Tuk tuk tuk.
Suara ketukan di pintu membuat Hera menghentikan tangisannya. Wanita itu dengan cepat mengusap air mata dan memperbaiki riasannya. Akan sangat memalukan jika wanita yang terkenal kuat dan tegas seperti dirinya menangis.
"Masuk!" perintah wanita itu.
"Nyonya, pengawal bilang Ratu hampir sampai," ucap Aster memberikan laporan.
"Baik, aku akan segera keluar," ucap Hera. Aster segera pamit dan kembali ke tempat kompetisi berlangsung.
Setelah siap, Hera segera keluar dari ruangannya. Ia melihat Aurora yang masih menunggu di depan pintu. Hati Hera jadi luluh karenanya, ia merasa melihat dirinya di masa muda dalam diri Aurora. Dia yang pantang menyerah dan begitu tegar.
"Pergilah ke aula! Bergabung dengan peserta yang lainnya. Kamu bisa ikut kompetisi," ucap Hera pada akhirnya.
"Benarkah, Nyonya? Terima kasih, Nyonya. Terima kasih." Wajah gadis itu berubah dalam sekejap. Berubah menjadi semringah dan penuh semangat. Semakin membuat Hera teringat akan masa mudanya. Melihat Aurora sama saja melihat dirinya. Dia yang berjuang mati-matian hanya agar bisa tinggal di istana.
"Pergi cepat atau aku akan berubah pikiran," ucap Hera dengan wajah datar tanpa senyuman.
"Baik, Nyonya. Saya permisi. Sekali lagi terima kasih." Gadis itu membungkukkan tubuhnya beberapa kali sebagai bentuk ucapan terima kasihnya. Lalu ia berlari kecil seperti anak-anak yang penuh semangat.
Hera menggelengkan kepala seraya memijat pelipisnya. "Entah bagaimana caranya Kamu bisa selamat lagi. Entah itu kehendak Tuhan atau bagaimana hingga aku yang keras hati ini pun bisa luluh karenamu."
***
Semua orang menatap malas ke arah Aurora yang baru datang. Tidak ada seorang pun yang bersikap ramah padanya. Namun, tak mengapa bagi Aurora karena yang terpenting adalah ia bisa mengikuti kompetisi sampai akhir. Ia hanya perlu menganggap bahwa dirinya sedang berada di tempat yang asing itu sendirian.
Akhirnya, Aurora duduk di barisan paling belakang. Karena bagian depan sudah terisi penuh oleh peserta.
Tak lama kemudian, wanita cantik nan anggun dan mempesona hadir di tempat itu. Mereka langsung tahu bahwa itu adalah yang mulia ratu saat melihat pengawalan yang cukup ketat dan adanya begitu banyak dayang yang mengikutinya. Para peserta kompetisi dengan segera berdiri menyambut.
Wanita itu naik ke atas panggung dan Hera segera mempersilakan untuk duduk di tempat yang telah disediakan sebelumnya. Ratu Selena pun segera duduk dengan anggun, tersenyum memerhatikan para peserta dengan begitu ramah.
"Beri salam pada Ratu!" perintah Hera.
"Kami mengucapkan selamat pagi kepada Ratu Selena. Semoga yang mulia sehat dan diberi umur panjang." Semua gadis segera bangkit lalu memberikan penghormatan kepada wanita nomor satu di negeri itu.
"Selamat pagi. Salam diterima. Duduklah!" perintah Ratu dengan suara yang begitu lembut. Para gadis segera duduk dengan tenang, berbeda saat hanya ada Hera di sana. Maklum, mereka harus menjaga sikap di depan calon ibu mertua mereka.
"Maaf karena membuat kalian terkejut. Tapi, aku sendiri yang meminta pada Hera agar bisa memberikan tugas untuk kompetisi ini," ucap sang Ratu.
"Anda jangan berkata seperti itu, Ratu. Kehormatan bagi kami bisa mendapatkan perhatian Anda sampai sebesar ini," ucap para gadis secara serentak. Tentu saja mereka dapat mengucapkan bersamaan karena semua kata-kata untuk menyambut dan bebicara dengan ratu sudah mereka pelajari sebelumnya di buku Tata Krama.
Para gadis semakin berdebar menantikan tugas apa yang harus mereka kerjakan. Sungguh, rasanya sangat berbeda saat ratu sendiri yang turun tangan.
