BAB 48

1307 Kata
Malam semakin larut, Aurora telah memejamkan matanya kembali. Gadis itu telah tertidur nyenyak. Mungkin ia kelelahan yang ia rasakan. Atau mungkin juga karena rasa nyaman yang ia rasakan setelah berpegangan tangan dengan Kai sebagai pengantar tidurnya. Dengan perlahan, Kai melepaskan tangannya yang masih bertaut dengan tangan gadis itu. Pria itu segera turun dari ranjangnya. Lalu pria itu pergi menyusul Thor yang duduk di teras seraya menatap bulan di langit sana. "Thor!" panggil Kai. Pria bernama Thor itu menggeser tubuhnya, meminta Kai duduk di sampingnya. Kai meletakkan bokongnya di samping Thor, duduk berdampingan dengan pria tersebut. "Kamu sangat gegabah!" ucap Thor tiba-tiba. "Apa maksudmu?" Kai pura-pura bertanya. Padahal ia sudah tahu apa yang sebenarnya Thor katakan. "Jangan pura-pura tidak tahu." Pria itu tersenyum kecil, masih menatap sang luna yang bersinar terang. "Aku melakukannya karena aku sangat mencintainya, Thor," ucap Kai mengaku. "Dia sangat berbeda dengan gadis yang lainnya." Thor tersenyum. "Aku tahu. Aku juga tahu kalau dia juga sangat mencintaimu. Hanya saja, aku tidak menyangka Kamu akan memberikan benda itu padanya." "Mungkin ini jawaban dari semua doaku, Thor. Semenjak mengenal dia, sisi buasku dapat aku kendalikan dengan mudah. Aku merasa dia adalah takdirku. Sekuat tenaga aku harus menjaga dan melindunginya," ucap Kai. "Baguslah. Tapi apa Kamu tidak menyesal menyerahkan mutiara itu padanya?" tanya Thor lagi. "Tidak, sama sekali tidak. Karena dia seribu kali lipat lebih penting dari mutiara itu. Lagipula, aku bisa mencari mutiara itu lagi nanti," jawab Kai. "Bagus, Nak! Sepertinya Kamu telah tumbuh dewasa," ucap pria berjanggut panjang itu seraya menepuk bahu muridnya. "Oh ya, dari yang aku tangkap, dia sepertinya tidak tahu identitasmu yang sebenarnya." "Kamu benar, Thor. Dia mencintai aku, sosok Kai yang tidak memiliki apa-apa ini. Bukan mencintai karena harta dan kekuasaan yang nantinya akan aku miliki." "Wah, sepertinya Kamu benar-benar sedang dilanda asmara ya?" "Jangan bicara hal kekanakan seperti itu, Thor." Kai tersipu malu karena ucapan gurunya. "Hahaha, Kamu begitu imut saat gugup seperti itu." "Aku sudah bilang jangan bicara lagi!" "Hahaha, iya iya, baiklah. Beristirahatlah masih ada waktu beberapa jam lagi hingga matahari terbit. Bukankah Kamu harus mengantarnya pulang?" *** Malam telah berlalu digantikan oleh sang fajar. Keadaan dua sejoli itu sudah membaik. Mereka berdua sudah pulih seperti sedia kala. Pagi itu mereka bangun dengan tubuh yang lebih segar. Sepertinya berkat ramuan yang Thor berikan. Hanya saja, Kai mungkin harus banyak bermeditasi untuk mengembalikan kekuatannya. Dua anak muda itu duduk di teras depan seraya menatap matahari yang mulai terbit dari ufuk timur. Keduanya hanya saling melempar senyum tanpa suara. Pasangan itu tampak malu-malu. Pasalnya keduanya tidur dengan saling berpegangan tangan semalaman penuh. "Ehem!" Thor datang dengan membawa baki berisi minuman hangat di tangannya mengejutkan pasangan itu. Keduanya yang semula duduk berdekatan langsung menarik diri dan saling menjauh. "Silakan diminum! Ini juga bermanfaat untuk mengembalikan tenaga kalian," ucap Thor. "Terima kasih, Tuan. Terima kasih banyak saya ucapkan. Mungkin selamanya saya tidak akan bisa membalas kebaikan Tuan. Bahkan segunung emas dan permata tidak akan cukup untuk membayarnya. Anda telah menyelamatkan nyawa saya dan Kai. Entah apa yang terjadi jika Anda tidak menolong kami. Berkat Anda, kini kami baik-baik saja," ucap Aurora dengan penuh haru. "Tidak perlu sungkan begitu, Nak. Aku senang melihat Kamu selamat dan baik-baik saja. Ah ya, harusnya dia yang minta maaf. Dia yang membawamu kemari, dia yang minta tolong untuk menyelamatkan kalian. Tapi dia tidak pernah sedikit pun berterima kasih padaku," sindir Thor. Kai kesal dan merasa Thor sangat menggangu hingga akhirnya pria itu buka suara. "Thor! Pergilah ke dapur masak masakan yang enak. Aku lapar sekali. Jangan mengganggu muda mudi yang sedang kasmaran," usir Kai. "Hahaha, baiklah. Aku akan pergi ke belakang." Pria itu lantas meninggalkan mereka berdua. "Terima kasih, Kai. Kamu menyelamatkan aku lagi," ucap Aurora tulus. "Tidak perlu berterima kasih. Karena kita bukan orang lain. Sebentar lagi kita akan bersatu. Kai adalah Aurora, Aurora adalah Kai," ucap pria itu. "Apa maksudmu?" tanya Aurora tidak paham. "Ah sudah lupakan saja. Nanti kita bicarakan lagi di waktu yang tepat. Rora, Kamu sudah melihat sendiri perlakuan buruk mereka. Bahkan mereka tega mencelakakanmu. Mereka ingin membunuhmu, Rora. Buka matamu! Jadi mulai hari ini Kamu tidak boleh lemah lagi. Balas dan lawan jika mereka berlaku jahat padamu," ucap Kai memotivasi kekasihnya. "Tapi Kai ... mereka adalah saudaraku," ucap gadis itu sedih. "Saudara tidak akan sanggup menyakiti saudaranya yang lainnya. Saudara akan melindungi saudaranya yang lain seperti nyawanya sendiri. Tapi apa yang mereka lakukan lebih mirip seperti binatang. Mereka bukan saudaramu lagi," ucap Kai. Mata hati gadis itu terbuka lebar. Ingatan tentang tawa Amayra dan Althea saat ia jatuh ke sungai terputar kembali di kepalanya. Membuat hatinya sakit seperti ditusuk dengan pedang yang sangat tajam. Ia mulai membenarkan ucapan Kai. Ia tidak boleh lemah dan tertindas lagi. "Baiklah, mulai saat ini aku tidak akan lemah lagi, Kai. Mata dibayar dengan mata. Telinga akan aku bayar dengan telinga. Aku akan mengembalikan semua yang mereka berikan kepadaku," ucap Aurora bertekad kuat. "Bagus, begitu baru pantas dipanggil Rora-ku. Kamu harus kuat, Ra. Karena di depan sana masih ada ribuan rintangan yang akan menghadang di kehidupan kita," ucap Kai memberi semangat. Gadis itu mengangguk, menyandarkan kepala di bahu kekasihnya dengan nyaman. Dengan d**a yang berdebar tidak karuan, Kai merangkul bahu kekasihnya. Hanya hal sederhana seperti ini, tapi mampu membuat pria itu sangat bahagia. Tentu saja, gadis itu juga merasakan hal yang sama. *** "Mana Aurora?" tanya Athura saat melihat kursi gadis itu kosong tak berpenghuni. Ruang makan itu senyap, tak seorang pun berani menjawab pertanyaan Athura. Semuanya membisu dengan kepala tertunduk dalam-dalam. "Kalian punya mulut, kan? Kenapa tidak menjawab? Di mana adik kalian?" tanya pria itu lagi. "Ayahanda ... sebenarnya ...." Amayra bingung harus menjawab apa. Jika ia tidak mengarang cerita, maka ia dan yang lainnya yang akan menjadi sasaran kemarahan Athura. "Ayahanda, sebenarnya Althea semalam melihat si bungsu keluar dari rumah lewat pintu belakang," ucap gadis itu dengan berani. "Lalu, Kamu tidak menghentikannya?" tanya Athura dengan mata memerah karena amarah. "Sudah, Ayahanda. Tapi adik bungsu tidak mau mendengarkan ucapan Thea. Bahkan adik bungsu mendorong Thea hingga Thea jatuh dan tangan Thea terkilir," bohong gadis itu semakin pandai. Althea sengaja menunjukkan tangannya yang ia bungkus dengan selendang berwarna jingga. Tangan gadis itu benar-benar terkilir, atau tepatnya sengaja dibuat terkilir agar Athura percaya pada ucapan mereka. Mereka melakukan hal sejauh itu hanya demi keselamatan mereka. "Apa? Lalu kenapa Kamu tidak memberitahu Ayah?" Athura semakin marah mendengar jawaban Althea. "Maafkan, Althea, Ayahanda. Thea takut Ayahanda akan marah saat tahu Aurora pergi dengan pria lain," ucap Thea seraya menitikkan air mata buayanya. Sungguh wanita yang licik seperti ular! "Apa? Pria lain?" Pria itu semakin marah. Athura menggebrak meja dengan cukup kuat. Amayra dan adik-adiknya bahkan Gaia sampai terkejut dibuatnya. "Ayahanda justru semakin marah saat kalian tidak mau jujur pada ayah." Athura membanting pelalatan makannya. Selera makan pria itu menghilang seketika mendengar berita itu. Pertunangan akan diadakan seminggu lagi, tapi anak gadisnya justru membuat masalah. d**a Athura kembang kempis menahan kemarahannya. Ia tidak tahu ke mana harus mencari anak gadisnya tersebut. "Kanda, bersabarlah. Siapa tahu Thea salah lihat. Siapa tahu Rora pergi ke suatu tempat karena ada kepentingan yang mendadak," hibur Gaia. "Kepalaku pusing!" Pria itu bangkit dari duduknya, tidak jadi menyantap makan pagi yang telah disiapkan oleh sang istri. "Kenapa Kamu bicara seperti itu? Kamu kan bisa melindungi adikmu dengan mengatakan hal lain," ucap Gaia memarahi Althea. "Dari dulu Bunda hanya menyayanginya. Bahkan saat dia melakukan kesalahan besar seperti itu, Bunda ingin kami tetap melindunginya. Tidak mau, Bunda! Tidak mau!" tolak Althea. "Benar Bunda, kami tidak mau berbohong demi Aurora," sahut Agni. Kelima gadis itu membanting peralatan makannya. Meninggalkan meja makan itu dengan kesal. Meninggalkan Gaia tanpa perasaan tanpa memakan makanan yang telah susah payah ibu mereka hidangkan. "Di mana Kamu, Nak? Ibu yakin Kamu tidak mungkin melakukan hal seburuk itu," ucap Gaia seraya mengusap wajahnya. Ia pun sama khawatirnya dengan Athura, apalagi saat hari pertunangan sudah di depan mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN