Entah sudah hari ke berapa ia berada di tempat itu, Aurora sampai tidak menyadarinya. Yang ia lakukan hanyalah belajar dan terus belajar. Anehnya, gadis itu merasa waktu begitu lambat berlalu. Seolah-olah dunia tengah memberinya waktu yang cukup untuk belajar.
Waktu terasa berjalan dengan begitu lambat sekali. Rasanya ia telah lama membaca sebuah buku, tetapi matahari seolah tetap berada di tempatnya. Tidak bergerak sama sekali, siang hari pun tak kunjung berubah menjadi malam. Ada satu keanehan lagi, Aurora tidak merasa lelah maupun lapar meski ia belajar seharian. Bahkan sepertinya ia tidak pernah lagi tidur setelah memulai pelajarannya.
"Bagus! Kamu sudah menguasainya kan?" tanya Kai yang baru datang.
Kai selalu meninggalkan Aurora sendirian di tempat itu. Agar gadis itu lebih fokus belajar. Pria itu baru akan datang lagi di suatu waktu dengan makanan dan sebuah ramuan berbentuk bulat seperti pil, entah itu apa, Aurora pun tak mengerti. Yang Aurora tahu, berkat pil bulat itu ia tak merasa lelah maupun lapar lagi.
"Mana mungkin aku menguasai isi satu buku ini dalam waktu kurang dari sehari? Aku rasa sebulan pun tak akan mampu menyerapnya," ucap Aurora pesimis.
"Jangan berkata seperti itu sebelum mencoba. Coba dulu! Ayo coba sebutkan ayat kelima dari kitab keabadian ini!" perintah Kai.
"Hah? Mana mungkin aku bisa mengingatnya?" Gadis itu merasa hal itu sangat mustahil untuknya. Namun, setelah itu bibirnya tanpa sadar bergerak melafalkan ayat yang baru ia baca sekali tadi. 'Keabadian yang sesungguhnya berasal dari kemurnian hati. Kemurnian hati yang terbebas dari segala hal yang bersifat duniawi'."
"Bagus!" Kai bertepuk tangan karena apa yang Aurora ucapkan benar secara sempurna. Tak ada kesalahan sedikit pun. Apa yang gadis itu ucapkan sama persis dengan apa yang tertulis di dalam buku.
"Bagaimana bisa? Aku mengucapkan dengan lancar bahkan saat aku ragu?" gumam gadis itu kebingungan. Ia sampai menyentuh bibirnya sendiri, ragu kalau yang berbicara tadi adalah dirinya.
"Kamu tidak perlu bingung, Rora. Kamu cukup baca semua buku ini dan semua ilmunya akan terserap sempurna," ucap Kai.
"Kalau begini caranya, sama saja aku curang, Kai," ucap Aurora merasa bersalah.
"Curang? Bagaimana bisa Kamu curang? Kalau Kamu bisa melakukannya, itu artinya karena usaha keras Kamu. Ingat kembali, kapan terakhir kali Kamu tidur? Kamu bahkan tidak tidur sama sekali. Kamu sampai berusaha sekeras ini agar bisa menyerap semua ilmu dariku. Itu artinya Kamu tidak curang," ucap Kai.
"Tapi, semua juga berkat pil yang Kamu berikan padaku, kan?" Gadis itu yakin kekuatan dan kemampuan yang ia miliki saat ini karena Kai.
Kai tertawa kecil. "Apa yang aku berikan hanyalah sebagai pendukung saja. Semua tergantung dirimu sendiri. Jika orang itu tidak memiliki tekad sekuat baja, maka pil yang Kamu makan juga tidak akan ada artinya."
"Kamu tidak bohong kan, Kai?" selidik gadis itu memastikan.
"Tidak, Rora. Aku tidak bohong. Aku memberimu pil itu hanya untuk memancing kemampuan tersembunyi di dalam hatimu. Jika Kamu bisa, maka itu adalah karena kemampuanmu sendiri," jelas pria itu.
"Baiklah ...." Gadis itu masih meragu meski Kai telah berkata sedemikian rupa.
"Tinggal tiga hari lagi yang tersisa, Rora. Kamu harus berusaha sekuat tenaga untuk belajar. Bukan hanya untuk kompetisi, tetapi demi kehidupanmu, masa depanmu yang selanjutnya. Karena setelah ini aku tidak akan mengajari apa pun. Baik ilmu pengetahuan, pengobatan, bela diri atau pun yang lainnya," ucap pria itu.
"Maksudmu apa, Kai?" tanya Aurora.
"Kamu akan jadi putri mahkota dan kita tidak akan bisa bertemu lagi di tempat ini sampai hari pernikahanmu tiba," ucap pria itu tersenyum dan mengusap kepala kekasihnya.
"Kenapa Kamu bisa yakin sekali kalau aku yang akan jadi putri mahkota?" tanya Aurora.
"Karena Kamu mampu. Karena Kamu pantas dan yang terpenting karena aku sudah me ...."
"Sudah apa, Kai?" tanya gadis itu saat Kai menggantung perkataannya.
"Karena aku sudah mengajarimu dengan baik." Kai dengan cepat mengalihkan pembicaraan.
"Aku sungguh tidak mengerti jalan pikiranmu, Kai. Kamu bilang Kamu mencintaiku. Kamu bilang Kamu sangat ingin menikah denganku. Namun, apa yang Kamu lakukan justru membuat aku sebentar lagi akan jatuh ke pelukan pria lain," ucap Aurora dengan wajah yang muram.
