BAB 19

1095 Kata
Hati gadis itu gelisah saat mendengar bisik-bisik tetangga yang semakin santer terdengar di telinga. Ia juga begitu cemas saat sang ayah yang ia ketahui tengah pergi ke istana tak kunjung kembali. Entah berapa kalinya ia berjalan mondar-mandir ke sana- kemari seraya mengintip dari jendela kamarnya. Berharap kereta yang biasanya membawa sang ayah akan datang. Namun, berapa lama pun ia menunggu ayahnya tak kunjung datang juga. Tak terasa hampir seharian ia menunggu kedatangan sang ayah. Bahkan siang telah berganti menjadi senja tanpa ia sadari. Gadis itu terlarut dalam kesedihannya. "Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana jika paduka raja membatalkan pernikahanku dengan putra mahkota?" Gadis itu mengigit kuku panjang miliknya karena panik. Amayra, gadis itu merasakan firasat buruk yang mungkin saja sebentar lagi akan menjadi kenyataan. "Kak!" Pintu kamar Amayra terbuka, Aurora si bungsu tampak memanggilnya dari sana. Amayra yang tengah merenung tak berkesudahan menjadi terkejut karenanya. "Ishhh! Aku kan sudah bilang, kalau mau masuk ketuk pintu dulu! Dasar bodoh!" Secepat kilat gadis itu berjalan menuju pintu dan mendorong Aurora agar pergi dari kamarnya. "Tapi, Kak. Bunda menyuruh Rora panggil Kak Amayra," ucap gadis itu dengan wajah yang sedih. Mendengar nama ibunya disebut, gadis itu berhenti mendorong sang adik. Masih dengan wajah jutek dan masamnya ia lantas bertanya, "Ada apa?" "Sudah waktunya makan, Kami sudah menunggu Kakak di meja makan," ucap Aurora. Amayra memijat pangkal hidungnya. Terasa menyebalkan saat semua orang bisa makan dengan tenang sementara dirinya gelisah menunggu kedatangan sang ayah. Amayra marah saat tidak ada seorang pun yang bersimpati kepadanya. "Pergilah! Katakan pada Bunda, aku sedikit tidak enak badan. Aku tidak ingin makan." "Tapi Kak ...." "Sudah pergi sana!" Amayra mendorong tubuh Aurora dengan kasar lalu masuk ke kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat. Aurora mengembuskan napas kasar. Ia lantas pergi dari sana dan kembali ke meja makan. Di meja makan, kelima saudara Aurora yang lainnya tampak senang. Diam-diam mereka tersenyum dan Aurora menyadarinya. "Mana Kakak sulungmu, Nak?" tanya Gaia. "Kakak ... kakak bilang sedang tidak enak badan dan tidak ingin makan, Bunda." Aurora menjelaskan persis seperti yang kakaknya katakan tadi. Kelima gadis yang lainnya tampak senyum-senyum dan saling melempar kode. Bisik-bisik tetangga yang terasa panas di telinga Amayra terasa menyejukkan hati mereka. "Baiklah, duduk. Makan makananmu, biar Bunda yang nanti bawakan makanan untuknya," ucap Gaia dengan wajah yang datar. Ibu dari tujuh gadis itu mengerti apa yang tengah dirasakan oleh si Sulung. Namun, ia tidak bisa melakukan apa pun untuk sang putri. Karena semua keputusan ada di tangan sang raja. "Kenapa kalian malah senyum-senyum? Ayo lanjutkan makan Kalian," perintah Gaia. "Baik, Bunda." Semua langsung terdiam dan tak berani tersenyum lagi. Aurora pun ikut bergabung dan menikmati makanan yang sudah terhidang. Selama makan, gadis itu tak henti melihat ke arah kursi milik Amayra yang kosong. Gadis itu merasakan kehampaan saat sang kakak yang biasanya akan mengambil sebagian dari makanannya, tak ikut makan. *** "Amayra! Buka pintunya, Nak! Ibu datang membawa makanan untukmu," panggil Gaia dari luar kamar. "Amayra masih kenyang, Bunda. Nanti saja, Amayra akan makan sendiri," tolak gadis itu. "Ayolah, Sayang. Buka dulu pintunya! Biarkan Bunda melihat keadaanmu," ucap wanita berhati lembut itu. Ceklek. Pintu kamar yang paling luas jika dibandingkan dengan kamar gadis lainnya itu terbuka. Tampak wajah kusut dan masam gadis itu membukakan pintu untuk ibunya. "Ayo masuk ke kamarmu!" Wanita itu mendorong tubuh putrinya lalu menutup pintu rapat-rapat. "Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanya Gaia. Gadis itu mengangguk lemah. Tangan sang ibu terulur menyentuh dahi gadis itu. Terasa biasa saja, tidak panas. Artinya gadis itu memang baik-baik saja. "Ibu bawakan makanan kesukaanmu, Amayra. Makanlah! Kamu belum makan sedari tadi pagi, kan?" ucap Gaia dengan lemah lembut dan kasih sayang. "Tidak mau! Amayra tidak lapar, Bunda. Biarkan saja Amayra sendirian," kata gadis itu dengan ketus. Gaia tersenyum, dengan lembut wanita itu mengusap surai cantik milik sang putri. "Bunda tahu perasaanmu. Kamu gelisah, sedih dan khawatir, kan? Tapi ... dengan menyiksa diri seperti ini tidak akan mengubah apa pun. Tidak ada gunanya meski Kamu tidak makan sekali pun." Amayra menatap sang ibu dengan perasaan yang sangat sedih. "Bunda, tapi bagaimana nasib pernikahan Amayra? Baru juga aku merasakan kebahagiaan. Kenapa secepat angin yang berembus kebahagiaan itu menghilang?" "Nak, bersabarlah. Semoga saja ayahmu datang dengan membawa kabar baik." Gaia masih terus berusaha menenangkan putrinya. "Tapi, Bunda ... apakah raja akan diam saja saat semua orang tidak menyetujui ...." "Shhhh! Jangan bicara seperti itu lagi. Kita tunggu saja sampai ayahanda pulang." Gaia memeluk putrinya, untuk menghibur gadis itu. Maafkan Bunda, Nak. Bunda tak dapat menjamin tentang pernikahanmu. Semoga saja, semua hanya kekhawatiran bunda saja, batin Gaia merasa sangat sedih. "Kalau begitu, Kamu harus makan dulu sambil menunggu kedatangan ayahanda." "Tidak mau!" tolak Amayra dengan keras kepala. "Kamu harus makan atau Kamu akan sakit." Gaia menyendokkan makanan dan memaksa Amayra memakannya. "Amayra kan sudah bilang tidak mau ...." "Stt! Diamlah! Duduklah, ibu akan menyuapiku seperti saat Kamu masih kecil dahulu," ucap wanita itu dengan lemah lembut. Pada akhirnya, Gaia berhasil membuat Amayra menghabiskan makanannya. Dengan sikap lemah lembut dan penuh perhatiannya, ia berhasil meluluhkan hati si putri sulung. Wanita itu tahu betul tabiat sang anak saat merajuk sewaktu kecil dulu, yang selalu ingin dimanja dan diperhatikan. *** Amayra yang tengah beristirahat di ranjangnya yang nyaman dikejutkan oleh kedatangan para saudaranya. Kini gadis itu tengah menghadapi mereka dengan penuh amarah. "Untuk apa Kalian kemari? Kalian mau menertawakan aku, kan?" tuduh Amayra kasar. d**a gadis itu naik turun karena merasakan amarah yang begitu besar. "Kalian pasti sangat senang mendengar desas-desus bahwa pernikahanku akan dibatalkan dan akan diadakan pemilihan putri mahkota baru." "Kakak tidak bisa ya, sekali saja tidak berpikiran buruk terhadap kami? Padahal niat kami baik, ingin menengok kakak. Ingat Kak, selama ini siapa yang selalu ada di samping kakak kalau bukan kami? Kenapa Kakak bisa berpikiran buruk seperti itu?" "Cih! Munafik! Aku tahu kalian bahagia kan? Ini adalah kesempatan emas bagi kalian. Kalian juga memimpikan posisi putri mahkota, kan?" tuduh Amayra lagi. "Ya ampun, seburuk itukah pandangan kakak terhadap kami?" Althea menjawab dengan raut wajah pura-pura sedih. "Aku tidak peduli. Lebih baik kalian pergi dari kamarku sekarang juga. Aku mau di sini sendirian," usir Amayra. "Baiklah, kami akan pergi." Althea tersenyum mengejek ke arah Amayra. "Mari kita pergi dari tempat ini. Kakak tidak suka dengan kehadiran kita. Biarkan Kakak menikmati waktunya sendirian," ucap Althea. Kelima gadis itu segera pergi dari kamar Amayra. Amayra diam-diam mendengarkan. Benar saja, mereka mulai membicarakannya. Juga suara tawa mereka yang semakin lama semakin menjauh terasa sangat mengesalkan untuk gadis itu. "Awas saja, Kalian! Meskipun putri mahkota akan dipilih melalui seleksi sekali pun, akan aku pastikan kalau aku yang akan jadi pemenangnya," ucap Amayra penuh ambisi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN