b***t yang udah perkosa ibu gue! Ibu gue diceraikan dan dianggap selingkuh karena kehadiran lo dari benih b***t ayah lo itu !" "Lo bohong! "teriak Jina, tidak terima. "Ibu gue menderita gara-gara lo. Kehadiran lo buat hidup gue dan ibu gue menderita. Ibu gue dikucilkan, dihina, di caci semua gara-gara lo. Bahkan gue juga pergi dari rumah karena muak melihat ibu selalu menderita karena lo ! Apa lo gak puas buat ibu gue menderita, sekarang lo mau buat malu mending ibu gue? Ha?! Lo masih gak puas?! " Jina terdiam. Mulutnya seketika keluh. Badannya seketika jatuh di lantai. "Jadi ini alasan selama ini lo benci gue? " Fajar diam, tidak menjawab. "Kenapa baru sekarang lo bilang ini ke gue? Sejak kapan lo tahu semua ini? " Fajar membisu. "Lo pikir jadi gue enak?" Jina bangkit, menatap Fajar. Mata gadis itu memerah, marah dan sedih bercampur aduk di balik matanya. "Kalo bisa milih gue mending mati, gak ada siapa-siapa yang sayang gue, kecuali ibu. Ayah, saudara, gue gak punya. Gue sendirian. Lo pikir mudah jadi gue? Sekarang lo bilang gue sumber dari semua penderitan ibu? Lalu bagaiaman dengan gue? Apa gue pernah minta dilahirin? Apa salah gue? Gue gak pernah milih, berasal dari benih menjijikan seperti itu. Lo menghukum gue atas kesalahan yang gak pernah gue lakukan. Apa itu adil? " teriak Jina. Fajar lagi-lagi membuang wajah. "Dan semua kemarahan lo itu, apa itu adil? Lo terus nuntut ibu membuka luka? Lo paksa ibu buat kasih tahu siapa ayah lo, apa itu adil? Lo terus-terusan buat ulah, biar ibu capek dan akhirnya nyerah sama permintaan lo, apa itu adil?" Jina kembali merasakan perasaan yang sama lagi, perasaan marah dan kecewa yang selalu memenuhi hatinya. Jina tidak hanya terdiam, matanya menatap nanar Fajar, ada rasa sakit, sedih, marah, kecewa memenuhi matanya. "Ibu, selalu jaga lo. Meski semua orang tau, lo sumber utama luka ibu. Luka yang ibu rawat. Setiap liat lo, gue keingat sama tuh cowok b***t, apalagi ibu? Yang kehormatan, harga diri dan kebahagian direngut. Lo pikir ibu gak menderita? Sekarang lo udah puas ?! Lo berhasil jadi anak nakal seperti yang lo ikrar kan pada ibu sebelum ibu wafat." Semua catatan gelap yang Fajar miliki, kini sudah Jina dengar dengan jelas dan apa adanya. Sebuah pertanyaan yang selama ini selalu menghantui hidupnya, tentang siapa dia, kenapa ada banyak luka, kenapa kehadiran seolah air keruh yang tertolak. Membuatnya hilang arah sampai kehilangan dirinya sendiri. Semua telah terjawab. Jina pikir setelah ini hatinya akan lega, ternyata itu salah. Semua jauh lebih menyakitkan, Jina menyesali dirinya yang tidak ingin mendengar kalimat nasehat dari ibunya. "Kenapa ibu selalu mengelak setiap kali Jina tanya di mana ayah?" teriak Jina kalah itu, menggema memenuhi malam yang sunyi di balik tembok rapuh rumah sederhana. Seorang wanita berusia baya, menatap nanar Jina yang pulang dengan keadaan setengah mabuk di usianya yang baru menginjak 17 tahun. Hati ibu mana yang tidak merintih melihat anaknya dalam keadaan begini, bukan hanya kecewa tapi juga merasa gagal menjadi lentera bagi kehidupan putrinya. "Jina malu, Bu. Jina ingin hidup seperti orang lain, punya ayah juga. Kenapa ibu selalu melakukan ini ke Jina? Hak Jina tahu di mana ayah Jina." Jina terus merancau, mengabaikan air mata yang mengalir membasahi wajah sendu ibunya. "Nak, terkadang ada sebuah fakta yang lebih baik untuk di simpan selamanya." Wanita itu mengelus pucuk kepala Jina, kemarahannya tertampikan menjadi rasa bersalah yang amat besar. Tumbuh tanpa figur ayah bagi seorang anak perempuan, bukanlah hal yang mudah. Itu yang selalu coba ia pahami. Pertengkaran terus terjadi, adanya ruang kosong di hati Jina membuatnya membenci banyak hal. Berpikir kalo hanya dia yang hidupnya tidak bahagia. "Jina gak peduli, Bu. Jina mau masuk ke kepolisan. Jina butuh orang dalam. Ini satu-satunya jalan cepat Jina masuk ke sana. Jina gak peduli, ibu setuju atau gak, Jina bakal tetap lakuin." Tangis deras wanita yang telah melahirkannya, bahkan tidak bisa menghentikan langkah Jina. Gadis itu berjalan keluar rumah dengan baju yang teramat pendek, menampilkan bagian tubuhnya yang seharusnya ia tutupi. Sebuah mobil hitam, mahal, sudah menantinya. "Gak Nak, jangan pergi," teriak ibu kalah itu malah semakin membuat Jina membenci hidupnya, kesedihan yang ada dalam hidupnya. "Maafkan ibu yang selama ini selalu membuat kamu sedih, ibu mohon, jangan lakukan ini ...." "Jina, apa yang mau kamu lakukan? " Fajar muncul, motor bututnya, menghalangi mobil yang membawa Jina pergi, menuntut Jina untuk segera keluar. Jina menggeleng keras. Keputusannya sudah bulat. Tanpa belas kasih, Jina menyuruh supir untuk menabrak Fajar. Mobil kembali melaju dengan cepat, Fajar terlempar dari motornya, menepi dari jalan mobil yang membawa Jina. "Jina! " teriakan ibu, terakhir kalinya, sebelum koma dan akhirnya tiada. Jina ... bahkan tidak menyesali itu. **

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN