Apa yang salah apabila ia mengandung seorang anak perempuan saat ini?
Tolong, katakan apa yang salah?
Mau anak laki-laki ataupun anak perempuan sama saja menurut Ella. Sama-sama rejeki pemberian Tuhan yang patut di syukuri.
Di luar sana, masih banyak yang belum seberuntung dirinya, Ella meyakini hal itu, karena ada banyak sekali pasangan-pasangan di kampungnya yang berharap hamil tapi tak kunjung-kunjung hamil. Seharusnya... Seharusnya suaminya bisa berfikir sedikit lebih dewasa, dan patut bersyukur karena di berikan oleh Tuhan di atas sana kenikmatan yang luar biasa besar. Seorang bahkan sudah tiga orang anak dengan yang sedang ia kandung saat ini.
Tapi, suaminya? Suaminya malah menginginkan anak laki-laki. Dan Ella tidak bisa berbuat banyak untuk mewujudkan keinginan suaminya itu. Itu kuasa Tuhan, dan takdir hidup mereka yang jelas sudah di atur oleh Tuhan di atas sana.
Ella tau, sedari awal setelah ia melahirkan kedua anaknya. Tatapan suaminya langsung redup, sinar riang, dan raut bahagia di wajahnya langsung lenyap seketika, di saat suaminya yang dengan suka cita, semangat tinggi berbalur rasa cemas, dan khawatir menemani dirinya berjuang dalam mengeluarkan kedua anaknya saat itu, ikut menguatkan dirinya di sampingnya.
Menggenggam tangannya seerat mungkin, di saat rasa sakit semakin menikam dirinya, dan genggamannya sangat-sangat erat di saat ia mendorong sekuat tenaga bayi-nya, tapi pada saat itu, detik itu, setelah dokter mengatakan ' selamat, anak pertama bapak, dan ibu seorang puteri,. Genggaman suaminya di tangannya langsung renggang bahkan terlepas begitu saja.
Menatap Ella dengan tatapan kecewanya, tapi pada saat itu suaminya tak menyerah. Masih ada satu bayi bukan yang harus keluar dari dalam perutnya, perut isterinya. Kembali, suaminya menggenggam sangat erat tangannya. Berbisik-bisik dengan bisikan yang lumayan keras, memohon pada Tuhan agar anak keduanya yang keluar berjenis kelamin laki-laki.
Sayang, suaminya tak mendapatkan apa yang ia inginkan. Karena yang keluar dari perutnya, adalah seorang anak perempuan cantik, dan mungil lagi, dan anak keduanya dengan menyedihkan, di saat umurnya baru dua bulan, di panggil Tuhan karena suhu badannya yang tinggi, dan kejang-kejang di tengah malam, dan lansung meninggal di tempat pada saat itu juga.
Membuat rasa kecewa suaminya, sedikit menyusut, menerima dengan sedikit tak semangat mungkin tak ikhlas anaknya Hanin pada saat itu. Walau pahit, Ella tetap mengingat ulang, dan mengenang kenangan sedikit pahit itu dulu.
"Sudah sampai, Ma."Hanin yang diam sedari membuka suara, tapi kedua matanya menatap, dan melirik dalam diam kearah mamanya yang terlihat melamun sedari tadi. Menggoyangkan lembut tangan mamanya, membuat lamunan panjang Ella buyar.
"Kenapa sayang?"
Ella menatap anaknya Hanin dengan tatapan dalamnya, dengan senyum yang perlahan tapi pasti ikut terbit di kedua bibirnya. Agar wajah getir, dan sedihnya tak terekspos sepenuhnya pada anaknya Hanin.
Tapi, Sayang. Hanin melihatnya dalam diam wajah sedihnya sedari tadi. Tapi, anak itu hanya diam saja. Tanpa ingin menganggu mamanya sedikit'pun.
"Uang untuk bayar taksi." Hanin mengulurkan dengan lembut dua lembar uang kertas berwarna merah pada mamanya, uang pemberian papanya, yang di terima Ella dengan lembut, dan melempar senyum terimah kasih pada anaknya Hanin.
"Papa jahat, Ma. Hanin nggak suka, dan benci sama Papa. "Teriak Hanin keras, dan anak itu bahkan berlari dengan kencang, meninggalkan Ella yang sedang membayar ongkos pada supir taksi.
Anaknya Hanin? terus berlari walau sudah ia panggil berkali-kali.
"Mama suka kamu berbicara seperti tadi. Biar rasa sakit yang kamu rasakan selama ini, nggak kamu pendam sepenuhnya."
Orang bodoh saja tau, betapa tak acuh, dan tak dekatnya Serkan dengan anaknya Hanin selama ini.
Apakah ia bodoh, karena terus bertahan selama ini dengan laki-laki yang tak suka, dan tak menginginkan anaknya dengan utuh selama ini?
*****
Ella menghembuskan nafasnya lega melihat anaknya Hanin yang sedang menenggelamkan wajahnya di sandaran sofa yang ada di ruang keluarga saat ini.
Tapi, cara duduk anaknya membuat Ella harus melangkah dengan tergesa, dan cepat. Takut anaknya Hanin yang duduk di pinggiran sofa membelakanginya di depan sana, terjatuh di atas lantai, kepala atau bahkan tengkuknya menghantam pinggiran meja yang ada di tengah-tengah sofa yang melingkar, itu menyakitkan, dan Ella tidak mau anaknya Hanin terluka. Cukup batin, dan pisikis anaknya yang terluka diam-diam selama ini.
Terluka karena sifat tak acuh, dan kurang perhatian serta pendekatan dengan sang papah, demi Tuhan laki-laki itu, Serkan adalah papa kandungnya.
"Mama yang akan nangis duluan, lihat anak mama Hanin jatuh, dan memiliki luka di tubuhnya walau hanya sebesar biji anggur."Ucap Ella dengan nada lirihnya, kedua tangannya dengan tubuhnya yang sudah sangat berisi saat ini duduk di samping kanan Hanin, menahan tubuh anaknya agar tidak terjatuh ke lantai.
Dengan kedua lututnya, anaknya bagai seorang yang sedang bersujud saat ini, dengan kedua lutut yang sebagian sudah tak memijak pinggiran sofa lagi, Ella yakin, ia melepas tangannya, anaknya jelas akan menghantam lantai. Membuat Ella semakin mengeratkan pegangannya pada bahu, dan b****g mungil anaknya.
"Hanin..."Panggil Ella lembut.
Dan kelakuan Hanin, tanpa di duga oleh Ella , anaknya menormalkan posisi duduknya. Menatap Ella dengan tatapan marah, dan raut wajah yang hampir menangis.
"Hanin nggak suka, Mama. Mama selalu bela, Papa. Hanin nggak nakal. Papa yang nakal. Papa nggak suka Hanin. Papa jarang cium Hanin kayak Papa Bella. Papa jarang ajak main Hanin. Papa jahat sama Hanin. Jahat sama mama juga tadi. Jahat sama calon adik Hanin juga tadi. Papa nggak kayak papa Bella. Antar Mama Bella buat ke dokter untuk lihat adiknya, di antar sama Papa Bella, pulang juga sama Papa Bella. Hiks. Hik. Huaaa."Ucap Hanin beruntun dengan nafas anak itu yang sudah tersengal-sengal saat ini. Dan juga tangisannya yang sudah pecah.
Kedua tangan mungilnya, terlihat mengacak rambutnya kasar, bahkan menjambaknya juga. Hanin juga bahkan sesekali, menghantam kepalanya, untung Hanin menghantam kepalanya di sandaran sofa yang empuk.
Dengan air mata yang hampir menetes. Ella meraih anaknya untuk ia peluk, tapi Hanin menolak untuk ia peluk. Anaknya meronta, dan memukul-mukul dengan kedua tangannya.
Membuat Ella sangat kewalahan.
Dan Ella menyerah, di saat tangan mungil Hanin tak sengaja memukul perut buncitnya dengan frekuensi yang cukup kuat.
"Sakit, Sayang. Perut mama sakit. Jangan begini."Ucap Ella lirih sekali dengan air mata yang akhirnya luruh, membuat Hanin bungkam dengan tubuh yang diam, dan kaku bagai robot saat ini.
Menatap dengan takut pada wajah basah Ella kali ini. Kedua manik cokelatnya, yang di ambil Hanin dari mamanya menatap takut-takut juga secara bergantian pada perut mamanya yang tak sengaja ia pukul tadi, dan dengan wajah basah mamanya.
Di sana... Di sana ada adiknya, dan Hanin dengan nakal malah memukul adiknya barusan.
Hanin terlihat meremas kuat tangannya yang ada di atas pahanya saat ini.
"Maaf, Ma. Hanin nakal, Ma. Hanin pukul adik Hanin. Maaf. Adik Hanin nggak mati kan, Ma? Maaf kan Hanin, Ma. Jangan cabut surga untuk Hanin. Maaf... Ampuni Hanin, huhuhu Hanin nakal."Ucap Hanin dengan cepat, dan wajah yang sangat basah, jelas basah oleh air matanya. Dengan nafasnya yang semakin tersengal, dan terputus-putus saat ini.
Rasa sakit yang sedikit menyapa perut Ella tadi, detik ini sudah hilang entah kemana. Di gantikan dengan raut wajah senang, dan senyum tipis yang terbit begitu indah di kedua bibirnya saat ini. Di gantian dengan rasa senang yang tak terkira besarnya.
Akhirnya...setelah sekian belasan purnama.
Kerewelan yang di miliki anaknya dulu, di saat ia masih sangat kecil, barusan sudah kembali. Anaknya baru saja mengeluarkan suaranya banyak walau dengan kosa kata yang hampir sama.
"Surga dari mama masih ada untuk Hanin. Asal Hanin nggak nakal, dan nangis, dan jambak rambut Hanin sendiri seperti tadi, Sayang."
"Mama maafkan, Hanin. Tapi, jangan ulangin lagi, ya. Jangan buat diri Hanin terluka. Mama nggak suka. Karena rasa sakit yang di rasakan Hanin, mama juga bisa merasakannya. Kenapa? Karena Mama sangat Sayang Hanin."
"Papa juga sangat sayang sama, Hanin. Sayang bangat sama Hanin."Bisik Ella lembut sekali di atas puncak harum, dan lembut kepala anaknya.
Tangannya dengan sedikit gemetar, mengelus sayang, dan penuh cinta punggung anaknya yang masih sedikit bergetar seperti orang menahan tangis saat ini.
"Maa..."Panggil Hanin pelan, dan anak yang berusia lima tahun itu, terlihat melepaskan pelukannya dengan sang mama. Ella menuruti kemauan anaknya.
Tapi wajah Ella terlihat takut, melihat anaknya yang menekan dadanya kuat saat ini.
"Hanin kenapa? Anak Mama kenapa?"Tanya Ella lembut dengan raut cemas yang tak bisa di tutupi oleh wanita itu sedikit'pun saat ini.
"d**a Hanin kayak sesak nafas gitu tadi, Ma. Sakitnya kayak pas Hanin lagi lapar. Tapi lebih sakit d**a Hanin tadi, Ma. tadi di rumah sakit itu. Pas papa bilang, kamu jangan ikut masuk. Tunggu aja di sini."Bisik Hanin pelan, dan tangan mungilnya terlihat menekan semakin kuat dadanya saat ini.
Karena rasa sesak, dan sakit yang tak Hanin mengerti, seperti tadi, kembali menyapa dadanya saat ini.
"Hanin mau ikut lihat Adek. Tapi Papa suruh Hanin duduk diam di kursi bu dokter. Takut kalau Hanin ikut, nanti adeknya keluar dari perut mama seperti Hanin. Hanin nggak ngerti. Tapi Hanin mau nemanin mama tadi."rengek Hanin dengan raut wajah yang hampir menangis lagi.
Ella? Wanita itu sebisa mungkin, menahan isaknya yang ingin pecah. Di saat ingatannya kembali melayang pada saat berada di ruang dokter ( lupa namanya), dan suaminya dengan tega menyuruh anaknya Hanin duduk sendiri, menunggu mereka di kursi tunggu yang ada dalam ruang dokter ( lupa namanya).
"Maaa..."Panggil Hanin lagi.
Ella menoleh cepat kearah anaknya.
"Ada apa sayang? Anak mama haus? Lapar?"Tanya Ella cepat masih dengan nada lembut, dan halusnya.
Hanin terlihat menunjuk perutnya dengan jari telunjuk mungilnya saat ini.
"Kata papa, suruh obatin mama bekas cubitan papa di ruang bu dokter tadi. Hanin nakal karena pengen nemanin mama, dan adek. Makanya di cubit kata papa…"Ucap Hanin pelan dengan kepala yang menunduk dalam. Takut mamanya marah, seperti papanya yang diam-diam marah tanpa sepengetahuan mamanya yang lagi di toilet tadi.