Chapter 7

1431 Kata
Saat mobil yang dikendarai Albert tiba di basement apartemen, dia melihat seorang wanita cantik hendak memasuki sebuah sedan BMW hitam. Mendengar kedatangan sebuah mobil, spontan wanita tersebut pun menoleh. Ketika ingin mengabaikannya, dia terkejut saat melihat pengemudi mobil tersebut yang kini telah keluar. Tanpa diperintah seulas senyum tipis pun tercipta di bibirnya, meski rasa terkejut masih dirasakannya. Cella yang masih berada di dalam mobil ternyata tidak menyadari jika sang suami telah keluar mendahuluinya. Bahkan, suaminya tersebut kini sedang asyik mengobrol dengan seorang wanita. Cella sangat penasaran terhadap sosok wanita yang baru pertama kali dilihatnya, oleh karena itu dia langsung melepas sabuk pengamannya dan menghampiri sang suami. “Siapa dia, Al? Wajahnya seperti tidak asing bagiku,” tanya wanita di samping Albert ketika melihat Cella berjalan ke arah mereka. “Adiknya George,” jawab Albert datar dan tanpa mengikuti arah tatapan wanita yang saat ini diajaknya berbicara. “Adiknya yang tinggal di Inggris? Ternyata aslinya jauh lebih cantik dibandingkan fotonya,” komentar wanita itu sambil tersenyum ke arah Cella. Tidak berselang lama, dia menyipitkan mata dan menatap Albert karena menyadari ada sesuatu yang janggal. “Ada hubungan apa di antara mereka berdua? Bukannya Albert masih menjadi kekasih Audrey?” gumam wanita tersebut dengan pelan. Mendengar gumaman sahabatnya tersebut, Albert hanya diam. Dia tidak langsung memberikan tanggapan. “Kalau tidak salah namanya Grace ya?” bisik wanita itu lagi kepada Albert. Karena pertanyaannya tidak dijawab, maka wanita itu pun memutuskan langsung memanggil Cella, “Grace.” Wanita tersebut memberi isyarat agar Cella mendekat. “Benar namamu Grace? Kenalkan aku, Cindy, teman George dan Albert.” Cindy tersenyum karena tebakannya dibenarkan oleh Cella. Tanpa segan, dia pun mengulurkan tangan setelah Cella berdiri di dekatnya. “Cindy Wilson?” Cella bertanya balik dengan sedikit keraguan. Setelah Cindy membenarkan melalui anggukan kepala, Cella langsung menerima uluran tangan tersebut. Wanita itu adalah Cindy Wilson dan dia baru kembali dari Hongkong. Cella tahu nama Cindy dari George. Kata George, wanita ini dulu pernah menaruh hati padanya, tapi karena waktu itu kakaknya sudah jatuh cinta kepada Cathy, maka sang kakak pun tidak bisa membalas perasaan Cindy. Setelah Cindy lulus dari fakultas kedokterannya di Harvard, dia diminta orang tuanya kembali ke Hongkong untuk merawat neneknya yang sedang sakit, serta membantu klinik persalinan milik keluarga ibunya. Sekarang dia kembali ke New York untuk melanjutkan kariernya. “Akhirnya aku bisa juga bertemu langsung denganmu. Bagaimana kabar George?” ujar Cindy senang. “Senang juga bisa bertemu denganmu. Keadaan George baik dan dia sudah mempunyai anak,” beri tahu Cella hati-hati, takut melukai perasaan wanita cantik di depannya. “Oh ya? Wah! Aku harus segera menemui keponakanku kalau begitu,” decak Cindy antusias. “Kamu tidak usah sungkan membicarakan George di depanku. Aku tidak apa-apa,” Cindy kembali berkata karena melihat kecanggungan Cella. Cella tersenyum tipis menanggapi teguran Cindy yang ternyata bisa melihat kecanggungannya, terlebih ketika membicarakan kakak semata wayangnya. “Walau tidak ditakdirkan sebagai pasangan, bukan berarti kami memutuskan tali persahabatan. Cinta itu tidak bisa dipaksakan,” Cindy menambahkan dengan tenang. Perkataan Cindy langsung membuat Albert memalingkan wajah. Dia merasa jika kata-kata itu menyindirnya, meski yakin Cindy belum mengetahui apa-apa mengenai hubungannya dengan Cella. “Oh ya, Grace ….” “Panggil Cella saja,” sela Cella saat melihat keragu-raguan Cindy. “Baiklah,” Cindy menyetujui sambil mengangguk. “Kamu tinggal di sini juga, Cell? Mengapa kalian datang bersamaan?” tanyanya sambil menunjuk ke arah Cella dan Albert bergantian. “Iya, aku memang tinggal di sini,” jawab Cella sambil menunduk. “Bersama Albert,” sambungnya mencicit. Cindy terkejut mendengar jawaban yang keluar dari mulut Cella. “Apa?” tanyanya memastikan. “Tapi, Audrey? Al?” tuntutnya kepada Albert. “Ceritanya panjang, Cindy. Nanti aku akan menceritakannya padamu,” sergah Albert di tengah kebingungan Cindy. “Ke atas duluan!” perintahnya penuh penekanan kepada Cella. Mendengar intonasi suaminya membuat Cella langsung menurutinya setelah berpamitan singkat kepada Cindy. “Kamu tinggal di apartemen ini juga?” Albert mengalihkan pertanyaan seputar dirinya dengan Cella. “Iya, aku baru pindah kemarin. Al, sepertinya aku tidak mempunyai waktu lama untuk mengobrol. Kapan-kapan kita sambung lagi dan kamu berutang cerita padaku. Aku masih bingung dengan semua ini,” ucap Cindy tanpa menutupi kebingungannya. “Nanti aku jelaskan semuanya padamu. Hati-hati,” balas Albert setelah mencium kedua pipi Cindy. *** Cella sudah selesai berganti pakaian. Seperti yang sudah direncanakannya, hari ini dia akan ke rumah sakit memeriksakan kandungannya bersama Icha. Tadi Icha sudah meneleponnya dan memberitahukan sedang dalam perjalanan ke apartemennya. Saat keluar kamar, Cella melihat Albert sedang duduk di sofa sambil bersandar dan memejamkan mata. “Mau aku buatkan kopi, Al?” Cella menawarkan tanpa ragu. “Tidak,” Albert singkat dan datar tanpa membuka mata. “Kalau begitu aku berangkat sekarang ya,” Cella berpamitan. Cella menghela napas sejenak karena tidak mendapat tanggapan dari Albert. Dia langsung keluar dan memilih menunggu Icha di lobi apartemennya. *** Cella ditemani Icha tengah mengantri di poliklinik kandungan. Saat namanya dipanggil perawat, dia bersama Icha masuk ke ruangan sang dokter. Betapa terkejutnya Cella ketika melihat dokter yang akan menanganinya sedang duduk di kursi kebesarannya. Reaksi yang sama juga ditunjukkan oleh dokter tersebut. “Cella,” ucap dokter yang masih terkejut dan tidak percaya melihat pasiennya. “Cindy,” balas Cella yang juga tidak menyangka dengan pertemuannya saat ini. Icha hanya bingung melihat keduanya saling menyebut nama masing-masing. Seingatnya, sewaktu pertama kali mengantar Cella memeriksakan kandungan, bukan wanita di depannya yang menangani sang sahabat. “Kalian saling mengenal?” tanya Icha pada akhirnya dan langsung diangguki oleh keduanya. “Dunia memang sempit, Cell,” ucap Cindy sambil terkekeh. Dia mempersilakan Cella duduk. “Iya, Cindy. Eh, dokter maksudku,” Cella meralat panggilannya kepada Cindy. “Tidak usah terlalu formal, Cell. Santai saja,” tegur Cindy sambil tersenyum hangat. “Cindy, kenalkan ini sahabatku.” Cella memperkenalkan Icha kepada Cindy dan mereka pun saling berkenalan satu sama lain. Setelah acara perkenalan singkat antara dirinya dan Icha selesai, Cindy langsung menyuruh Cella berbaring pada brankar yang ada di ruangan itu. Cindy mulai menjalankan tugasnya sebagai dokter, di awali dari mengecek tekanan darah Cella. “Dok, aku boleh melihat perkembangan janinnya?” tanya Icha yang berdiri di samping Cella. “Tentu saja boleh,” jawab Cindy sambil tersenyum. Cindy mengoleskan cairan di sekitar perut Cella dan mulai menggerakkan alat untuk mendeteksi kehidupan pada rahim Cella. Icha sangat takjub melihat janin yang masih sangat kecil di dalam perut Cella pada layar monitor. “Cell, kemungkinan besar bayimu kembar,” beri tahu Cindy sambil memerhatikan janin Cella di layar monitornya. “Apa?” Icha terkejut dan memastikan pendengarannya, sedangkan Cella tidak memercayai penyampaian Cindy. “Tapi ini baru asumsiku berdasarkan hasil pemeriksaan. Untuk lebih jelasnya kita pastikan di pemeriksaan selanjutnya,” Cindy menjelaskan asumsinya. Walau belum mengetahui kepastiannya, tapi Cella telah menitikkan air mata. Jika asumsi tersebut benar adanya, dia tidak menyangka mendapat anugerah yang luar biasa dari Tuhan. “Dok, apakah jenis kelaminnya sudah diketahui?” celetuk Icha antusias. Cindy terkekeh mendengar keantusiasan Icha. “Belum, Cha.” “Tapi, Cell, ada hal serius yang harus kamu ketahui.” Raut serius wajah Cindy membuat Cella dan Icha mengerutkan kening. Cella bangun dibantu Icha seusai diperiksa, sedangkan Cindy sudah lebih dulu kembali pada tempatnya. Cella dirundung rasa penasaran, menanti kabar yang akan disampaikan Cindy mengenai kehamilannya. “Cindy, bayiku baik-baik saja?” tanya Cella dengan khawatir. “Jangan panik, Cell. Tenanglah,” ujar Icha menenangkan. Setelah mengembuskan napas, dengan terpaksa Cindy memberitahukan sebuah kenyataan mengenai kondisi kandungan Cella. “Kondisi rahimmu lemah, Cell. Pada kehamilan tunggal saja sangat berisiko memicu terjadinya keguguran, apalagi jika benar kamu mengandung bayi kembar. Risikonya pasti jauh lebih tinggi. Aku sarankan, kamu jangan terlalu banyak pikiran dan kelelahan. Kamu harus selalu mengkonsumsi makanan sehat, Cell,” Cindy menjelaskannya dengan lembut. “Keadaan bayimu juga kurang bagus, Cell,” Cindy menambahkan dengan sedih. Air mata Cella sudah menetes saat mengetahui keadaan anaknya yang memprihatinkan, Icha pun ikut terkejut mendengarnya. “Apakah anakku bisa bertahan sampai tiba waktunya dia lahir?” tanya Cella berurai air mata. “Tenang, Cell. Aku akan memberimu vitamin dan penguat rahim. Asal kamu menuruti yang tadi aku katakan, atas kuasa Tuhan anakmu akan lahir ke dunia dengan selamat,” Cindy menenangkan kekhawatiran Cella dan didukung Icha. “Satu lagi, s**u untuk ibu hamil juga wajib kamu minum untuk membantu asupan gizi bayimu,” Cindy melanjutkan. “Iya. Demi membuatnya sehat, apa pun akan aku konsumsi,” jawab Cella penuh tekad. “Bertahanlah, Nak, hanya kamu yang Mommy punya. Tuhan, kuatkanlah anakku agar bisa terlahir dengan sehat dan selamat,” doa Cella dalam hati sambil mengelus perutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN