Selesai sarapan, Erwan meminjam sepeda milik sepupunya. Dengan stelan training olahraga warna biru tua, ia berkeliling desa dengan bersepeda.
Erwan melihat Vania sedang berlari-lari kecil di halaman rumahnya.
Trining olahraga warna biru muda menempel pas di tubuh Vania.
Rambut panjangnya yang dikuncir dua bergoyang-goyang lucu, seirama dengan gerak tubuhnya.
Kedua orang tua Vania, duduk di kursi yang ada di teras rumah mereka. Erwan meletakan sepeda dengan menyandarkan di pagar rumah, yang dirambati tanaman lamtoro, dan daun simbo'an (biasanya lamtoro, dan daun simbo'an dipakai untuk membuat boto').
Aroma semerbak bau bunga kopi dari beberapa batang pohon kopi di samping rumah Pak Hari, semakin membuat udara pagi terasa nyaman untuk dinikmati.
Erwan tahu itu aroma bunga kopi, karena di samping rumah kakeknya sendiri juga ada tanaman kopi.
"Assalamualaikum, Pak, Bu, selamat pagi." Erwan menyalami keduanya, dan mencium punggung tangan mereka.
"Waalaikumsalam," sahut Pak Hari, dan Bu Tia.
"Mau ke mana, Wan?" Tanya Bu Tia.
"Mau jalan-jalan saja Bu. Ehmmm, kalau boleh saya minta ijin, mengajak Nia jalan-jalan, ehmm biar saya tidak nyasar begitu," kata Erwan sopan.
Pak Hari, dan Bu Tia saling pandang, keduanya mengukir senyuman di bibir mereka.
"Kamu tidak mungkin nyasar di sini, Wan, tapi kalau kamu mau jalan-jalan ditemani Nia, boleh saja. Nia, sini Nak!" Pak Hari melambaikan tangan ke arah Nia.
"Ya, Pak " Nia mendekat, ditatap Erwan dengan pandangan penuh permusuhan. Vania masih kesal, karena Erwan meledeknya mirip marmut.
"Bang Erwan ingin jalan-jalan keliling desa, kamu temani ya, supaya dia tidak nyasar," kata Pak Hari.
"Nyasar! mana mungkin nyasar, Pak!"
"Bapak tahu, tapi Bang Erwan inikan tamu di desa kita, jadi bersikaplah baik kepadanya, temani dia ya sayang," bujuk Pak Hari.
"Hhh, iya, iya, Nia ambil sepeda Nia dulu."
"Eeh, enggak usah, aku bonceng saja!" cegah Erwan dengan cepat.
"Iya, dibonceng Bang Erwan saja, sepedamu'kan ban dalamnya bocor, belum sempat ditambal." Bu Tia mengingatkan Vania.
"Iya, Nia pergi dulu ya, Pak, Bu." Vania menyalami kedua orang tuanya, diikuti Erwan juga.
"Assalamualaikum," pamit keduanya.
"Waalaikum salam," sahut Pak Hari, dan Bu Tia.
Erwan duduk disadel sepeda, sementara Vania duduk di boncengan.
"Pegangan!" perintah Erwan, setelah sepeda dikayuh beberapa waktu, tapi Vania tidak berpegangan di pinggangnya.
"Pegangan, nanti kamu jatuh!" perintah Erwan lagi.
"Aku sudah pegangan di bawah sadel sepeda Abang!" sahut Vania dengan nada kesal.
Erwan menghentikan kayuhan sepedanya.
"Pegangannya di pinggang, atau di perutku Nia!" nada suara Erwan mulai terdengar gusar.
"Enggak mau!" Sahut Vania ketus.
"Kenapa enggak mau, kalau kamu jatuh nanti bagaimana?"
"Aku bilang, aku sudah pegangan, jadi enggak akan jatuh!" Seru Vania masih bernada ketus.
"Hhhh, terserah kamu. Sekarang kita mau ke mana?"
"Kenapa tanya aku, yang ingin jalan-jalankan Abang?"
"Iya, memang aku yang ingin jalan-jalan, tapi aku kan tamu di desa ini, jadi mana aku tahu tempat yang indah untuk didatangi di sini."
"Kita ke sungai saja," sahut Vania akhirnya.
"Lewat mana?" Tanya Erwan.
"Belok kiri di simpang tiga di depan," tunjuk Vania.
Erwan mengayuh sepeda ke arah yang sesuai ditunjukan Vania. Mereka tiba di tepi sungai dengan air yang sangat jernih, dan banyak bebatuan besar di tepiannya.
Di hadapan mereka, tampak indahnya pegenungan yang berwarna hijau.
Vania duduk disalah satu batu besar dengan permukaan datar.
Batu ini berada di tepi sungai, dengan pohon rambutan tumbuh di dekatnya, sehingga hawa sejuk sangat terasa.
"Tante Nia"
"Apa?" Sahut Nia dengan mata melotot karena dipanggil Tante.
"Rambutannya boleh dipetik nggak?" Erwan menunjuk ke arah buah rambutan yang banyak bergelantungan.
"Ehmm boleh, tuh di sana ada galah!" Vania menunjuk ke arah sebatang bambu yang bersandar dibatang pohon rambutan itu.
Erwan mengambil galah yang ujung nya ada bambu kecil menyilang.
Erwan mengangkat galah itu, dan mulai memetik rambutan dengan memutar galah di tangannya agar bambu kecil yang menyilang di ujung galah bisa menarik tangkai rambutan.
Galah seperti ini juga ada di rumah Kakeknya, biasanya dipakai untuk memetik buah nangka, atau pepaya.
Cuma kalau di rumah Kakeknya, ujung galah dipasangi pisau, bukan bambu kecil.
Vania memunguti rambutan yang dipetik Erwan, dan mengumpulkannya di atas batu yang tadi diduduki.
"Sudah, jangan terlalu banyak, secukupnya buat kita makan berdua saja," kata Vania.
Erwan menurut, ia berhenti memetik buah rambutan.
"Kembalikan galahnya ke tempat tadi, di mana Abang mengambilnya," Nia mengingatkan. Erwan kembali menuruti perintah Nia.
Mereka berdua duduk di atas batu datar yang sudah ada banyak rambutan di atasnya. Erwan memakan satu rambuatan, dan melemparkan kulitnya ke sungai.
Mata Vania melotot.
"Jangan buang sampah sembarangan, apa lagi ke dalam sungai!" Semprot Vania gusar.
"Kenapa?"
"Kenapa? Katanya orang kota pintar-pintar, tapi kenapa tidak tahu kalau buang sampah sembarangan itu tidak baik, apa lagi buang sampahnya disungai. Oooh iya aku lupa, Jakarta kan sering kebanjiran ya, itu pasti karena orang-orang seperti Abang yang suka buang sampah sembarangan di sungai, iya kan?"
Erwan tertawa dengan nyaring.
"Eeh dengar ya Tante Nia, rumahku itu tidak pernah kebanjiran, rumahku jauh dari sungai, jadi bagaimana mungkin aku buang sampah ke dalam sungai. Lagi pula di rumahku ada bibik, dan mamang yang biasa membersihkan sampah. Dan, ini bukan sampah plastik, cuma kulit rambutan!"
"Eeh Abang songong dengar ya, meskipun rumahmu tidak pernah kebanjiran, tapi kalau kamu buang sampah sembarangan, maka orang lainlah yang merasakan akibatnya. Iiih, dasar tidak punya perasaan!"
"Hhhh, iya Tante Niaaa, aku mengertiiii, okee.... " sahut Erwan yang tidak mau suasana indah pagi harinya jadi rusak, karena berdebat dengan Vania soal sampah.
"Kamu sering ke sini ya, Nia?"
"Kalau lagi musim rambutan begini, hampir tiap hari sepulang dari sekolah, aku, dan teman-temanku mampir ke sini," jawab Vania.
"Metik rambutan ini?"
"Hmmm."
"Kok buahnya masih banyak?"
"Pohon ini milik umum, selama masih musim buah akan terus berbuah tanpa berhenti, sampai waktu musim buah berakhir. Kalau masa rambutan habis, kami bisa memetik buah lainnya yang banyak tumbuh di sepanjang sungai ini."
"Ooh, siapa yang menanam pohon-pohon buah ini ya Nia?"
"Tidak ada yang tahu siapa yang menanamnya, karena itulah siapa saja boleh memetik, dan memakannya sepuas yang dia mau," sahut Vania sambil mengunyah rambutannya, kulit, dan bijinya, ia kumpulkan di dekat kaki, Erwan pun meletakan sampah biji, dan kulit rambutan ditempat yang sama.
"Nia .... "
"Apa?" Vania menolehkan kepala.
"Kamu sudah punya pacar?" Tanya Erwan.
"Pacar?"
"Tahu pacarkan?"
"Hmmm," Vania menganggukkan kepala.
"Kamu sudah punya?" Tanya Erwan dengan mata melotot, karena menganggap anggukan Vania sebagai jawaban, kalau Vania sudah punya pacar.
"Aku tidak bilang sudah punya, Ibu bilang, aku tidak boleh dekat-dekat cowok. Eeeh, tapi kok Ibu tidak melarangku dekat-dekat Abang ya?" Vania menggaruk kepalanya sendiri.
"Kenapa dilarang Ibu dekat-dekat Cowok?"
"Kata Ibu, nanti aku bisa seperti Rumi kalau tidak hati-hati."
"Rumi siapa? Ada apa dengan Rumi?"
"Rumi itu teman sekolahku, dia ... dia hamil, karena di cium Mas Narji. Terus Mas Narji kabur ke kota."
"Dicium bisa hamil?" Erwan berusaha menahan tawa yang hampir pecah, saat melihat kepala Vania mengangguk.
*