"Aurora. Percayalah dengan takdir. Percaya pada ucapanku yang akan membawamu kepada kebahagiaan. Aku pastikan Kamu tidak akan menyesalinya. Mungkin Kamu sulit untuk memahami aku, jadi tak perlu Kamu pahami. Cukup lakukan apa yang aku katakan," perintah pria itu.
"Tapi aku tidak ingin menjadi putri mahkota apalagi ratu." Apa yang Aurora pendam dalam hati akhirnya ia ucapkan.
Kai sangat bingung mendengar ucapan Aurora. Di saat jutaan wanita di luar sana sangat ingin menyandang nama itu, saat wanita di luar sana sangat menginginkan posisi itu, justru Aurora tidak menginginkannya.
"Kenapa, Rora?" tanya Kai dengan lembut.
"Mungkin aku tidak akan sanggup jika aku menjadi istri putra mahkota," ucap gadis itu jujur.
Ucapan Aurora membuat Kai semakin bingung. "Mak-sudmu?"
"Seorang putra mahkota pasti akan memiliki banyak selir juga banyak wanita. Apalagi saat dia menggantikan raja nanti. Entah aku bisa menerimanya atau tidak. Aku juga tidak tahu, apakah hatiku ini sanggup menjalani kehidupan rumah tangga yang seperti itu atau tidak," ucap Aurora dengan wajah yang sedih.
Kai tertawa. Sungguh pemikiran gadis yang kini ada di hadapannya itu sangat sederhana. Namun, ia bahagia mendengar ucapan gadis itu yang tak ingin berbagi dengan wanita lain. "Rora, jika putra mahkota memiliki wanita lain. Maka Kamu juga bisa memiliki pria lain, yaitu aku. Ingat, Rora. Aku akan selalu ada untukmu. Aku, Kai hanyalah kekasihmu, aku Kai hanya milikmu bukan milik wanita lain dan tidak akan pernah menjadi milik wanita lain."
Mendengar ucapan Kai, wajah Aurora langsung memerah. Bahkan ia belum menjadi putri mahkota, tetapi ia sudah berpikir untuk memiliki pria lain. Mungkin jika raja tahu, orang nomor satu di negeri itu akan memenggal kepalanya.
Detik berikutnya, apa yang dilakukan wanita itu adalah memukul d**a kekasihnya. Ia sungguh sangat kesal karena sempat terpengaruh oleh ucapan Kai yang ia yakini hanya ingin meledeknya saja.
"Beraninya Kamu! Kamu meledekku ya? Bagaimana mungkin seorang putri mahkota memiliki pria lain? Bisa-bisa aku kehilangan nyawa sebelum menikmati posisi sebagai ratu. Rasakan ini!" Gadis itu terus saja memukul d**a kekasihnya.
"Hahaha, aku tidak bercanda, Rora." Pria itu tertawa menerima pukulan demi pukulan yang Aurora layangkan.
"Tidak bercanda apanya? Beraninya Kamu mengajari aku agar mengkhianati suamiku."
"Hei! Suami yang mana? Kamu bahkan belum menikah," ledek Kai. Aurora malu bukan kepalang. Ia terlalu terhanyut dalam angan.
"Ah ... maksudku ...." Gadis itu salah tingkah jadinya.
"Rora, tidak ada yang perlu Kamu khawatirkan. Aku akan memastikan bahwa Kamu akan menjadi satu-satunya wanita yang menjadi putri mahkota. Kamu adalah wanita satu-satunya yang akan menjadi ratu. Tidak akan ada selir apalagi wanita lain," ucap Kai tiba-tiba terdengar serius.
"Kai ...." panggil gadis itu dengan suara yang lemah dan terdengar tidak bersemangat.
"Hm?" Pria itu menatap wajah kekasihnya dengan intens.
"Bisakah kita batalkan saja? Bisakah aku mundur dari kompetisi?" pinta gadis itu dengan penuh harap.
"Kenapa?" tanya pria itu.
"Sepertinya aku terlalu jatuh cinta padamu. Sepertinya aku tidak akan bisa menikah dengan pria lain meski itu putra mahkota sekali pun." Akhirnya apa yang mengganjal di hati Aurora selama sebulan ini terluahkan juga.
"Tidak, Rora. Kalau Kamu mencintaiku, Kamu harus menjadi putri mahkota. Kalau Kamu benar-benar mencintai aku. Berjuanglah hingga akhir, Kamu harus memenangkan kompetisi itu sebagai bukti rasa cintamu," ucap Kai dengan tegas.
"Tapi aku tidak akan bisa lagi bersamamu ...." Sungguh, hati gadis itu serasa diiris-iris.
"Shhh! Jangan bicara lagi. Cukup dengar kata-kataku dan jangan pikirkan hal yang belum pasti. Yakinlah satu hal, ada kebahagiaan yang menunggumu di depan sana." Kai menghapus setitik air bening di pipi Aurora.
Bagaimana bisa Kamu berbicara seperti itu, Kai? Apa tujuanmu? Kenapa Kamu ingin aku menikah dengan orang lain? Kebahagiaan apa yang Kamu maksud? Bagaimana bisa Kamu tetap di sampingku saat aku menjadi istri orang lain? batin gadis itu kebingungan. Berapa kali pun ia memikirkannya, ia tidak dapat memahami maksud pria itu.