Prolog
Senin sore, menjelang waktu magrib, SMA Negeri 10 sudah hampir kosong. Hanya tersisa satu petugas keamanan, dan beberapa guru yang masih disibukkan oleh tugas di ruang guru.
Di salah satu kelas, tepatnya di kelas 12 IPS 2. Enam anak cowok masuk setelah berlari mengendap-endap. Di tangan mereka tersembunyi berbagai macam petasan, atau yang biasa mereka sebut mercon, dan korek api. Apa yang ingin mereka lakukan?
Sebelum itu, perkenalkan, nama-nama mereka adalah Diego, Anas, Anugrah, Bayu, Conan, dan Demian. Enam anak laki-laki itu sedang menjalankan misi yang telah mereka sepakati bersama.
"Ayo, buruan." Diego berlari masuk setelah mengintip keluar melalui pintu kelas, memastikan bahwa tidak ada orang yang melihat mereka di sana.
Anak-anak itu mengeluarkan semua mercon yang mereka miliki, juga korek api. Kemudian mereka meletakkannya di atas meja-meja paling depan. Setiap anak bertanggung jawab untuk menghidupkan satu mercon, dan mereka sudah punya korek masing-masing.
"Oke, siap?" Diego memastikan kelima temannya sudah siap.
"Hm." Mereka mengangguk.
"Hitungan ketiga, kita nyalain mercon-nya bareng-bareng, abis itu lari sekenceng-kencengnya keluar dari sekolah, kita lompat lewat tembok belakang," ucap Diego.
"Hm." Sekali lagi mereka mengangguk.
"Satu."
"Dua."
"Tiga."
Keenam anak itu bersama-sama menyalakan korek untuk membakar sumbu mercon. Bau khas asap mercon pun sudah tercium.
"Udah."
"Buruan keluar."
"Ligat, ligat!"
Semuanya berlarian keluar, kecuali satu.
"Woi, Demian!" seru Diego sebab cowok itu masih berdiri di sana.
"Sabar, punya gue belum nyala!" kata Demian. Dia lah satu-satunya yang belum berhasil membakar sumbu mercon-nya.
Diego masuk kembali ke dalam kelas untuk menyeret anak itu keluar. Dia yang bertanggung jawab atas teman-temannya. Jangan sampai satu temannya itu ikutan hangus sebab mercon milik mereka berlima sudah terbakar, dan tentu saja sebentar lagi akan meledak.
"Udah biarin, lama, itu mercon lo apes. Bentar kali kelasnya meledak," kata Diego.
Dia dan Demian pun segera berlari sebelum terdengar suara ledakan yang cukup dahsyat.
Duar!!
Satu mercon meledak ketika Diego dan kawan-kawan tiba di tembok belakang sekolah dan siap untuk melompat kabur.
Duar! Duar!
Kali ini dua mercon meledak bersamaan, diiringi dengan suara 'ngit' panjang khas mercon tembak.
Duar! Ngiiit! Kretek kretek! Duar! Duar!
Diego yang terakhir melompat sesekali menengok untuk melihat melalui jendela kelas, mercon-mercon itu memporak-porandakan seluruh isi yang ada di dalamnya, membakar hiasan dinding dan merusak harta benda milik sekolah.
"Buruan, Go!" seru Anas yang melihat Diego masih nangkring di atas tembok sebab ingin menyaksikan kehancuran kelas mereka.
Anugrah sudah menghidupkan motor lakinya, begitupun dengan Conan dan Demian, sedangkan Bayu dibonceng oleh Demian. Motor-motor mereka memang sengaja diparkirkan di situ agar mereka bisa langsung kabur setelah menyelesaikan misi.
Petugas keamanan sekolah mendengar suara ledakan dari salah satu kelas. Dia segera berlari ke dalam, menuju ke sumber suara. Bau khas mercun mulai memasuki rongga hidungnya. Tak lama dari itu pun sang petugas keamanan menyadari bahwa asap putih sudah memenuhi salah satu kelas.
Dia terlonjak kaget. "Astaghfirullah! Hueh, kebakaran! Kebakaran!" pekik Pak Bagus, khas dengan logat jawanya.
Diego langsung melompat keluar gedung sekolah ketika mendengar suara Pak Bagus. Dia segera menyalakan motor ninjanya, lalu membiarkan Anas naik di boncengan. Keempat anak itu pun langsung menarik pedal gas, menjauh dari gedung sekolah.
"Bapak, Ibu, tolong! Ada kelas yang kebakaran!" Pak Bagus berlari memanggil seluruh guru yang juga berlarian menuju ke sumber suara ledakan.
"Ya Allah! Siapa yang main mercon di dalam kelas!" Pekik salah satu guru.
"Ayo, Pak, Bu, cepat ambil air!" Bu Maya, seorang guru BK sudah siap dengan seember air untuk segera memadamkan api.
Petugas keamanan dan para guru yang untung saja masih berada di sekolah segera mengangkut air menggunakan ember, menyiram api yang berkobar di dalam kelas itu. Mereka tak ada yang sempat menelpon pemadam kebakaran, semuanya bergegas memadamkan api. Beruntung api yang membakar kelas itu tidak terlalu besar sehingga berhasil dipadamkan.
Pak Bagus menemukan sebuah korek di selokan depan kelas. Dia mengambilnya, lalu mengecek korek itu.
"Ini pasti ulah anak-anak, Bu. Korek ini pasti punya mereka." Pak Bagus memberikan korek gas itu pada Bu Maya.
Bu Maya menerimanya. Keningnya berkerut. "Oh, saya tau ini punya siapa, Pak, Bu. Biar saya telepon orang tuanya Diego sekarang!" ucap Bu Maya, geram.
Tentu Bu Maya tahu bahwa korek itu milik Diego. Sebelum ini dia sempat memergoki Diego mengantungi sebuah korek, dan menuduh anak muridnya itu merokok. Namun Diego mengaku bahwa dia tidak merokok.
"Bukan buat ngerokok, tapi buat ngebakar kelas!" gerutu Bu Maya, selaku guru BK yang setiap hari menjadi korban Diego dan kawan-kawan.
***
Di rumah Glen dan Nandira, tepatnya di sofa ruang TV, terlihat pasangan suami istri itu sedang bersantai. Sambil menunggu adzan magrib, mereka menonton berita di televisi.
Kemudian, ponsel Glen berdering, membuat Nandira bangkit dari sofa untuk mengambilkan ponsel suaminya di bufet.
"Siapa, Sayang?" tanya Glen sebab istrinya itu mengerutkan kening.
"Bu Maya," jawab Nandira. Dia sudah tahu bahwa Bu Maya adalah guru bimbingan konseling di sekolah Kenzo dan Diego.
Glen menegakkan tubuh. Dia sudah punya firasat buruk jika Bu Maya yang menelpon. Beda cerita kalau yang menelepon adalah Bu Indah, wali kelas Kenzo, yang selalu memberi kabar baik tentang putranya yang berprestasi.
"Diego," panggil Glen, memastikan bahwa putranya itu berada di rumah.
"Diego belum pulang," kata Nandira.
Glen berubah gusar. Kemudian, kebetulan dia melihat Kenzo yang hendak naik ke lantai atas. "Kenzo, di mana Diego?" tanyanya.
"Belum pulang," jawab Kenzo. "Memangnya kenapa?"
Glen menarik napas spontan. Dia menjawab telepon Bu Maya. Dia berharap kali ini masalahnya tidak terlalu serius. Namun, setelah mendengar kabar dari Bu Maya, harapan Glen musnah. Masalah yang terjadi malah tambah besar.
"Apa? Ngebakar sekolah?" Glen sedikit memekik dengan suara bariton-nya setelah menerima telepon.
Kedua mata Nandira terbelalak, lebar. Kenzo yang semula hendak naik pun mengurungkan niat. Dia menunggu dengan penasaran. Ulah apa lagi yang dilakukan kembarannya kali ini.
Glen memijat kening, gundah, mendengarkan ucapan Bu Maya yang menjelaskan kondisi kelas yang terbakar akibat ulah Diego barusan.
"Iya, Bu, dia belum pulang. Baik, saya akan bicara pada anak itu nanti. Terima kasih, Bu." Glen menghela, memutus sambungan telepon, lalu kembali mendarat di sofa.
"Kenapa?" Nandira menepuk pelan paha suaminya, bertanya hati-hati pada raut marah yang sedang tertahan itu.
"Diego ngebakar kelasnya sendiri pake mercon," jawab Glen.
Reflek Nandira memegang dadanya, syok. Tampak jelas raut sendu khawatir di wajah sosok ibu itu. Seketika bahu-bahunya melemas.
Kemudian, terdengar suara motor masuk ke halaman rumah. Sudah bisa dipastikan itu Diego. Glen langsung berdiri dari sofa, hendak menghampiri bocah itu. Nandira yang sadar bahwa suaminya itu sangat marah pun mencoba menenangkannya.
"Sayang, hati-hati, dijaga kata-katanya," bisik Nandira, tak ingin Glen mengatakan hal buruk pada putranya.
Meski putranya itu telah melakukan kesalahan besar, tetap saja Nandira tidak ingin perkataan buruk keluar dari mulut suaminya. Semarah apapun orang tua, jangan sampai mereka membuat anak-anaknya berkecil hati sebab kata-kata buruk yang mereka tujukan pada sang anak. Sifat marah itu asalnya dari syaitan, Nandira tidak ingin suaminya terpengaruh oleh bisikan syaitan, yang bisa membuat hubungan papa dan putranya itu renggang.
"Sampai aku tutup usia~" Diego melangkah masuk sambil bersenandung, tanpa sedikitpun merasa telah melakukan kesalahan. "Kan, ku jaga hatimu~ sampai aku tua~"
Glen berdiri dengan perasaan campur aduk, mendengar suara putranya. Bisa-bisanya bocah itu bersenandung ria setelah membakar sekolah.
"Walau keriput di pipimu terlihat~ tak kan goyahkan cintaku yang begitu kuat~" Diego menyelesaikan lagunya ketika tepat berada di depan Nandira. Seolah lagu itu benar-benar dia nyanyikan untuk mamanya.
Bagaimana bisa Nandira tidak tersenyum dan tersentuh. Apalagi ketika Diego mengambil tangannya lantas menciumnya.
Setelah mamanya, Diego beralih untuk mencium tangan papanya. Namun Glen masih melipat kedua tangan di depan perut, raut wajahnya pun masih menyimpan kemarahan.
"Papa, anak papa yang tampan ini mau saliman tau," rayu Diego sebab melihat tangan papanya tampak sombong, tidak ingin menerima salamannya.
"Pa …." Nandira mengusap lengan suaminya, memaksa pria itu untuk membiarkan Diego mencium tangannya.
Pada akhirnya Glen mengulurkan tangan untuk Diego. Namun tujuannya untuk memarahi bocah itu tidak akan hilang begitu saja. Glen tetap memarahi Diego.
"Kenapa jam segini baru sampai rumah?" tanyanya.
"Karena, Diego nganterin Anas pulang dulu ke rumahnya." Bocah itu beralasan dengan nada menyenangkan. Dia tidak berbohong, dia memang mengantar Anas pulang dulu tadi, hanya saja dia tidak langsung jujur tentang ulahnya.
"Habis itu?"
"Habis itu." Diego jeda beberapa saat. "pulang," jawabnya.
"Kamu yakin nggak buat ulah hari ini?"
"Ng … gak," jawab Diego sambil mengalihkan tatapan dari manik mata papanya.
"Jangan bohong, Diego!" seru Glen.
"Papa tau dari mana?" Akhirnya Diego mengaku.
"Tau dari mana kamu bilang! Jadi bener kamu ngebakar sekolah?" Glen berkacak pinggang dengan wajah marah.
"Tuh, kan, papa salah informasi," kilah Diego. "Sekolah itu luas, mana mungkin aku bisa ngebakar semuanya. Orang aku cuma ngebakar kelas, kok."
Nandira syok, begitupun dengan Glen. Kedua matanya semakin membesar akibat respon putranya. "Cuma kamu bilang!"
"Pa …." Nandira mengelus-elus lengan suaminya, menenangkan pria itu.
Meski sebenarnya dia juga tidak setuju dengan cara Diego merespon, tetapi Nandira masih bisa menahan emosinya. Dia memaklumi Diego yang masih SMA, pasti ada alasan yang membuat bocah itu melakukan hal seperti ini.
Berbeda dengan Glen yang sangat geram. Dia memang pernah SMA, dan dia juga pernah nakal, tapi dia tidak pernah senakal ini. Rasanya Glen ingin menjedotkan kepalanya sendiri ke tembok. Mengapa dia memiliki putra seperti ini!
Glen tidak bisa memukul putranya, tapi dia bisa menunjuknya, dan menuntutnya.
"Kalau kamu dikeluarin dari sekolah, papa gak mau kasih kamu uang jajan lagi. Papa bakal nikahin kamu dan suruh kamu kerja di restoran, jadi tukang bersih-bersih!" ancam Glen.
Diego sempat diam mematung, memikirkan ancaman papanya. Jujur, sebelumnya Diego tidak pernah mengira kalau papanya akan berkata seperti ini.
"Kalo Diego kerja di restoran punya papa, Diego bakal abisin makanan sama minuman yang ada di sana. Terus Diego bagiin ke anak-anak jalanan yang kelaperan."
Glen membatu dengan napas buntu. Sementara di sebelah sana, Kenzo menahan tawanya.
____________
Bismillah, jangan lupa tap love yang banyak biar bisa lebih cepet buat update setiap hari :))