"Kak! Tidakkah Kakak merasa ini sangat aneh?" tanya Aurora yang tak bisa lagi menahan rasa penasarannya.
Kedua gadis itu baru saja berbicara dengan Hera dan akan kembali ke kamar. Namun, sejak keluar dari ruang kerja Hera, Aurora tampak murung dan memikirkan sesuatu yang mengganjal di hatinya.
"Aneh apanya? Kita harusnya bersyukur karena kita tidak didiskualifikasi. Tapi Kamu malah berpikiran yang tidak-tidak," ucap Amayra kesal.
"Tapi Kak ...."
"Sudahlah, Rora! Aku terlalu lelah untuk membicarakan hal ini. Padahal ini salahmu karena tidak pandai membuat tulisan yang berbeda. Harusnya Kamu membuat gaya tulisan yang berbeda agar kita tidak ketahuan. Tapi Kamu justru sengaja membuatnya sama dan membuat kita hampir saja terseret ke dalam masalah besar." Amayra melemparkan semua kesalahan kepada Aurora. Padahal kenyataannya sudah jelas, dirinya yang sebenarnya curang dengan merebut lembar jawaban milik Aurora.
"Lebih baik aku pergi ke depan untuk melihat bunga sakura daripada memikirkan ucapanmu yang tidak ada gunanya. Siapa tahu, putra mahkota akan muncul dan terpesona padaku," ucap Amayra seraya tersenyum sendiri karena khayalannya yang melambung tinggi.
Gadis itu lantas berbalik arah dan ingin pergi ke halaman istana. Aurora mengikuti langkah kaki sang kakak. Sepertinya ia juga butuh udara segar.
***
Halaman utama yang begitu indah. Semua tertata rapi. Sekeliling tempat itu penuh dengan pohon bunga sakura yang sedang bermekaran. Warna pink dari bunga cantik itu berhasil membuat pikiran Aurora dan Amayra sedikit lebih segar. Rasa lelah dan stres karena beratnya kompetisi ini jadi menghilang dalam sekejap mata. Mereka begitu nyaman menikmati udara segar dan pemandangan yang begitu menakjubkan.
"Bukankah itu Kak Alora dan yang lainnya?" tanya Aurora saat tanpa sengaja menatap ke arah gerbang utama.
"Kamu benar. Astaga ... jadi mereka gugur dan harus pulang ya?" Amayra tak dapat menyembunyikan tawa kebahagiaannya saat melihat ketiga adiknya menenteng barang-barang. Itu artinya, mereka gagal dan harus pulang.
"Kasihan sekali mereka. Pasti mereka sedih dan kecewa," ucap Aurora tulus.
"Untuk apa bersedih? Namanya juga kompetisi, jadi ada yang menang dan ada yang kalah dong," ucap Amayra sinis.
"Iya juga sih. Kalau begitu, aku mau kirim salam untuk Ayah dan bunda." Gadis itu berniat menghampiri saudaranya yang lain.
"Kamu tidak lihat? Mereka sedang bicara dengan Althea. Bisa-bisa kamu kena marah jika menyela percakapan mereka." Amayra menghentikan langkah kaki Aurora.
"Kakak benar." Akhirnya, Aurora hanya bisa menatap mereka dari kejauhan dengan perasaan yang sedih. Mereka di tempat asing itu menjadi seperti orang asing. Seolah tidak mengenal satu sama lain. Padahal ada satu hal yang masih mengikat, yaitu fakta bahwa mereka memiliki darah yang sama. Mereka adalah saudara.
***
"Kak, Kakak harus menang. Kak Thea dan Kak Sara harus mengalahkan Kak Amayra dan si bodoh," ucap Alora.
"Iya, Kak. Buktikan pada mereka berdua kalau kita lebih hebat," ucap Alodia seraya tersenyum sinis ke arah Amayra dan Aurora yang berdiri cukup jauh dari mereka. Ternyata Aurora menyadari tatapan Alodia. Karena gadis itu diam-diam juga memperhatikan mereka dari kejauhan.
"Tentu saja kakak harus menang, kami akan selalu mendukung Kak Thea dan Sara. Bawa kemenangan untuk kita. Kami tak peduli siapa yang menang. Entah itu Kak Thea atau Sara. Di antara kalian harus ada yang membuat ayah dan bunda bangga. Di antara kalian harus ada yang menjadi pemenangnya," ucap Agni.
Ketiga gadis itu tengah berpamitan pada Althea dan Apsara yang masih bertahan dan harus tinggal di istana sampai beberapa hari ke depan. Ya. Alora, Alodia, dan Agni harus pulang karena tersingkir di babak kedua. Mereka gagal karena tidak dapat menjawab dengan baik.
Ketiga gadis itu telah mengemasi barang-barangnya dan bersiap untuk pulang. Hanya tinggal menunggu kereta kuda milik keluarga Athura datang menjemput mereka.
"Tentu saja. Aku akan bawa kemenangan untuk kalian. Kalian juga harus mendoakan supaya aku menang," ucap Althea dengan penuh percaya diri.
"Kak, sepertinya aku melihat sesuatu yang ganjil. Kakak harus hati-hati," ucap Alora memperingati.
"Maksudmu apa Lora?" tanya Althea tak mengerti.
"Yang harus Kak Thea waspadai bukan Kak Amayra. Tapi yang harus Kak Thea waspadai adalah si bodoh yang dungu itu. Aku merasa dia hanya pura-pura bodoh saja. Lihat saja, sikapnya akhir-akhir ini. Saat ini dia juga terus mengawasi kita." Alora masih menatap tajam Aurora. Althea dan yang lainnya melirik sebentar ke arah Aurora. Hanya sebentar saja karena setelah itu mereka memalingkan wajah dan membelakangi si bungsu. Seolah-olah mereka tidak mengenali Aurora.
"Dia? Aku harus waspada padanya? Dia memangnya bisa apa?" Althea menertawakan Aurora.
"Jangan meremehkannya, Kak. Kakak ingat peribahasa 'air tenang menghanyutkan'? Yah, mungkin itu perumpamaan yang cocok untuk Rora. Coba Kakak pikir kembali. Bagaimana bisa gadis lugu dan bodoh seperti dia bisa sampai ke babak ketiga. Padahal persaingan ini sangat ketat, loh. Apalagi babak kedua ini, sangat sulit dan hanya beberapa orang yang mampu menjawab. Lihat saja! Aku dan yang lainnya saja tersingkir karena tidak dapat menjawab. Sedangkan dia? Dia bahkan tampak begitu tenang dan penuh keyakinan," ucap Alora.
Althea tampak berpikir. Hati gadis itu meragu, antara ingin percaya dan tidak. Sebentar kemudian gadis itu baru buka suara. "Apa iya begitu? Bisa jadi dia yang meniru Kak Amayra, kan? Kalian lihat sendiri dia menempel terus pada kakak tertua."
"Kak Thea salah! Buka mata Kakak baik-baik. Bukan Rora yang menempel pada Kak Amayra. Tapi justru Kak Amayra yang terus saja menempel pada Rora. Lagipula dengan sifat Kak Amayra yang egois itu, maukah dia membantu Aurora dalam kompetisi? Tidak! Aku yakin tidak." Kini Alodia ikut bersuara. Ucapan Alodia menyadarkan Althea bahwa semua yang dikatakan saudaranya benar adanya.
"Kamu benar juga, Dia. Mungkin benar kata kalian. Tapi, sepertinya aku tidak perlu khawatir. Dia bisa apa sih? Dia kan hanya si dungu yang mudah kita bodohi," ucap Althea.
"Yah, pokoknya Kak Thea harus hati-hati. Kakak harus berjuang sekuat tenaga. Kami akan selalu di pihak kakak. Oh ya, kereta telah sampai. Kalau begitu kami pergi dulu," ucap Agni ketika kereta kuda keluarga Athura berhenti tak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Baik. Kalian hati-hati di jalan, ya." Althea melepas kepergian para saudaranya. Mereka mengiyakan lalu segera berjalan menuju kereta kuda di mana seorang kusir telah menunggu.
"Kak! Kak Lora! Kak Agni! Kak Dia!" teriak Aurora tiba-tiba berlari mengejar para kakaknya saat ketiga gadis itu ingin pergi. Mereka lantas menghentikan langkah kaki mereka dan menoleh. Bukan itu saja, mereka tak jadi naik ke atas kereta dan malah menunggu gadis itu.
"Kenapa teriak-teriak?" tanya Alora dengan ketus setelah Aurora berdiri di hadapan mereka.
"Anu, itu ...."
"Aku kira Kamu sudah tidak menganggap kami saudara lagi." Alodia tak kalah sinis.
"Bukan begitu, Kak ...."
"Dasar sombong! Hanya gara-gara Kak Amayra memberikan sedikit hatinya padamu, Kamu jadi tidak mau menegur kami. Di depan banyak orang bertingkah seolah kita tidak saling kenal. Jangan pikir kalau Kamu benar-benar mendapatkan perhatiannya. Lihat saja! Nanti Kamu akan dibuang seperti dia membuang kami," ucap Agni membalikkan kenyataan. Padahal dirinya dan saudara yang lainnya yang pura-pura tidak mengenali Aurora dan Amayra.
"Kak, maafkan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu." Aurora merasa sangat bersalah saat mendengar ucapan para saudaranya.
"Alah! Pura-pura polos lagi!" tuduh Alora.
"Iya, Kamu benar-benar pemain drama yang handal. Pintar bersandiwara! Ya sudah, mari kita pulang. Kita tinggalkan saja gadis tak tahu diri ini," ucap Agni seraya menarik tangan Alora, mengajak gadis itu untuk bergegas masuk ke dalam kereta.
"Tunggu, Kak. Aurora mau minta tolong." Akhirnya terucap juga permintaan dari bibir gadis itu.
"Iya, apa? Cepat katakan!" bentak Alodia.
"Rora ... Rora kirim salam untuk Ayah dan Bunda. Katakan pada ayah dan bunda kalau Rora rindu. Maafkan jika Rora belum bisa pulang," ucap gadis itu dengan terbata-bata.
"Enak saja! Kami bukan pesuruh Kamu. Jika Kamu mau kirim salam, Kamu pulang sendiri sana," ucap Alodia yang disusul tawa kedua saudaranya. Bahkan, Althea dan Apsara ikut menertawakan Aurora.
"Mari kita pergi! Tidak perlu meladeni gadis menyebalkan seperti dia." Agni merangkul kedua gadis itu dan mengajaknya segera naik kereta. Tak lama kemudian, kereta meninggalkan halaman istana juga Aurora yang tampak kecewa.
Hati gadis itu sangat kecewa dan sedih. Dulu, ia selalu menuruti apa perkataan kakak-kakaknya. Selalu menurut meski mereka memberikan tugas berat sekali pun. Sekarang, ia hanya meski mengirim salam untuk kedua orang tuanya karena rindu. Namun, mereka bahkan tidak mau melakukan hal seremeh itu untuknya. Sungguh Aurora sama sekali tidak mengerti jalan pikiran saudaranya yang hanya mau menerima tanpa mau memberi.
"Hei! Kenapa bersedih? Aku sudah bilang, jangan pernah bicara lagi dengan mereka. Hanya akan sia-sia. Lihat Kamu terluka kan karena diremehkan. Ayo, kita masuk ke kamar saja. Kita belajar atau beristirahat saja," ucap Amayra yang tiba-tiba menghampiri adiknya. Aurora mengangguk kecil, dengan patuh ia mengikuti langkah kaki kakak tertua untuk kembali ke kamar.
Gadis itu datang bak pahlawan yang menghibur hati Aurora yang sedang sedih. Padahal dalam hatinya, Amayra sangat bahagia melihat Aurora terpuruk begitu. Amayra akan melanjutkan sandiwaranya sampai akhir. Ia harus membuat Aurora terdepak dari kompetisi ini dan dia yang akan memenangkannya. Hanya dia yang boleh menjadi putri mahkota, begitu pikirnya.
"