Sebuah Harapan

1056 Kata
Orang yang Allah kehendaki pastilah akan dipahamkan tentang agama—dinukil dalam HR. Bukhari, no. 71 ** Nasim merebahkan tubuhnya yang di kasur sembari memijat pelan kepalanya yang sejak tadi berdenyut seharian terpapar panasnya sinar matahari. Tidak hanya kepalanya yang sakit, seluruh otot tubuhnya juga terasa keram berdiri terlalu lama. Seharian berkerja sebagai polisi tidak seenak yang orang lain bayangkan, apalagi bagi Nasim, polisi dengan pangkat yang rendah. "Sekarang gue mah enak, pulang udah ada istri yang nyambut. Buatin kopi, kadang mijitin juga. Enak banget deh punya istri. Lo kapan nikah, Sim?” Nasim meringgis mengingat kembali kalimat dari Eko, teman seperjuangannya yang kini tidak lagi berstatus duda. Pernikahan pertama Eko gagal, dan Eko sudah kembali menjajaki biduk rumah tangga, sedangkan Nasim masih tetap di posisi yang sama—bujang. Saat lelah seperti ini, Nasim seringkali berandai-andai jika saja dia memiliki seorang istri, pasti setidaknya sedikit rasa lelahnya akan berkurang. Namun apa mau dikata, hubungan percintaannya dengan Najlah, yang merupakan atlet basket, berparas manis dengan tinggi semampai, baru saja kandas di tengah jalan. Najlah meminta putus dengan alasan Nasim terlalu baik untuknya. Ya ... meski Nasim tahu itu hanyalah alasan Najlah untuk menutupi aibnya yang telah berselingkuh dengan cowok berprofesi sebagai pengacara. Mirisnya Nasim tahu jelas siapa orang itu. Nasim menghela napas panjang, memejamkan rapat-rapat matanya agar segera berlalu ingatan mengenai perselingkuhan itu. Mengingat semua itu hanya akan menambah rasa sakit yang sama berulang kali. Semua telah terjadi, dan Nasim tidak mau terus-terusan terpuruk akan ingatan itu. Nasim bangkit dari kasurnya, mengganti seragam cokelat kebanggaannya, yang suah payah ia dapatkan, berganti kaos putih dan sarung. Rencananya setelah melahap satu bungkus nasi padang, Nasim ingin segera mandi, sebelum azan magrib berkumandang, badannya sudah terasa gerah dan lengket. Namun semua itu berubah setelah tanpa sengaja ekor mata Nasim mengangkat buku di sudut meja makannya. Kesibukan yang ada membuat Nasim melupakan buku itu. Hanya dengan melihat buku itu saja, ingatan Nasim langsung melayang pada sosok gadis pemilik buku itu, siapa lagi kalo bukan Jihan Rabiah, adik kelasnya sewaktu di bangku SMA. Nasim tidak mengira Jakarta yang sangat luas ini, kembali mempertemukan mereka dalam situasi dan kondisi yang sangat berbeda. Jihan terlihat makin manis dengan jilbab panjangnya, tatapan matanya masih seteduh dan semisterius seperti waktu. Nasim meraih buku itu, membuka lembar selanjutnya setelah kata pengantar yang entah kenapa begitu melekat diingatnya, seolah menjadi gambaran sosok Jihan yang lebih ceria dan terbuka. Cinta. Rasanya topik mengenai cinta tidak pernah ada matinya. Setiap jaman selalu relevan dengan tema yang satu ini. Semua orang tidak akan bosan-bosannya membahas tentang cinta. Semua orang punya pandangan mengenai cinta, begitu pula aku, Jihan Rabiah. Meski tidak pernah merasakan jatuh cinta, tapi aku sangat yakin kalo cinta memang sedahsyat itu. Cinta yang bisa membawa seorang hamba bersujud pada sang khaliq. Cinta yang bisa membawa bayi-bayi kecil mendapat perlindungan dan kebahagiaan dari orang tua. Cinta yang membawa seorang kakak selalu ngomel-ngomel pada adiknya. Nasim tersenyum kecil membaca kalimat barusan. Itulah cinta. Punya beragam bentuknya. Tapi kali ini, aku akan membahas mengenai cinta terhadap lawan jenis. Cinta yang dianggap mampu menjadi penyempurnaan iman manusia. Jam terus berdenting, Nasim sama sekali tidak peduli. Matanya malah sibuk mencari tempat ternyaman untuk kembali melanjutkan bacaannya. Berhubung kos ini hanya sepetak yang hanya berisi meja makan dengan satu kursi dan kasur dan tempat ternyaman sejauh ini tetap di ujung kasur. Nasim benar-benar lupa akan rencananya untuk mandi. Cinta. Apaan sih cinta itu? Menurutku cinta itu fitrah, suci. Sama seperti rasa sakit, sedih, bahagia yang berasal dari Allah SWT, begitu pun perasaan cinta. Ada banyak kisah orang yang menemukan perasaan cinta hanya karena hal-hal sepele, seperti tidak sengaja tabrakan—biasanya ada di n****+ fiksi romance, tidak sengaja papasan di minimarket, tidak sengaja ketemu di reuni SD, tidak sengaja salah sambung panggilan, atau tidak sengaja bantuin teman taarufan, eh malah ketemu jodoh. So, simpel banget kan polo cinta. Semua orang berisiko jatuh cinta mungkin hampir berkali-kali di tempat, waktu dan kondisi yang tidak bisa ditebak. Maka dari itu cinta bersifat murni, selayaknya air putih yang bersih, efek-efek yang kamu teteskanlah yang akan menentukan cinta seperti apa yang kamu dapatkan. Jika kamu meneteskan tinta, maka air itu akan gelap. Jika kamu meneteskan warna merah, air putih itu akan berubah menjadi merah. Begitu pula jika kamu menjaga air itu dari cairan yang bisa mengubah warnanya, air itu akan tetap bersih. Nasim tertegun membaca kalimat itu, selama ini jika jatuh cinta, tetesan apa yang ia berikan pada gelasnya? Apakah baik? Atau malah merusak? Aku mendambakan dia yang menjaga gelasnya dari cairan yang bisa merusak warna asli air yang ada. Dia mungkin akan merasa kesepian tapi ... dia sangat hebat. Dia? kening Nasim berlipat, benaknya menduga-duga sepertinya sudah ada sosok yang Jihan sukai. Dia ... kalo bicara soal dia, rasanya seperti dia sudah ada saja. Dia mungkin sudah ada di salah satu kawasan bumi, di daerah dan tempat yang entah di mana. Dia mungkin sedang menatap langit yang sama, entah malam atau pagi. Dia, sosok yang sampai saat ini menjadi misteri. Nasim menghela nafas lega. Entah kenapa kalimat itu membuar senyumnya merekah. Apa Nasim benar-benar sudah tertarik atau malah jatuh cinta pada Jihan? Semudah itukah jatuh cinta? Setelah membahas seperti apa lika-liku definisi cinta, sakarang aku mau buat daftar list, cowok idaman. Tentunya cowok idaman versi aku .... Hhaahhaha... Inilah perjalanan novelku di mulai .... 1. Cowok ideal itu, cowok yang mengutamakan Tuhannya dan paham Agama. "Tipe pertama aja udah gagal ..." gumam Nasim lesu lalu menutup buku itu dan meletakkannya kembali ke meja. "Pantas aja tadi pas gue telepon, langsung di matiin." Nasim tersenyum getir. "Mimpi apa si lo, Nasim, pengen dapat cewek kayak Jihan. Bagai langit dan bumi." Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. "Permisi, Mas Nasim bukan?" Nasim mengangguk, membenarkan pertanyaan cowok yang mungkin sebaya dengannya. "Ini mas makanannya." "Eh ?" Nasim mengernyit bingung, perasaan sejak tadi ia tidak memesan makanan apa pun. Baru hendak bertanya, kurir itu memberikan sebuah surat pada Nasim. "Itu surat dari mbak yang mesan." "Ah? Oh ya ... makasih ya, mas." Nasim segera membuka selembar surat setelah menutup pintu. Assalamualaikum, kak .... ini Jihan. Maaf tadi panggilannya Jihan matikan sepihak. Makanan ini sebagai permintaan maaf Jihan dan juga ucapan terima kasih sudah nolongi Jihan kemarin. Maaf Jihan ngerepotin kakak... Terima kasih kak Nasim. Tanpa Nasim sadari senyum merekah di wajahnya. Takdir telah mempertemukan mereka kembali. Bukankah bodoh melepas gadis sebaik Jihan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN