Kesadarannya sepertinya mulai kembali. Perlahan telinga gadis itu menangkap suara-suara yang ada di sekitarnya. Suara gadis-gadis yang tengah berbincang, tetapi terasa asing bagi Aurora. Aurora tak merasa mengenali suara-suara itu.
Aurora mencoba membuka matanya yang terasa sangat berat. Bahkan kepalanya terasa sangat sakit, terasa menusuk-nusuk. Bukan itu saja, tenggorokannya terasa begitu kering, ia merasa sangat dahaga. Seolah telah setahun lamanya ia tidak meneguk air barang setetes pun.
Aurora belum mengingat apa pun yang terjadi padanya. Yang ia ketahui ia hanya merasakan lelah, seluruh tubuhnya juga terasa sangat sakit.
"Uhhh!" Tanpa sadar gadis itu membalikkan badannya, ingin telentang. Karena tubuhnya terasa pegal semua akibat terlalu lama tidur dengan posisi tengkurap.
"Ehh ... jangan!!" seru empat gadis yang asyik mengobrol itu serentak. Mereka dengan cepat menghampiri Aurora. Membuat gadis itu sangat terkejut. Terlambat, gadis malang itu terlanjur telentang dan kini ia merasakan kesakitan di seluruh bagian punggungnya yang terluka.
"Shhh!" desis gadis itu saat merasakan punggungnya seperti ditusuk-tusuk.
"Sudah Kami bilang, Kamu tidak boleh telentang! Ini akibatnya kalau Kamu tetap melakukannya," omel seorang gadis manis pada Aurora seraya membantu memperbaiki posisi tidur gadis itu.
Kapan mereka bilang tidak boleh? Mereka hanya berkata jangan. Jadi aku mana tahu maksud mereka, ucap Aurora dalam hati.
"Apakah sakit sekali?" tanya gadis yang berwajah lebih dewasa itu setelah Aurora kembali tengkurap. Gadis itu meringis, seolah dapat merasakan kesakitan yang Aurora rasakan.
Aurora tersenyum lalu menggeleng lemah. "Hanya sedikit saja!"
"Syukurlah, akhirnya Kamu sadarkan diri. Bella! Panggil putra mahkota, cepat!" perintah salah seorang dari mereka. Gadis yang bernama Bella itu pun segera berlari mencari putra mahkota entah ke mana.
"Aku ada di mana?" tanya Aurora dengan suara yang sangat lirih, begitu lemah. Ia benar-benar kehilangan tenaga.
"Kamu ada di kediaman putra mahkota. Dia yang menyelamatkanmu dari penjara bawah tanah. Entah apa yang akan terjadi jika putra mahkota tidak menolongmu," ucap gadis itu seraya menata bantal bulu di belakang kepala Aurora agar gadis itu lebih nyaman.
"Apa? Putra mahkota?" tanya Aurora. Gadis itu mencoba mengingat-ingat. Ia merasa dalam kondisi tidak sadarnya seperti mendengar suara Kai. Namun, apa yang dayang katakan setelah itu membuat Aurora kecewa. Karena rupanya putra mahkota yang menyelamatkan juga mengobatinya, bukan Kai. Kai, pria yang ia harapkan ternyata tidak datang.
"Iya, dia yang menyelamatkanmu dari ruang yang kotor itu. Menggendongmu kemari hingga kalian menjadi pusat perhatian, bahkan dia juga yang sudah mengobati lukamu ini," cerita dayang itu.
Ingatan Aurora kembali pada kejadian beberapa jam yang lalu. Di mana ia mencelakai sang ratu hingga diberi hukuman yang begitu berat dan menyakitkan. Setelah itu pandangannya gelap dan ia tidak mengingat apa pun.
"Si-siapa yang melepaskan pakaianku dan menggantinya dengan pakaian seperti ini?" tanya Aurora seraya menahan perasaan malu. Wajah Aurora mendadak berubah jadi merah merona.
"Kamu berharap apa? Berharap kalau putra mahkota yang mengganti, ya?" Sinis dayang itu bertanya. "Tapi sayangnya Kamu harus kecewa karena kami yang mengganti baju lusuhmu itu dan memakaikan pakaian ini. Mana mungkin putra mahkota mau mengganti bajumu."
"Maksud saya bukan begitu ... saya lega karena kalian yang mengganti bajuku."
Sungguh Aurora sebenarnya sangat malu dengan penampilannya saat ini. Seluruh punggungnya terbuka, hanya seutas tali kecil yang terikat di punggung dari sebuah penutup dadanya.
"Kamu diam saja. Jangan banyak bergerak. Jangan berani telentang lagi! Atau Kamu akan merasakan punggungmu rasanya seperti terbakar. Oh ya, kalau Kamu perlu apa-apa katakan saja, aku akan melakukannya untukmu," ucap dayang itu.
"Baik, Kak. Terima kasih," ucap Aurora. Hatinya menghangat saat mendapatkan perhatian.
"Kak? Aku bukan kakakmu!" jawab gadis itu ketus.
Aurora hanya tersenyum. Ia tahu wanita yang ada di hadapannya itu sebenarnya baik. Terbukti dari perhatian dayang itu padanya. Namun, mungkin memang sudah menjadi wataknya bahwasanya ia ketus seperti itu.
"Eum, lalu ... di mana putra mahkota berada?" tanya Aurora.
"Entahlah, aku juga tidak tahu. Beliau keluar sejak setengah jam yang lalu. Setelah ia mengobatimu. Tapi Kamu tidak perlu risau, seorang dayang telah pergi untuk memanggilnya."
"Hah? Jangan! Jangan biarkan putra mahkota kemari melihat aku berpakaian seperti ini," ucap Aurora panik.
"Kamu pikir siapa aku bisa menghentikan pemilik kamar ini, bahkan seluruh bagian istana ini adalah miliknya. Sangat tidak mungkin untuk melarangnya datang ke tempat yang ia mau," ucap dayang itu.
"Maksudnya, tidak perlu memanggilnya datang kemari," ucap Aurora dengan terbata-bata.
"Eum, tapi beliau sudah berpesan agar segera memanggilnya jika Kamu sadar."
Aurora menggigit bibir bawahnya. Di situasi yang biasa saja, ia tidak akan mempunyai nyali bertemu dengan calon raja di Nirvana itu. Apalagi saat ini penampilannya kacau begitu.
"Tapi, bukankah akan memalukan jika ia melihat penampilanku yang sekarang?" Gadis itu mencari alasan selogis mungkin agar putra mahkota tidak masuk ke dalam kamar itu.
"Yah, itu hak beliau mau melihatmu atau tidak. Beliau kan yang mengobati lukamu, jadi beliau sudah melihat penampilanmu yang sekarang ini. Beliau juga yang mengikat tali pakaianmu itu. Jadi Kamu tidak perlu malu. Lagipula ia tidak akan berselera melihat punggungmu yang mengerikan itu," ucap dayang itu.
"Putra mahkota melihat punggungku?"
"Iya, tentu saja. Aku kan sudah bilang tadi, dia yang menolongmu, dia yang membawamu kemari, dia juga yang mengobatimu tentu saja dia sudah melihat punggungmu yang mengerikan itu."
"Sungguh memalukan!" Aurora membenamkan wajahnya di bantal.
"Tenang saja, putra mahkota memang pria yang baik. Jadi tidak mungkin beliau akan berpikiran macam-macam. Jadi, Kamu tenang saja," ucap dayang itu lagi.
"Tetap saja ...."
"Sudah, berhenti mengkhawatirkan hal yang tidak perlu. Kalau Kamu tidak membutuhkan apa pun, aku akan keluar dari kamar ini."
"Eum, bisakah Kakak ambilkan aku minum? Sesungguhnya tenggorokanku rasanya sangat kering. Aku sangat haus," pinta Aurora.
"Ck! Iya iya!" Gadis itu lantas bangkit dari duduknya dan berjalan untuk mencari air. Setelah beberapa saat ia kembali dengan segelas air putih untuk Aurora. Wanita itu dengan sabar membantu Aurora untuk minum dengan posisi yang tidak menyenangkan seperti itu. Aurora bersyukur setidaknya, ia masih diberi kesempatan untuk menghirup udara di dunia ini.
***
"Kanda! Gaia tadi mendengar kabar yang tidak mengenakkan di pasar tentang putri kita. Semua orang membicarakannya, Kanda. Apa kabar itu benar, Kanda?" tanya Gaia dengan air mata yang bercucuran.
Wanita itu baru kembali dari pasar dengan wajah basah oleh air mata. Bahkan niatnya untuk berbelanja pupus seketika saat seluruh penduduk yang ada di pasar asyik membicarakan putrinya yang malang dan ketika pulang, Gaia langsung bertanya pada suaminya untuk menanyakan kebenarannya.
Pria itu terdiam, ia tidak menyangka kabar itu akan tersebar secepat itu. Hal yang sangat ia takutkan terjadi juga.
"Jawab, Kanda!" Gaia semakin keras menangis, membuat para putrinya datang melihat apa yang terjadi.
"Kembali ke kamar Kalian. Ayahanda dan ibunda harus membicarakan hal yang sangat penting," usir Athura saat mereka mencoba mendengarkan. Mereka terpaksa kembali ke kamar sebelum mendengar apa pun. Alora, Alodia dan Agni kembali dengan wajah cemberut, terpaksa menuruti perintah sang ayah.
"Tenanglah, Gaia. Jangan menangis seperti ini." Athura berusaha menenangkan istrinya yang semakin histeris.
"Bagaimana bisa aku tenang saat Kanda diam saja dan tidak mau menjelaskan?" rengek Gaia seperti anak kecil.
"Shhh! Tenanglah. Mari kita ke kamar kita untuk bicara." Athura merangkul pundak sang istri dan membawanya ke kamar mereka.
"Iya, Gaia. Putri kita memang sedang dirundung masalah. Tapi Kamu tolong tenanglah! Aku akan semakin pusing jika Kamu terus menangis," bujuk Athura.
"Oh, putri bungsuku yang malang." Sekuat tenaga, Gaia menahan agar tidak mengeluarkan air mata lagi. Meskipun begitu, sang netra berkhianat, terus saja mengalirkan bulir bening itu.
Inilah yang Athura khawatirkan jika sang istri tahu perihal apa yang Aurora alami di istana. Ia masih pusing memikirkan cara agar ia bisa masuk ke istana, kini bertambah pusing saat mendengar tangisan demi tangisan yang keluar dari bibir Gaia.
"Gaia, bersabarlah. Karena putri kita saat ini sudah aman. Baru saja Felix memberikan informasi jika putra mahkota telah menyelamatkan Rora-kita," ucap Athura dengan suara lirih.
"Ap-apa? Put-ra mahkota?"
"Iya, Gaia. Jadi tenanglah. Jika putri kita berada di bawah perlindungan putra mahkota, maka tidak ada yang perlu kita khawatirkan lagi." Athura memeluk istrinya agar wanita itu semakin tenang.
"Gaia, entah mengapa aku memiliki firasat," ucap Athura seraya memeluk Gaia erat-erat.
"Firasat apa, Kanda?" tanya Gaia seraya mendongak menatap netra suaminya dengan mata yang masih basah.
"Kamu ingat, tentang mimpiku yang dihujani emas saat Aurora lahir?" Wanita itu mengangguk. "Sepertinya anak gadismu itu yang memiliki garis kehidupan untuk menjadi seorang ratu," ucap Athura kemudian.
"La-lu bagaimana dengan Amayra?" Gaia bimbang. Di satu sisi ia akan bahagia jika Aurora menjadi seorang ratu, tetapi di sisi lain ia mencemaskan putri sulungnya. Karena ia tahu ambisi Amayra untuk menjadi ratu begitu besar.
"Gaia, seorang raja, seorang ratu itu dipilih oleh Tuhan. Lalu, kita bisa apa? Kita serahkan saja semua pada Tuhan. Segala sesuatu yang sudah ditakdirkannya pasti akan terjadi sekali pun kita menolaknya."