Chapter 10

1293 Kata
Jika tadi rongga d**a Cella seperti menyempit dan rasa sesak memenuhinya, kini dia merasakan detak jantungnya terhenti sejenak karena sangat terkejut mendengar perkataan Albert. Meski cepat atau lambat yang didengarnya pasti terjadi, tapi dia tidak menyangka akan secepat ini. Dengan bersusah payah, dia mencoba bersikap setenang mungkin dan terkesan tidak terpengaruh oleh pemberitahuan menyakitkan sang suami. Setelah melihat reaksi Cella, Albert pun tanpa membuang waktu kembali melanjutkan perkataannya, “Mengenai nasib anak itu, kamu tenang saja. Semua kebutuhannya akan tetap aku tanggung dan hak asuhnya pun sepenuhnya berada di tanganmu. Hanya itu hal penting yang perlu aku sampaikan padamu.” Karena reaksi Cella tidak ada perubahan, akhirnya Albert berdiri dan ingin meninggalkan perempuan yang kini sedang mengandung benih miliknya tersebut. Saat hendak melangkah, suara Cella yang sedikit bergetar menghentikan niatnya. “Aku tidak keberatan dengan keputusan dan tindakanmu kelak, lagi pula itu adalah hakmu sepenuhnya. Namun, sebelum hari itu tiba aku mempunyai satu permintaan padamu,” Cella mengajukan permintaannya dengan nada tenang dan penuh keberanian. Albert menoleh ke belakang, tepat saat itu dia melihat Cella sedang menghapus dengan cepat air matanya yang menetes. “Apa? Katakanlah,” pintanya datar. Cella memejamkan mata untuk menghalau rasa sesak yang kian mengimpit dadanya. “Selama masih mengandung dan berstatus sebagai istrimu, aku ingin anak ini mendapat perhatian penuh dari ayahnya.” Albert berpikir dan menimbang sejenak permintaan yang diajukan Cella. ”Walau bagaimanapun anak itu tetap darah dagingku sendiri,” pikirnya. “Baiklah. Hanya demi bayi itu,” jawabnya pada akhirnya. Usai menyanggupi permintaan Cella, dia pun kembali melanjutkan langkahnya keluar dari apartemen. Setelah mendengar pintu apartemen tertutup, Cella menangis tersedu-sedu. Dia menumpahkan semua sesak yang tadi mengimpit rongga dadanya. “Tuhan, kenapa hidupku seperti ini? Bagaimana dengan nasib anakku kelak?” jeritnya di sela-sela tangisnya. Tiba-tiba perut Cella diserang mual dan kepalanya terasa sangat pusing. Dengan tertatih-tatih dia meraih ponsel yang diletakkan di ruang tengah. Dia segera menghubungi Icha dan menyuruh sahabatnya itu untuk datang ke tempatnya. *** Albert memijat pelipisnya saat sudah berada di dalam Porsche putih miliknya. Setelah keluar dari apartemen, dia langsung menghubungi Audrey. Sesuai perkiraannya, wanita itu sangat senang mendengar kabar darinya dan menghujaninya dengan ungkapan sayang penuh kemesraan. Akan tetapi di sudut hatinya yang lain, Albert merasa sudah sangat jahat atas tindakannya terhadap Cella. Bahkan, kepada calon anaknya sendiri yang belum menatap dunia. Tidak mau rasa iba berkelebat terlalu lama dalam benaknya, dia bergegas meninggalkan basement dan kembali ke kantornya. Dia akan melanjutkan pekerjaannya yang tertunda, agar nanti bisa makan malam bersama Cindy sesuai janjinya tadi pagi. *** “Aunty, apa tidak sebaiknya kita bawa Cella ke rumah sakit?” Icha bertanya kepada Keira yang masih memeluk Cella. Keira melihat sebentar anak malang di dalam pelukannya. “Nak, sebaiknya kita ke rumah sakit ya. Biar Aunty dan Icha yang mengantarmu,” bujuknya sambil menghapus air mata Cella yang terus saja membasahi pipi pucat anak malang tersebut. “Cell, jangan keras kepala. Ingat kondisimu dan bayimu,” Icha mengingatkan setelah melihat Cella menggelengkan kepala. “Aku tidak mau, Cha,” tolak Cella lemah dan parau. Keira hanya bisa menghela napas. “Kalau kamu tidak mau kami bawa ke rumah sakit, jadi berhentilah menangis,” pintanya dengan lembut. “Apakah perutmu masih mual?” tanyanya sambil mengelus perut Cella. Cella menggeleng pelan. Lambat laun kedua matanya mulai terpejam, hingga akhirnya embusan napasnya pun telah terdengar teratur. “Dia tertidur,” beri tahu Icha pelan kepada Keira. Dia memerhatikan Cella dan menyingkirkan helaian rambut di pipi sahabatnya yang basah tersebut. “Pasti karena dia lelah menangis,” sahut Keira yang sesekali mengecup kening Cella. Icha menatap lekat Cella. Pikirannya mengingat tadi saat sang sahabat menghubunginya dengan suara penuh kesakitan dan memintanya agar segera datang. Saat Cella menghubunginya tadi, Icha bersama Keira sedang membeli bahan kue di supermarket yang jaraknya tidak terlalu jauh dari apartemen sang sahabat. Setelah Icha menerima panggilan dari Cella, mereka langsung menuju tempat tinggal sahabatnya tersebut. Sesampainya di depan apartemen, Icha mengetuk pintu dengan tergesa-gesa. Saat pintu terbuka, alangkah terkejutnya mereka melihat keadaan Cella. Mereka segera masuk setelah pintu terbuka sempurna dan mendudukkan Cella di sofa. Keira tanpa diperintah langsung membuat teh mint ketika melihat Cella mual-mual. Setelah itu, mereka membaringkan Cella di sofa agar pusing yang mendera kepala sahabatnya tersebut segera mereda. *** “Masih pusing, Cell?” tanya Icha saat melihat Cella yang berbaring di sofa telah membuka mata. “Sedikit. Jam berapa sekarang, Cha?” Cella bertanya dengan nada serak. “Aunty ke mana?” Dia duduk dan memerhatikan sekeliling ruangan. “Sekarang jam empat sore, Cell. Beliau bilang ingin membeli biskuit asin untuk mengantisipasi rasa mualmu,” Icha menjawab sambil duduk di samping Cella. “Maafkan aku karena selalu merepotkan kalian,” pinta Cella lirih. Dia menyandarkan kembali kepalanya pada sofa. “Tidak apa-apa, Cell. Mau minum?” Icha menawarkan. Setelah Cella mengangguk, Icha meraih gelas yang berisi air putih di atas meja dan membantu sahabatnya minum. Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian mereka. “Cha, tolong buka pintunya,” suruhnya. Icha masuk diikuti Keira yang membawa beberapa bungkus kantong plastik. “Sudah bangun, Sayang?” Keira menghampiri Cella yang duduk sambil menyandarkan kepala. Cella mengangguk. “Aunty, bawa apa?” tanyanya setelah melihat salah satu bungkusan berwarna putih. “Ini biskuit asin yang akan membantu mengurangi mualmu,” jawab Keira sambil membelai rambut Cella yang kusut. “Kamu mau makan apa, Nak? Biar Aunty buatkan,” tanyanya lembut. “Apa saja boleh, Aunty. Kebetulan aku juga sudah lapar,” jawab Cella sedikit malu. Menangis tadi membuat perutnya kini terasa sangat lapar. “Aunty, aku mau omelet,” celetuk Icha yang lagi serius menonton televisi. “Aunty tidak bertanya padamu, Sayang,” tegur Keira sambil terkekeh. Cella tersenyum tipis melihat wajah Icha yang ditekuk karena Keira menegurnya, sedangkan wanita seumuran ibunya itu hanya menggelengkan kepala melihat tingkah sang anak angkat. “Nanti Aunty buatkan untukmu, Cha. Namun, sekarang antar dulu Cella membasuh wajahnya agar terlihat lebih segar,” pinta Keira sebelum menuju dapur. Dengan cekatan Keira menyiapkan menu makan malam untuk mereka nikmati bersama. Setelah masakan terhidang, Cella pun sudah terlihat lebih segar usai dibantu Icha membersihkan diri. Kini mereka bertiga menikmati makan malam lebih awal dari biasanya dan suasana saat ini seperti tidak sedang terjadi sesuatu. Sebenarnya Icha atau Keira ingin menanyakan kejadian sebelumnya kepada Cella yang membuat keadaannya sangat memprihatinkan seperti sekarang. Namun, mereka sadar kalau saat ini bukanlah waktu yang tepat. Mereka yakin jika sudah waktunya, Cella sendiri pasti akan menceritakannya tanpa diminta. Terpenting sekarang adalah membantu mengembalikan mood Cella menjadi lebih baik, supaya hal buruk tidak memengaruhi janin di dalam perutnya. *** “Cell, benarkah kamu tidak apa-apa jika kami pulang?” Icha masih khawatir dengan keadaan Cella. “Iya. Aku sekarang sudah merasa jauh lebih baik, Cha,” Cella meyakinkan Icha dan Keira saat dia mengantar keluar apartemen. “Baiklah. Aunty harap apa pun yang menjadi masalahmu, kamu bisa menyelesaikannya dengan kepala dingin. Jangan egois. Utamakan kesehatanmu dan anakmu,” Keira menasihati Cella dengan penuh keibuan. “Cucuku, kamu harus menjaga Mommy ya,” ucap Keira tepat di depan perut Cella dan mengelusnya. Cella kembali menitikkan air mata, sedangkan Icha ikut terharu melihat pemandangan di depannya. “Cell, jika ada apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungiku.” Icha memeluk Cella, begitu pun dengan Keira. “Iya.” Cella melepaskan pelukannya. Dia melambaikan tangan setelah Icha dan Keira menjauh. *** Di lain tempat, Albert masih setia menyelesaikan sisa pekerjaannya. Rencananya, setelah selesai dia akan langsung menuju tempat makan malam yang sudah disepakatinya bersama Cindy. Albert tadi sempat kehilangan konsentrasi dan kefokusannya terpecah saat menyelesaikan pekerjaannya setelah kembali dari apartemen, sehingga dia keluar kantor untuk menjernihkan pikirannya sebentar. Oleh karena itu, saat ini dirinya masih berkutat dengan berbagai berkas yang harus diperiksa dan ditandatangani. Dia tidak memungkiri bayangan wajah Cella berhasil memporak-porandakan konsentrasinya.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN