"Kamu menyukainya?" tanya Kai.
"Tentu saja! Mana ada wanita yang tidak bahagia di tempat yang seindah ini. Di manakah tempat ini? Kenapa aku merasa baru pertama kali ini melihatnya? Benar, tempat ini begitu asing dan sepertinya ... ini adalah pertama kalinya aku ke sini."
Pria itu tersenyum lembut mendengar pujian dari Aurora. Melihat rasa takjub dan kekaguman gadis itu, melihat senyum dan matanya yang berbinar membuat Kai begitu bahagia. Ada rasa yang asing, yang meronta-ronta keluar dari dadanya. Kai benar-benar sudah jatuh cinta pada gadis itu.
"Astaga! Benarkah ini buah mangga?" tanya Aurora saat melihat buah mangga yang sebesar semangka, atau mungkin lebih besar lagi. Tetapi pohon buah itu merambat di tanah, bukan seperti pohon mangga pada umumnya.
"Iya, tentu saja, ini adalah mangga terenak di Nirvana ini," jawab pria itu seraya berjalan mendekati Aurora yang tengah berjongkok memerhatikan buah tersebut. "Kamu mau?"
Aurora mengerutkan keningnya, sedikit waspada. "Eum, jangan-jangan ini buah aneh yang Kamu sihir, ya. Siapa tahu Kamu ingin meracuniku," tuduhnya kemudian.
"Apa?" Pria itu tergelak. "Untuk apa aku jauh-jauh membawamu kemari hanya untuk meracunimu? Hentikan pikiran burukmu itu. Apa aku terlihat begitu jahat di matamu?"
"Sebenarnya sih, tidak. Hanya saja, Kamu terlalu misterius. Bahkan para kakakku saja, tidak ada yang bisa melihatmu," ucap Aurora.
"Aku hanya sedang menjaga diriku," ucap pria itu.
"Hah? Menjaga diri?" Gadis itu tidak dapat mengerti pria itu sedikit pun. Pria misterius dan penuh dengan teka-teki.
"Iya, aku menjaga diri dari kakak-kakakmu. Agar mereka tak jatuh cinta padaku," ucap Kai dengan percaya diri.
"Percaya diri sekali Anda, Tuan! Sayangnya, Anda tidak memiliki kesempatan itu. Mereka hanya ingin putra mahkota, pangeran atau paling tidak anak adipati yang menjadi suami mereka," cibir Aurora.
Meski Aurora tak menyangkal ketampanan Kai, tetap saja menurutnya tidak mungkin. Karena ia tahu bahwa para kakaknya hanya mau menikah dengan pemuda dari keluarga bangsawan, bahkan mereka ingin sekali agar seorang pangeran yang menjadi jodoh mereka
Kai tertawa, "Justru itulah yang membuatku takut."
"Apa? Apa maksudmu?" tanya Aurora semakin tidak mengerti.
"Yah, pokoknya seperti itu. Tidak perlu dipikirkan, aku kan hanya bercanda. Baiklah, agar aku tak terlihat misterius di matamu, sepulang dari tempat ini aku akan menampakkan diri kepada saudara-saudaramu. Bagaimana?" tawar pria itu.
"Baiklah, aku pegang janjimu," ucap Aurora.
"Ah, bagaimana? Jadi mencicipi buah ini tidak?" tanya Kai seraya menunjuk ke arah buah besar yang sangat banyak.
"Aku sedikit penasaran. Tapi, benarkah tidak akan apa-apa?" tanya Aurora yang masih ragu.
"Tentu saja tidak apa-apa. Kalau Kamu curiga, mari kita makan bersama-sama. Kalau Kamu mati, maka aku juga akan mati keracunan," gurau Kai.
"Dasar pria gila!" Aurora melayangkan sebuah cubitan pedas di lengan Kai hingga pria itu menjerit kesakitan.
"Aduh! Apa yang Kamu lakukan?" tanya pria itu.
Dasar gadis nakal. Berani memanggil namaku, berani meremehkan ku, sekarang berani mencubitku! Apa Kamu tahu? Kamu adalah satu-satunya orang yang berani melakukan apa pun padaku! Namun, apakah nanti kita akan tetap seperti ini jika Kamu tahu siapa sebenarnya diriku? batin Kai.
"Makanya jangan bicara sembarangan. Aku masih muda. Aku ingin menikah, aku ingin punya anak. Bagaimana bisa Kamu membicarakan soal kematian? Apa menurutmu hal itu hanya lelucon?" tanya Aurora kesal.
"Hahaha, kalau begitu menikahlah denganku. Mari kita buat anak-anak yang lucu. Sepuluh, sebelas atau dua belas," ucap Kai.
"Sinting!" umpat Aurora dengan wajah yang memerah.
Gadis itu berdiri, berlari menjauh untuk menyembunyikan wajahnya yang serupa dengan kepiting rebus.
"Hei! Mau ke mana? Kemarilah! Jangan pergi jauh-jauh!" teriak Kai.
"Aku tidak akan mendekatimu, kalau Kamu bicara macam-macam lagi," ancam Aurora.
Ini adalah pertama kalinya, ia mengenal pria. Ini adalah pertama kalinya, ia berduaan dengan pria. Ini juga pertama kalinya ada seorang pria yang menggombalinya dan Aurora tidak dapat mengendalikan dirinya yang tersipu.
"Iya, iya. Aku akan berhenti menggodamu. Kemarilah!" perintah Kai.
Setelah memastikan wajahnya tak lagi terasa panas, Aurora membalikkan badan dan kembali menghampiri pria tersebut.
"Maafkan aku!" ucap pria itu.
"Lupakan!" jawabnya tak acuh.
"Apa Kamu ingin mencoba memetiknya?" tanya Kai.
"Baiklah." Kedua orang itu lantas berjongkok. Kedua tangan Aurora mengangkat buah yang sangat besar itu dan mencoba menariknya. Namun, seberapa banyak ia mengeluarkan tenaga, buah itu tidak mau putus dari tangkainya. Beberapa kali Aurora mencoba tetapi selalu gagal. Hingga gadis itu kelelahan, buah itu masih utuh menyatu dengan tangkainya.
"Buah macam apa ini? Kenapa tidak bisa dipetik?" gerutu Aurora kesal. Ia merasa Kai telah mengerjainya. Gadis itu melirik teman barunya dengan tajam dan Kai yang langsung menyadarinya, menyembunyikan senyumnya.
"Eh, kali ini bukan aku! Sumpah!" sangkal pria itu. Ia berusaha menahan gelak tawa.
"Kalau bukan kerjaan Kamu, lantas siapa lagi?" tanya Aurora.
"Tentu saja kerjaan buah ini," jawab pria itu.
"Cih! Kamu pikir aku akan percaya? Tentu saja tidak! Aku tidak akan percaya apa pun yang Kamu katakan!" Aurora marah karena pria itu begitu usil selalu menggodanya.
"Ck! Jangan marah, cobalah dulu," bujuk pria itu.
"Aku sudah mencoba, tapi buah ini bahkan tidak mau lepas dari tangkainya. Harus bagaimana lagi aku mencobanya?" tanya Aurora geram.
"Sekarang pegang buah ini dengan kedua tanganmu!" perintah Kai. Gadis itu bergeming di tempat, tak mau melakukan apa yang Kai suruh. "Ck! Ayolah!"
Akhirnya, dengan ragu-ragu, kedua tangan gadis itu terulur dan memegangi buah itu.
"Coba ucapkan kalimat ini 'Atas izin Tuan Kai yang terhormat, aku ingin Kau menyerahkan buah ini kepadaku'.
"Hah? Harus seperti itu? Jangan bercanda!" teriak gadis itu.
"Kamu tidak percaya? Ya sudah, kalau Kamu tidak percaya maka selamanya Kamu tidak akan bisa mencicipi nikmatnya buah ini," ucap Kai.
"Baiklah aku akan melakukannya." Aurora memutar bola matanya malas. "Atas izin Tuan Kai yang terhormat, aku ingin Kau menyerahkan buah ini kepadaku. Sudah!"
"Aduh!" Gadis itu terkejut karena tangannya terasa berat.
Entah keajaiban dari mana buah itu terlepas dari tangkainya. Padahal Aurora yakin kalau ia sama sekali tidak menarik buah tersebut.
"Wah, ajaib sekali," puji Aurora penuh rasa takjub.
"Bukan ajaib. Hanya saja, aku adalah pemilik buah ini. Jadi, hanya dengan izinku dia bisa memberikan buahnya padamu," ucap Kai.
"Jadi, kalau Kamu yang memberikan izin atau menyuruhnya memberikan buah padaku, dia akan menurut juga?" tanya gadis itu.
"Iya, tentu saja. Aku kan pemiliknya," jawab Kai.
"Jadi Kamu mengerjaiku lagi?" sungut Aurora kesal.
"Hahaha, maafkan aku. Aku tidak akan melakukannya lagi."
"Sudahlah! Aku mau pulang saja! Pulangkan aku!" Gadis itu melipat tangan dan memalingkan wajahnya.
"Maafkan aku, putri Aurora yang cantik dan baik hati ...," rayu Kai.
"Aku mau pulang saja! Cepat antarkan aku!" Aurora masih belum mau menatap wajah pria itu.