Suasana Jakarta seperti biasa, selalu ramai di penuhi kendaraan, mulai dari roda dua sampai roda empat, meski jam baru menujukan angka enam.
Angkot-angkot sudah berjejer rapi di pinggir jalan menunggu para penumpang untuk naik, mulai dari para pekerja sampai para pelajar, mereka memilih untuk pergi lebih awal ketimbang harus menghadapi kemacetan yang sangat melelahkan.
Seorang gadis berlari kecil, takut ketinggalan angkot yang biasa dia naiki, sembari menjinjing tas di punggungnya. Gadis itu bernama Jihan Rabiah, gadis dara Palembang yang baru saja merantau ke kota metropolitan untuk menuntut Ilmu. Jihan berkuliah di salah satu perguruan tinggi berbasis Al-Qur'an. Yap, seperti muslimah kebanyakan, Jihan menggunakan gamis berwarna peach dan jilbab hitam langsung yang cukup panjang yang di permanis dengan sentuhan bros bunga di bahu kanannya.
Angkot masih sepi, Jihan memilih duduk di ujung, entah itu di kanan atau di kiri, Jihan selalu memilih posisi itu karena posisi itulah yang paling nyaman untuknya membaca atau sembunyi dari sorot banyak orang. Seperti biasa, Jihan langsung mengeluarkan n****+ dari dalam tasnya, sembari angkot berjalan di jalan raya. Bagi Jihan, membaca n****+ adalah hiburan yang paling aman di dalam angkot, ibunya selalu mewanti-wanti pada dirinya untuk tidak bermain ponsel saat di angkot.
"Cowok idaman...." Jihan memeluk kecil n****+ miliknya itu. Kali ini, n****+ yang Jihan baca sangat spesial, karena n****+ itu eksklusif merupakan hasil karyanya sendiri dan hanya satu-satunya yang ada.
Yah... Selain membaca n****+, Jihan juga suka menulis n****+, dia juga suka menulis di berbagai platform online dengan nama samaran sejak duduk di bangku SMA. Tapi dia hanyalah remahan rengginang, jadi belum ada penerbit mayor yang melirik karyanya itu meski sudah terpajang satu tahun lebih di platform membaca. Tidak masalah, Jihan tidak berkecil hati untuk itu, dia yakin setiap orang memiliki waktunya kapan ia akan sukses. Yang terpenting tetap usaha dan doa.
Jihan mulai membaca halaman pertama novelnya, dan lama-lama ia hanyut dalam setiap kata-kata yang dia tulis sendiri.
"Mbak, maaf." Tiba-tiba ada pria berperawakan kecil yang meminta Jihan untuk sedikit bergeser sedikit.
"Eh, iya, pak." Jihan langsung bergeser dan kembali fokus pada novelnya.
**
"Mau langsung pulang, An? " tanya Zia—sahabat Jihan.
Jihan mengangguk pelan dengan wajah super lelah. Mereka baru saja selesai dalam kelas sosiologi.
"Gak mampir ke kos dulu? " tanya Zia, memastikan.
"Maunya sih gitu, cuman mau gimana lagi, tugas ada banyak banget, harus dicicil kerjainya biar gak keteteran." Jihan membayangkan setumpuk buku dan tugas yang sudah menantinya di kamar.
"Iya juga ya. Aku juga mau langsung balik ke kos sih habis ini, tapi mau ke toko buku dulu, mau beli beberapa buku referensi makalah."
"Naik apa ke sana? Ojek online? "
"Iya...bentar lagi sampai nih." Zia memperhatikan pergerakan titik biru yang ada pada ponselnya. "Kayaknya itu deh abangnya, aku duluan ya, An. Kamu pulang naik angkot kayak biasa, kan? Gak masalahkan aku duluan?”
"Iya. Hati-hati di jalan. See you tomorrow."
"See you. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Have nice day... "
"Too you..."
Setelah Zia menghilang dari pandangannya, Jihan memilih untuk melampir ke warung klontong dulu, membeli minum karena tenggorokan terasa sangat kering sejak tadi.
"Bu, air mineralnya satu ya, tapi yang gak dingin ada kan, Bu? "
"Ada, Neng. Mau yang kecil apa sedeng?”
"Sedeng aja, Bu."
"Ini neng, tiga ribu....”
"Bentar, Bu.." Jihan mencari dompet yang ia letakan di dalam kantong depan tasnya.
"Duh, di mana dompetnya, kok gak ada sih...” Jihan merogoh semua kantong, bahkan sampai mengeluarkan semua buku dan benda yang ada di dalam tasnya.
“Ada apa Neng?” tanya ibu pemilik warung itu.
"Dompet saya Bu, kok gak ada ya di dalam tas....”
"Keselip kali, Neng atau ketinggalan di rumah.”
"Duh, Aku ingat banget kok, bawa dompet tadi." gumam Jihan. Jihan mulai panik, kalo dompetnya jatuh atau hilang dan firasatnya benar. Jihan baru sadar, kantong bagian depan tasnya sudah bolong. Pertanda dompetnya bukan ketinggalan tapi di kecopetan.
"Astagfirullah!!"
Seketika Jihan langsung menangis, tanpa peduli dia sekarang berada di pinggir jalan. Tukang becak dan supir angkot yang sedang mangkal refleks mendekati Jihan yang menangis terseduh-seduh, memikirkan nasibnya dan barang berharga di dalam dompet itu.
"Neng, kenapa? " tanya mereka bersimpati.
"S-saya, kecopetan pak..." sahut Jihan seadanya di sela tangisnya itu.
"Duh, neng, gimana ceritanya bisa kecopetan? "
"Neng bukan orang sini ya? "
Jihan mengangguk seadanya.
"Oh pantes.. hati-hati neng lain kali. Coba neng ingat-ingat, kira-kira di mana kecopetannya? "
"Di kota besar gini emang harus extra hati-hati, Neng. Di sini banyak orang jahat."
"Ya udah neng, jangan nangis lagi...."
"Eh minggir-minggir, ini saya bawa pak polisi barang kali bisa membantu, Neng."
Jihan masih sesegukan sisa tangisnya tadi.
"Bisa saya bantu, mbak? "
Jihan mengangkat kepalanya.
"Eh, Jihan? "
Jihan membeku, ia mengenal pria berseragam ini.
"Dak nyangko biso ketemu di sini...," sapanya rama.
"Bapak kenal sama neng nya? "
"Iya, kebetulan dia dulu adik kelas saya waktu SMA."
"Oh..."
"Kamu Jihan kan? Junior saya dulu, Kan?”
Jihan mengangguk kaku, masih dengan nafas putus-putus efek nangis tadi.
"Wah ternyata dunia emang sempit ya, jarang ketemu di Palembang malah ketemu di tanah rantau." Dia tertawa kecil. "Kamu masih ingat nama saya, kan? "
Jihan merasa hari ini sangat buruk dalam hidupnya. Bagaimana bisa ia bertemu sebutnya dalam keadaan menangis seperti ini. Sangat memalukan !
"Iya. Kak Nasim..."
"Alhamdulillah ternyata masih ingat." Nasim kembali tersenyum.
Ingin rasanya Jihan menyembunyikan wajahnya di dalam kantong kresek atau meminta kekuatan pada bu peri untuk menghilangkannya dari sana.
"Oh, iya, tadi kamu nangis kenapa? "
Jihan refleks mengangkat kepalanya, mata sembabnya langsung tertangkap oleh mata tajam milik Nasim.
"Kak, boleh aku pinjam uang, buat pulang? "Hujan langsung bangkit dari kursi panjang, tanpa ba-bi-bu, mengatakan itu.
"Eh—"
"Nanti saya ganti kok kak, ini sebagai jaminannya," selanya. Jihan sudah kepalang malu.
Jihan yang gugup langsung saja memberikan kartu mahasiswa pada Nasim, lagi-lagi tanpa pikir panjang.
Saat Nasim mengeluarkan selembar uang biru, Jihan langsung mengambilnya dan buru-buru menghentikan angkot, tanpa ba-bi-bu atau mengucap terimakasih pada Nasim, yang kini terpaku melihat kepergian Jihan.
Nasim tersenyum, ia tidak menyangka bisa bertemu Jihan lagi, juniornya dulu yang sering ia tawarkan tumpangan motor.
Saat Nasim hendak berbalik, ia melihat sebuah buku berwarna merah muda yang lumayan mencolok mata berada di kursi warung tempat Jihan tadi duduk.
"Kayaknya itu n****+ punya Jihan, deh." Nasim mengambil n****+ itu, memeriksa dengan seksama n****+ berjudul cowok Impian...
"Jihan Rabiah? Dia yang nulis buku ini?”
Nasim membuka sampul buku itu, dan entah kenapa dia malah tertarik untuk membaca kata pengantar, hal yang tidak pernah Nasim lakukan sekali pun dalam hidupnya.
Kata pengantar,
Segala puji bagi Allah, Tuhan semester alam yang dengan kebaikan-Nya, meridhoi saya untuk tetap hidup dan menulis hingga selesai n****+ amatiran ini, tidak masalah jika keberadaan n****+ ini tidak terlihat di antar bintang-bintang yang bersinar, yang penting ia bisa menjadi bintang meski tidak bersinar.
Tidak lupa shalawat dan salam tetap harus tercurah pada Nabi Muhammad SAW, manusia terbaik sepanjang masa. (Jangan lupa shalawat ya guyzzzz)
Terima kasih banget buat diri sendiri yang dengan besar hati mau merangkai semua kata hingga menjadi kalimat dan menjadi buku. Peluk hangat buat diri sendiri. Tidak lupa juga, peluk sayang buat orang-orang kuat yang selalu menguatkan, buat orang tua dan keluarga yang selalu ada. Terima kasih banyak buat semuanya.
Novel ini saya dedikasikan buat diriku sendiri, of course... cause even though I never felt love, at least I could fantasize about getting it. it's the easiest way to fall in love without a heartbreak.
Hehehhe....
Gak tahu mau ngomong apa lagi nih, kok jadi bingung ya, padahal sebelum nulis kata pengantar ini, banyak banget yang pengen di tulis, tapi tiba-tiba blank aja pas udah depan laptop... Hahahah...
Ya udahlah ya, see... Makasih buat diri sendiri yang udah mau baca kata pengantar gak jelas ini.. See you...
Nasim tersenyum kecil. Dia baru tahu sisi lain dari gadis ini.