"Terima kasih, kalian sudah menghargai saya. Saya akan sedikit bercerita. Akhir-akhir ini, saya merasa kurang sehat. Kepala saya pusing dan tidak ada selera makan. Saya juga kehilangan indera perasa saya. Saya tidak dapat merasakan apa pun saat saya memakan makanan. Jika malam hari tiba, saya tidak bisa memejamkan mata barang sedetik pun. Saya sudah memanggil ratusan tabib bahkan tabib dari pelosok negeri. Namun, tak ada satu pun yang berhasil mengobati saya." cerita sang ratu. Para gadis melihat sendiri, wajah ratu yang pucat.
"Untuk itu, saya ingin memberikan tugas pada kalian ...." Ratu menjeda kalimatnya sebentar. "Buat ramuan atau apa pun itu untuk menyembuhkan sakit saya."
Keadaan jadi sedikit riuh. Sebenarnya tugas macam apa yang diberikan oleh ratu. Jika berpuluh tabib saja tidak dapat menyembuhkan, bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki keterampilan apa-apa.
"Jaga ketenangan! Kalian lupa dengan apa yang saya katakan? Bersikaplah sopan pada ratu!" perintah Hera.
"Hera, tidak perlu terlalu keras. Bukankah kita pernah muda juga seperti mereka?"
"Baik Yang Mulia. Saya hanya ingin mereka tetap menjaga tata krama di depan Anda," ucap Hera.
"Jadi, kesimpulannya, kalian ditugaskan untuk membuat obat untuk ratu berdasarkan gejala-gejala yang tadi ratu katakan. Kalian kami beri waktu seharian penuh untuk meracik bahan-bahan. Terserah, bagaimana kalian membuatnya dan dibantu oleh siapa. Kalian dibebaskan pergi keluar istana untuk mencari bahan-bahannya atau mencari obat itu. Waktunya sampai senja nanti saat matahari tenggelam, kalian harus sudah kembali dengan tugas kalian," ucap Hera.
"Baik, Nyonya."
"Baiklah, dengan ini saya menyatakan jika babak ketiga dimulai." Hera mengetukkan palu, sebagai pertanda.
Para gadis dengan cepat bangkit dan berlarian pergi dari tempat itu untuk membuat ramuan bagi ratu. Memang waktu yang diberikan cukup banyak, seharian penuh. Namun, tugas itu juga bukan tugas yang mudah sehingga mereka bergegas. Mereka tidak ingin membuang waktu yang diberikan barang sedetik pun. Karena semua akan berdampak pada masa depan mereka.
Di antara banyaknya gadis yang menjadi peserta, ada seorang gadis yang justru masih duduk anteng di tempatnya. Sepertinya gadis itu menunggu semua orang pergi dari tempat itu. Begitu aula besar itu kosong, dia mulai berdiri dan berjalan mendekati ratu juga Hera.
"Gadis itu!" Hera hendak menghentikan langkah kaki Aurora yang mendekati ratu. Hera tampak kesal melihat sikap lancang gadis itu, meski di dalam hatinya ia sangat penasaran dengan apa yang ingin Aurora lakukan.
"Biarkan saja, Hera. Aku sangat penasaran dengan gadis ini. Apa yang ingin dia lakukan dengan mendekati kita. Apakah dia ingin mencari simpati kita atau bagaimana," ucap ratu dengan tenang.
"Tapi, Ratu ... lancang sekali dia!"
"Tidak apa-apa. Biarkan dia mendekat. Mari kita lihat, apa yang akan dia lakukan," ucap Ratu Selena.
"Saya Aurora memberi salam." Aurora bersimpuh memberikan salam pada wanita nomor satu di negeri itu.
"Salam saya terima. Kenapa Kamu masih ada di sini saat semua peserta yang lain telah pergi. Bukankah Kamu harus bergegas? Katakan, apa maumu hingga masih berada di tempat ini," ucap ratu dengan wajah datar.
"Ratu, saya memiliki permintaan. Bisakah Ratu mengabulkannya?" pinta Aurora dengan kedua tangan yang terkatup di depan d**a.
"Lancang, Kamu! Siapa Kamu hingga berani meminta pada Ratu!" bentak Hera sangat marah. "Apakah ini caramu hingga bisa sampai di posisimu saat ini?"
"Hera, dengarkan dulu apa permintaannya. Biarkan saja. Dia rakyatku, dia memiliki hak untuk meminta sesuatu dariku," ucap Ratu Selena dengan bijak. " Katakan apa permintaanmu itu."
"Ratu, maafkan jika saya lancang. Tapi bolehkah saya meminta izin ... untuk memeriksa kondisi ratu?" tanya Aurora.
"Apa? Kamu!" Hera semakin marah mendengar permintaan Aurora hingga wajah wanita itu merah padam.
Tentu saja Hera marah. Karena dengan memeriksa ratu, itu artinya Aurora akan menyentuh tubuh wanita paling terhormat di Nirvana itu.
"Lakukan!" Di luar dugaan, ratu menyetujuinya.
Apa yang ratu ucapkan membuat Hera sangat terkejut. Ratu paling agung di Nirvana mengizinkan seorang gadis menyentuh dirinya.
"Tapi, Ratu ... ini bisa dikatakan tidak adil. Hanya dia yang memeriksa ratu sementara yang lainnya berusaha membuat ramuan hanya berdasarkan mendengar gejala yang ratu katakan," ucap Hera.
"Aku mengizinkan siapa pun memeriksaku, tetapi mereka tidak melakukannya. Hanya dia yang memiliki inisiatif seperti ini. Jadi ini bukan salah dia kan?"
"Tapi, tetap saja ...." Ratu Selena mengangkat tangannya meminta agar Hera membiarkannya.
"Baiklah, silakan periksa ratu," ucap Hera meski tak suka.
Hera segera memberikan kode pada pengawal yang berjaga agar keluar dari tempat itu. Para pengawal segera keluar dan menutup pintu rapat-rapat. Kini, hanya ada mereka bertiga di tempat yang sangat luas itu.
Hera memanggil Aurora agar gadis itu mendekat. Gadis itu mulai berjalan dengan berjongkok sampai singgasana ratu. Begitu sopan dan luwes, membuat Hera sedikit kagum karenanya. Dari mana gadis itu mendapatkan pengetahuan kuno seperti itu.
"Ratu, saya Aurora meminta izin untuk memeriksa ratu," ucap gadis itu setelah duduk di samping ratu Selena.
"Saya izinkan Kamu, Aurora," jawab sang ratu dengan suara lembut.
Aurora mulai memeriksa denyut nadi sang ratu. Lalu memeriksa bagian tubuh yang lainnya. Hera tampak keberatan, tetapi tidak dapat melakukan apa-apa. Karena ratu sendiri yang telah memberikan izin.
Setelah pemeriksaan selesai, Aurora tampak tersenyum. Pikirannya terbuka begitu memeriksa ratu. Sepertinya ia tahu apa obat yang tepat untuk mengobati wanita itu.
"Kenapa Kamu tersenyum seperti itu?" tanya Hera.
"Karena saya sudah tahu obat yang tepat untuk Ratu," jawab Aurora penuh keyakinan.
"Kamu jangan bercanda! Bahkan tabib hebat pun tidak bisa menemukan keganjilan di tubuh ratu meski telah berulang kali memeriksa. Bagaimana bisa gadis muda sepertimu tahu?" tanya Hera meremehkan Aurora.
"Hera! Dengarkan dulu apa ucapannya," ucap ratu Selena. "Benarkah Kamu bisa mengobatiku?"
Aurora mengangguk yakin. "Tapi, Ratu. Untuk indera perasa ratu saya tidak bisa memastikan jika hal itu bisa kembali secara cepat. Mungkin dalam waktu tiga hari sampai seminggu baru akan membaik."
Ratu mengangguk-angguk, wanita itu tampak penasaran pada sosok Aurora. "Baiklah, aku akan mencoba pengobatan darimu. Buatkan aku obat itu. Tapi Kamu hanya memiliki waktu satu jam. Jika Kamu berhasil membuat sakit kepalaku ini hilang, maka Kamu akan langsung terpilih menjadi putri mahkota dan kompetisi akan dinyatakan selesai. Namun, jika Kamu gagal, maka Kamu harus bersiap untuk mendapatkan hukuman berat."
"Baik, Ratu. Saya setuju. Saya akan menyelesaikannya dalam waktu kurang dari satu jam." Kedua wanita itu tampak terkejut mendengar ucapan Aurora yang begitu percaya diri. "Saya ingin mengajukan permintaan lagi, Nyonya."
"Apa itu, katakan!"
"Karena waktu terus berjalan dan saya hanya memiliki sedikit waktu, saya ingin meminjam dapur istana untuk meracik obat ini. Izinkan juga saya untuk menggunakan tanaman di kebun istana," ucap gadis itu dengan sopan.
"Baik, saya izinkan."
"Terima kasih, Ratu. Terima kasih!" Wajah gadis itu berseri-seri saat ratu memberikan izin. Aurora berharap pemeriksaannya tidak salah dan ia berhasil menyembuhkan sang ratu.