BAB 15

1089 Kata
"A-apa? Pangeran Kairos memilihku?" tanya gadis itu dengan d**a yang berdegup kencang. Senyum di bibirnya tak dapat ia tahan saat ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Kebahagiaan yang "Iya, Nak. Benar. Ayahanda dan ibunda datang ke istana untuk membicarakan tentang pemilihan putri mahkota. Namun, di luar dugaan mereka malah menawarkan pernikahan padamu tanpa seleksi dan hanya akan mengadakan pemilihan selir di kemudian hari." Gaia menjawab dengan senyuman yang lebar. "Ja-jadi, tidak akan ada pemilihan putri mahkota?" tanya Althea tampak kecewa. "Begitulah. Tapi sepertinya bagus juga, setidaknya bisa mengurangi anggaran kerajaan," ucap Athura. "Wah, selamat Kak Amayra." Di saat saudara Amayra yang lainnya tampak kecewa, ada satu orang yang justru terlihat bahagia dan tanpa ragu memberikan ucapan selamat. Siapa lagi kalau bukan Aurora. "I-iya, terima kasih," jawab Amayra sepertinya tidak suka. Amayra kesal karena di antara mereka berenam justru Aurora yang memberikan selamat. Bahkan yang lain tampak tidak suka. "Kenapa hanya Rora yang memberikan ucapan. Kalian tidak senang melihat kakak sulung kalian mendapatkan kebahagiaan sebesar itu?" tanya Athura. "Iya, kenapa kalian terlihat kecewa?" tanya Gaia. "Ma-maaf, Bunda. Kami hanya kecewa, karena tidak akan ada festival pemilihan putri mahkota lagi. Kami ingin melihat ribuan bunga teratai kertas mengapung di sungai. Kami ingin melihat pertunjukan di kota. Sayang sekali, acara yang diadakan sekali dalam puluhan tahun ini tidak ada lagi," jawab Althea dengan cepat. Athura tertawa, pria itu memahami keinginan putri-putrinya. "Tenang saja, Thea. Nanti kan ada festival panen. Lagipula, setahun lagi akan ada festival pemilihan selir putra mahkota." "Eh, benar juga, Ayahanda." Althea memaksakan senyumnya. Padahal hatinya sangat kecewa. Ia juga menginginkan kesempatan untuk mengikuti pemilihan putri mahkota. Namun nyatanya, Amayra mendapatkannya dengan sangat mudah tanpa usaha sama sekali. Hal itu membuat Althea sangat kesal dan iri. "Sudah, tidak perlu memikirkan soal festival. Ayah yakin, entah festival apa, pasti akan segera ada. Lagipula, nanti pasti baginda akan mengadakan pesta ulang tahunnya secara meriah seperti tahun yang lalu. Ayahanda Pastikan kalau Kalian akan bersenang-senang," hibur Athura. "Baiklah, lanjutkan makan Kalian, Ayah harus ke ruang kerja ayah. Ada banyak pekerjaan yang menunggu," ucap Athura seraya beranjak dari duduknya lalu pergi. "Ayo, lanjutkan makan Kalian," ucap Gaia seraya tersenyum. Mereka bertujuh membalas senyum sang ibu dan melanjutkan makan mereka. Namun sayang, nafsu makan keenam gadis itu hilang saat mendengar kabar baik yang terasa buruk bagi mereka. Sementara itu, Aurora tampak biasa saja. Bahkan gadis itu tulus ikut berbahagia untuk sang kakak sulung. *** "Kalian tidak suka, aku jadi putri mahkota?" tanya Amayra seraya berkacak pinggang. Kelima gadis itu, Amayra kumpulkan di kamarnya untuk ia interogasi. "Tidak, Kak. Bukan seperti itu," ucap Alodia dengan gugup. "Iya, Kak. Kami tidak bermaksud seperti itu," sahut yang lainnya. "Tapi yang aku lihat kalian tidak suka saat ayahanda menyampaikan kabar tersebut. Kalian pasti iri padaku kan?" tuduh Amayra. "Kak ...." Althea akhirnya buka suara. "Thea sudah menjelaskan tadi alasan kami. Lagipula Kami hanya sedikit terkejut." "A-apa? Meskipun begitu, harusnya kalian tersenyum lebar seperti si bodoh tadi. Bukan menampakkan wajah yang seperti itu di hadapan ayah dan bunda," ucap Amayra masih dengan nada yang sinis. Kesabaran Thea habis saat Amayra terus memojokkan mereka. Bagi Thea, Amayra sudah sangat keterlaluan. Sangat egois dan tidak peduli dengan perasaan orang lain. Akhirnya, Althea menjawab dengan lantang dan berani. "Kakak salah! Jangan pernah samakan kami dengan Aurora yang selalu menurut. Karena kami berbeda jauh dari si bodoh itu. Kami saudara Kakak, bukan b***k. Ingat itu, Kak!" Althea membalikkan badan dan segera pergi dari sana meninggalkan Amayra yang masih kesal. Kelima putri yang lainnya mengikuti langkah kaki Althea karena mereka merasa senasib dengan Althea. "Ck!" Amayra berdecak kesal seraya menghentakkan kakinya ke lantai. Ia tidak menyangka Althea berani membentaknya. Ia juga tidak menyangka yang lainnya ikut membangkang dan berada di pihak Althea. *** "Bawa semua itu dan cuci sampai bersih!" perintah Amayra pada Aurora. "Yang lainnya?" tanya Aurora. "Kamu cukup membawa pakaianku. Tidak perlu pikirkan yang lainnya," perintah Amayra dengan wajah masam. "Ya sudah, mari kita pergi!" ajak Aurora dengan senyuman yang lebar. Ia senang karena hari ini ia tidak perlu membawa bakul yang begitu banyak. "Pergi? Pergi ke mana?" tanya Amayra. "Tentu saja ke sungai untuk mencuci baju," jawab Aurora dengan polosnya. "Kamu ini benar-benar bodoh! Memangnya siapa yang mau pergi denganmu. Kamu pergi saja sendiri. Aku mau tidur siang di rumah. Cepat kembali bawa pakaianku dan harus bersih," perintah Amayra. Setelah berkata demikian, putri sulung itu segera masuk ke kamarnya dan membanting pintu. Membuat Aurora terkejut dan hanya bisa memejamkan mata. Dalam hati mengucapkan kata-kata bahwa ia harus tetap bersabar. "Baiklah, mari kita pergi. Dengan atau tanpa mereka sama saja. Nyatanya, aku bukan bagian dari mereka. Eh, tapi sepertinya ada yang aneh. Biasanya, kak Amayra selalu dengan yang lainnya tapi kali ini sepertinya ia terlihat kesal dan hanya sendirian. Astaga! Untuk apa aku memikirkan urusan orang lain." Aurora tersenyum, lantas mengangkat pakaian milik sang kakak dan bersiap ke sungai. *** "Duhai angin Bawalah rindu hatiku kepadanya Duhai burung Kepalkan sayapmu, datangi ia dan Katakan padanya, bahwa aku sangat mencintainya ...." Sambil mengucek baju milik sang kakak, ia melantunkan sebuah lagu untuk menghilangkan rasa kesepiannya. Biasanya ia akan ditemani oleh tawa semua kakak-kakaknya. Namun, hari ini ia harus pergi sendiri tanpa saudaranya. Membuat tempat itu terasa sangat sunyi dan hening. "Tidak perlu menyuruh angin. Katakan saja langsung padaku, aku di sini. Tidak perlu menunggu burung, ucapkan kata cinta padaku tanpa ragu." Aurora dikejutkan oleh suara pria yang membalas lagunya. Gadis itu menoleh, ia melihat Kai sudah duduk di atas batu di mana biasanya pria itu duduk. "Apa sih, datang tiba-tiba. Mengejutkan saja!" omel gadis yang sebenarnya tengah menyembunyikan kegugupannya. Pria itu tertawa, suka melihat Aurora yang malu-malu. "Hm, sebenarnya aku ingin menegur dari tadi. Tapi aku penasaran dengan lagu merdu yang dibawakan oleh gadis yang tengah mencuci baju ini. Jadi, aku menunggu sampai Kamu menyelesaikannya." "Cih! Ingat, aku masih marah padamu soal pertemuan kita yang terakhir kali. Jangan bicara padaku." Aurora sengaja mengungkit kejadian di mana ia dan Kai dijodohkan oleh kakak-kakaknya. 'Sudah aku peluk semalaman penuh masih marah juga kah? gumam Kai tanpa sadar. "Apa?" tanya Aurora karena tak dapat mendengar suara Kai dengan jelas. "Eh, bukan apa-apa. Ayolah, maafkan aku. Aku tidak akan mengerjaimu lagi," pinta pria tersebut. "Tidak mau. Aku kesal, karena Kamu selalu mengerjaiku. Membuat aku malu dengan leluconmu yang sangat menyebalkan itu," ucap Aurora. "Aku minta maaf karena selalu menjahilimu. Semua aku lakukan karena aku begitu tertarik padamu. Sepertinya aku menyukaimu. Eum, kali ini soal aku menyukaimu, itu bukan lelucon. Aku serius dan tidak lagi mengerjaimu." Kai memegang tangan Aurora, kedua muda-mudi itu saling bertatapan mata menyelami diri masing-masing.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN