PART. 5 PERGI KE JAKARTA

1145 Kata
Setelah Erwan, dan kedua orang tuanya pergi. "Bagaimana ini, Pak?" "Jujur saja, Bu. Aku juga sebenarnya punya niat untuk cepat menikahkan Vania. Usiaku sudah tua, selain itu penyakitku juga nantinya akan sulit kita sembunyikan dari Vania." "Bapak, kenapa kita tidak jujur saja pada Vania tentang penyakit, Bapak?" "Aku tidak ingin membuat Vania sedih, Bu. Kasihan dia. Usiaku juga sudah tua, dengan atau tanpa penyakit itu, toh aku bakal mati juga." "Bapak ...." "Aku takut tidak sempat menikahkan Vania nantinya. Berharap pada keluarga lain sulit, Bu. Aku tidak ingin mengganggu kehidupan mereka." "Ibu terserah Bapak saja, apapun yang menurut Bapak baik, lakukan saja. Ibu percaya sepenuhnya pada Bapak." "Terima kasih, Bu. Kita memang butuh keluarga baik seperti keluarga Elma untuk menjadi mertua Vania. Kita sama-sama tahu, bagaimana putri kita. Perlu sabar yang luar biasa untuk menghadapinya." "Iya, Pak." * Vania duduk di kursi yang ada di dalam kamar orang tuanya. Ada kedua orang tuanya duduk di tepi ranjang di hadapannya. "Ada apa, Pak, Bu? Nia ada berbuat salah ya?" Tanya Vania, dengan mata berkaca-kaca, karena rasa takutnya. Ia takut orang tuanya tahu, kalau Erwan sudah menciumnya. Tanpa disadari Vania memegangi perutnya. "Tidak, Sayang. Bapak, dan Ibu cuma ingin menanyakan sesuatu kepadamu," Bu Tia menatap wajah putrinya. Vania adalah keajaiban dalam hidupnya. Meski Vania sedikit lambat dalam berpikir. Karena hal itu, Vania tinggal kelas. Sehingga, diusianya yang mendekati sembilan belas tahun, Vania baru akan masuk SMA. "Tanya apa Bu?" Hati Vania semakin cemas, dan takut sehingga membuat dahi, dan tangannya berkeringat. "Kamu suka tidak dengan Bang Erwan?" Tanya Pak Hari dengan suara lembut. Terbayang wajah Erwan yang menyebutnya imut mirip marmut, hampir saja Vania menggelengkan kepala. Tapi, teringat ciuman di tepi sungai, membuat Vania langsung menganggukkan kepala. "Nia ingin sekolah di kota?" Tanya Pak Hari lagi. Kepala Vania kembali mengangguk. "Kalau Nia ingin sekolah di sana, itu artinya Nia akan tinggal di rumah orang tua Bang Erwan, Nia mau tinggal di sana?" Vania kembali mengangguk untuk menjawab pertanyaan Bapaknya. "Kalau Nia tinggal di sana, Bapak, dan Ibu tidak bisa menjaga Nia, orang tua Bang Erwan, dan Bang Erwan yang akan menjaga Nia." Vania mengangguk lagi mendengar perkataan Bapaknya. Ibunya merasakan ada yang aneh pada diri Vania. Vania tidak seperti biasanya, ia selalu banyak bertanya, dalam menanggapi sesuatu. Karena daya serapnya yang kurang akan maksud yang dibicarakan. "Jadi begini, Sayang, menurut Bang Ervan lebih mudah baginya menjagamu kalau kalian sudah ... meniķah." Pak Hari mengamati raut wajah anaknya dengan seksama. Vania menganggukan kepala lagi, membuat kedua orang tuanya merasa heran. Pak Hari, dan Bu Tia saling pandang. "Nia setuju menikah dengan Bang Erwan?" Tanya Bu Tia masih tidak percaya. "Iya," jawab Vania akhirnya bersuara juga, telapak tangannya lekat menempel di atas perut. Takut kalau orang tuanya tahu apa yang sudah terjadi antara dirinya dengan Erwan pagi tadi. "Nia benar-benar setuju, dinikahkan sama Bang Erwan?" Tanya Bu Tia masih tidak yakin akan jawaban Vania. "Iya." Vania menganggukan kepala. Kedua orang tuanya menarik nafas panjang. Mata Pak Hari, dan Bu Tia, kembali saling pandang. "Kenapa Nia mau menikah dengan Bang Erwan?" Tanya Bu Tia menyelidik kepada Putrinya. Wajah Vania memerah mengingat ciuman di tepi sungai tadi pagi. Tapi ia tahu, tidak mungkin menceritakan tentang hal itu kepada orang tuanya. Orang tuanya, terutama Ibunya pasti akan sangat sedih, karena waktu Rumi ketahuan hamil saja, Ibunya menangis akibat sangat kasihan pada Rumi, apa lagi kalau tahu dirinya begitu. Bu Tia kembali saling pandang dengan suaminya. "Nia suka sama Bang Erwan?" Tanya Bu Tia. Vania menganggukan kepala dengan wajah merah padam. "Hhhhh, jadi Nia setuju menikah dengan Bang Erwan sekarang?" Bu Tia bertanya untuk lebih yakin lagi. Vania kembali menganggukan kepala. "Ya sudah, kalau begitu, sekarang Nia kembali ke kamar ya, Bapak, dan Ibu mau bicara berdua dulu," kata Pak Hari dengan suara lembut. "Iya," sahut Vania, lalu cepat beranjak dari kursinya. Setelah Vania ke luar dari kamar mereka. "Nia kok kelihatan beda ya Pak." "Iya Bu, apa karena dia sedang jatuh cinta mungkin ya Bu, jadi lebih banyak diam begitu." Pak Hari ternyata juga menyadari sikap putrinya yang tidak biasa. "Mungkin juga Pak." "Hhhhh ...." "Bagaimana jadinya ini, Pak?" Tanya Bu Tia kepada suaminya. "Aku kira kita hanya bisa menikahkan mereka secara diam-diam saja, karena Vania masih harus sekolah, Bu. Aku sendiri yang akan menikahkan mereka nanti, dan cukup dihadiri keluarga terdekat saja, Bu." "Ibu terserah Bapak saja." "Ibu sudah siap ditinggalkan Vania?" "Aku sudah belajar menyiapkan diri, untuk ditinggalkan Vania, Pak. Aku sadar, hidup seorang anak, tidak akan bisa jadi milik kita selamanya. Suatu saat anak pasti akan meninggalkan kita, untuk membangun hidup mereka sendiri," sahut Bu Tia dengan mata berkaca-kaca. "Ibu benar, saat hidup seorang anak jadi milik dia sendiri, hanya doa terbaiklah yang bisa kita berikan untuk anak kita." "Iya Pak, dan kita akan kembali hidup seperti saat baru menikah dulu. hanya berdua saja," Bu Tia yang pipinya sudah basah oleh air mata menatap wajah suaminya. Pak Hari memeluk bahu istrinya, dikecup kepala Bu Tia mesra. "Iya Bu, kita tinggal menunggu saat di mana Allah menjemput kita," kata Pak Hari lirih. "Semoga kita masih diberi waktu untuk bisa melihat anak-anak Nia ya, Pak, aamiin," doa Bu Tia. "Aamiin, Bu, tapi Bapak berharap, Nia bisa selesai dulu sekolahnya baru punya anak." "Itu harapan Ibu juga, Pak." "Hhhh, tidak disangka ya Bu, Nia kecil kita yang masih manja sudah tahu jatuh cinta." Bu Tia tertawa dengan mata berkaca-kaca. "Ehmm Bapak lupa ya, dulu waktu kita nikah Ibu juga masih seusia Vania." "Hehehehe, iya benar." "Ehmm jadi ingat masa lalu ya Pak." "Iya, banyak yang sudah berubah ya Bu, tapi cinta kita masih tetap sama iya kan?" "Iya Pak," Bu Tia menyandarkan kepalanya di bahu Pak Hari. Senyum terukir di bibir mereka. Meskipun kecemasan itu ada karena menikahkan Vania diusia muda, tapi mereka berusaha untuk percaya kalau Vania akan baik-baik saja. * Sehari setelah dinikahkan, Vania ikut pulang ke Jakarta bersama Erwan, dan kedua orang tuanya. Sempat terjadi banjir air mata, saat Vania berpamitan kepada Bapak, dan Ibunya. Bu Tia memeluk Vania dengan erat, dan membisikan pesan untuk putrinya. Begitu pula dengan Pak Hari, dibawa Vania duduk di atas pangkuannya. Dielus sayang kepala putri tunggalnya. Dihapus air mata Vania yang menangis sesunggukan di dadanya. "Sekolah yang rajin ya, Sayang, harus nurut sama Ayah, Bunda, dan Bang Erwan, kalau ada kesempatan, Bapak, dan Ibu pasti akan datang untuk mengunjungimu." "Huuhuuu, nanti Nia minta pangku siapa Pak?" isak Vania. "Nia bisa minta pangku Abang, kalau Nia mau," sahut Erwan. Membuat mata Bu Elma, Bundanya melotot ke arahnya, seakan menegur Erwan karena ucapan Erwan barusan. Erwan hanya nyengir saja menerima pelototan Bundanya. "Tuh Bang Erwan katanya bersedia menggantikan Bapak memangku kamu, paha Bang Erwan pasti lebih kuat dari paha Bapak." Vania melirik Erwan dengan tatapan sengit. Ia merasa perpisahan dengan orang tuanya, karena Erwanlah penyebabnya. Meski berat berpisah dengan orang tuanya, tapi Vania harus pergi meninggalkan mereka. Ia ingin sekolah di Jakarta seperti impiannya. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN