BAB 53

1871 Kata
“Aku, Raja Phillips, penguasa Nirvana telah menetapkan bahwa putra mahkota Kairos dan putri Aurora telah resmi bertunangan. Pernikahan mereka akan dilangsungkan sebulan lagi terhitung sejak hari ini. Selama itu pula, mereka tidak diizinkan bertemu seperti tradisi nenek moyang terdahulu.” Semua orang bertepuk tangan, ikut merasa bahagia dengan keputusan raja. “Ingat! Jangan pernah merindukanku sampai hari pernikahan kita,” goda Kai seraya menyenggol gadis yang duduk di sampingnya dengan sikutnya. “Harusnya yang berkata seperti itu adalah aku. Kamu jangan melanggar aturan dan diam-diam menemui aku,” ucap Aurora seraya mengerucutkan bibir. Kai tertawa, gadis itu memang paling paham tentang dirinya. Pria itu lantas mendekatkan wajahnya dan berbisik, “ Aku akan menemuimu dengan wujud yang berbeda. Jadi tidak masalah, bukan?” “Kai! Jangan nakal!” Aurora memelototkan matanya, memberi peringatan pada pria tersebut. Kai tertawa bahagia melihat wajah Aurora yang menggemaskan. “Mau bagaimana lagi? Aku merindukanmu siang dan malam. Jujur saja, Kamu juga sama kan? Selalu merindukan aku siang dan malam?" “Kai!” Gadis itu kembali tersipu karena ulah tunangannya. Tak mau Kai terus mengejeknya ia berlari menuju kamarnya menahan rasa malu. Kai semakin senang melihat ekspresi langka gadisnya. Pria itu masih sempat melambaikan tangan pada calon istrinya. Saat Aurora menoleh, pria itu berbisik lagi. “Sungguh, aku akan sangat merindukanmu.” Semkin panas wajah Aurora akibat ucapan pria tersebut. Ia berlari semakin kencang meninggalkan Kai. Bersamaan dengan itu, semua tamu mulai membubarkan diri, sedangkan orang tua Kai dan Aurora tampak masih membicarkan kelanjutan kisah anak-anak mereka. “Putra Mahkota, bisakah kita bicara sebentar?” Seorang gadis datang pada Kai. Amayra, gadis itu memberanikan diri menemui Kairos setelah acara pertunangan selesai. Kai menoleh, dengan wajah datar pria itu mengangguk. Ia ingin melihat drama apa lagi yang akan dibawakan oleh kakak sulung Aurora tersebut. Keduanya berjalan sedikit menjauh dari orang tua mereka. Di sudut ruangan itu, Kai mempersilakan Amayra mengatakan keinginannya. Kai hanya tidak ingin orang tuanya mendengar pembicaraan mereka, sementara Amayra berpikiran lain. Gadis itu mengira jika Kai mempunyai ketertarikan padanya sebagai laki-laki. “Silakan bicara!” perintah pria itu dengan tenang. “Saya ... saya ingin minta maaf. Saya tidak bermaksud untuk menjelekkan Aurora. Tapi ucapan saya tentang pria itu bukanlah sebuah kebohongan. Bahkan mereka pernah bertemu di sungai." Gadis itu belum mau berhenti membicarakan tentang pria yang Aurora temui. Arya diam-diam semakin tidak menyukai Amayra yang penuh drama. “Oh ya? Kenapa tadi Kamu tidak mengatakannya? Mau bagaimana lagi kami sudah terlanjur bertunangan," ucap Kai dengan memasang wajah sedih. “Sa-saya terlalu takut untuk mengatakannya," ucap gadis itu seraya menundukkan kepala. ‘Dasar wanita ular! Pintar sekali Kamu bersandiwara, batin Kai. “Kenapa harus takut? Kalau Kamu benar, katakan saja. Tidak perlu takut," ucap Kai. “Saya tidak ingin mempermalukan si bungsu. Maka dari itu, saya akan mengatakan semua pada Anda saja, Putra Mahkota. Karena saya benar-benar tidak ingin Anda menyesal.” 'Tidak mempermalukan? Lalu apa yang tadi Kamu lakukan di depan semua orang? Kai sungguh muak dengan gadis yang berdiri di hadapannya itu. Kai menggaruk alisnya, pura-pura kebingungan. “Aduh, bagaimana? Semua sudah ditentukan dan tidak bisa dibatalkan.” “Apakah Anda mau saya mengatakan kepada baginda raja? Agar baginda membatalkan pertunangan dan pernikahan kalian?” “Ah, tidak perlu. Sebenarnya saya ingin mengatakan sesuatu hal pada Anda juga Nona Amayra. Sudikah Anda mendengarkannya?" “Katakan saja Putra Mahkota. Saya akan mendengarkan ucapan Anda baik-baik," ucap Amayra dengan lemah lembut. “Benarkah Anda tidak keberatan Nona?” Kai pura-pura tidak enak. “Tidak apa-apa, Putra Mahkota. Katakan saja." Amayra tidak sabar menantikan hal apa yang akan Kairos katakan. Kai mendekatkan wajahnya seolah akan mencium Amayra. Membuat gadis itu besar kepala, sampai-sampai memejamkan mata. Namun, wajah gadis itu berubah menjadi pucat pasi setelah mendengarkan ucapan Kairos. “Apa Kamu tahu Nona Amayra? Pria yang kamu maksud saat acara tadi adalah aku." Kai sengaja mengungkap jati dirinya. "Tidak mungkin!" sangkal amayra dengan wajah pucat. “Lihatlah.” Kai lantas mengubah wujudnya menjadi buruk rupa seperti saat di sungai waktu itu. "Ini adalah wajah yang Kamu lihat di sungai waktu itu." "Tidak! Tidak!" Amayra dengan cepat menutup mulutnya dengan tangan. Pekikan gadis itu tertahan karena masih ada banyak orang di sana. Ia tak ingin menimbulkan masalah lagi. “Kamu sudah melihatnya sendiri kan? Pria itu adalah aku. Dan saaat itu kalian sudah menolakku mentah-mentah. Mengatakan bahwa aku hanya pria buruk rupa yang tak sebanding dengan kalian. Dan aku berterima kasih, karena kalian mendoakan aku agar bisa menikah dengan Aurora. Ah ya satu lagi ....” Pria itu melanjutkan kata-katanya yang panjang lebar. “Baiklah, Nona. Saya tidak ingin membicarakan hal ini lagi. Jika ada sesuatu hal, Nona bisa membicarakannya pada bunda ratu atau ayahanda raja." Setelah berkata demikian, Kai meninggalkan Amayra berdiri mematung dengan wajah pucat sendirian di sana. Tubuh wanita itu bergetar hebat, ia begitu ketakutan. Perkataan putra mahkota terngiang-ngiang di kepalanya. 'Tidak perlu berpura-pura baik di hadapanku. Karena aku sudah tahu wajah apa yang tersembunyi di balik kecantikanmu itu. Dasar wanita ular! Kamu pikir aku tidak tahu apa yang Kamu dan saudara-saudaramu lakukan pada Aurora? Kalian berenam selalu menyiksanya. Bahkan aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri saat kalian membuangnya ke sungai. Kira-kira hukuman apa yang akan kalian dapatkan saat raja tahu kalau ada enam bersaudara yang tega mencelakai saudara kandungnya di negeri ini?" Wajah Amayra semakin pucat seperti mayat hidup. "Jangan macam-macam lagi. Jangan berpikir untuk mengacaukan pertunangan apalagi pernikahanku dengan Aurora atau Kamu akan menanggung akibatnya.” Kai mengancam Amayra sebelum pria itu bergabung kembali bersama kedua orang tuanya. Setetes air mata membasahi wajah cantik gadis itu. Kedua barisan giginya yang ia eratkan menimbulkan bunyi gemeretuk. Dendamnya pada Aurora semakin besar dan membara. “Aurora! Jika aku tidak bisa mendapatkan putra mahkota. Maka Kamu pun tidak akan bisa. Aku bersumpah akan melakukan segala cara untuk menghancurkanmu." *** Balai kerajaan telah dipenuhi oleh para petinggi kerajaan. Suasana rapat kali itu cukup kisruh karena berita yang dibawa oleh penjaga perbatasan. Ada kerajaan negeri lain yang menyerang dengan puluhan ribu pasukan. Sementara itu, Athura orang yang raja Phillips andalkan sedang mengatasi pergolakan di sebuah wilayah bagian. Entah bagaiman hal ini bisa terjadi, sepertinya musuh mengetahui tentang pergolakan itu hingga berani menyerang secara terang-terangan. Mungkin saja ada seorang penyusup yang masuk ke negeri itu atau lebih parahnya ada seorang pengkhianat yang diam-diam. Sayang, tak ada bukti maupun petunjuk tentang hal itu. Semua orang begitu mengkhawatirkan nasib Nirvana yang di ujung tanduk. Sementara pasukan yang tersisa tidak terlalu banyak, di kerajaan itu tidak ada orang yang mumpuni selain Athura. Tak seorang pun yakin dan mau turun ke medan perang. “Bagaimana ini, Paduka? Kami mengharapkan kebijaksanaan Anda,” ucap salah seorang menteri. “Iya, Paduka. Keadaan sangat genting sekali. Bagaimanapun caranya kita harus segera mengatasinya," ucap menteri yang lainnya membenarkan. “Bagaimana jika kita tarik saja pasukan dari wilayah yang terjadi pergolakan. Juga menmanggil kembali menteri Athura dari sana dan mengirimnya ke medan perang.” Menteri yang lainnya ikut menyampaikan pendapat. “Bagaimana ini, Paduka?” Suara lain ikut terdengar. “Bagaimana?”Kembali, desakan itu memekakkan telinga Athura. Ucapan para menteri terngiang-ngiang di telinga raja Phillips, membuat kepala pria nomor satu di Nirvana itu sangat pusing. Raja duduk di atas singgasana, menopang dahinya, sesekali memijatnya. "Kami memerlukan keputusan Anda secepatnya, Yang Mulia." Keadaan semakin riuh membuat kepala raja Philips semakin pusing dibuatnya. "Cukup!" Pria itu menunjukkan telapak tangannya, meminta para menteri agar diam. "Keamanan negara ini adalah tanggung jawab kita semua. Kenapa Kalian dengan egoisnya mendesak aku, memaksa aku membuat keputusan? Harusnya Kalian pikirkan juga jalan keluar yang terbaik. Kenapa di kepala kalian hanya ada ide yang menguntungkan bagi diri kalian saja? Kalian pikir semudah itu menarik Athura dari wilayah pergolakan? Lagipula, Athura sudah terlalu lelah mengatasi keadaan di sana. Bagaimana bisa aku dengan kejamnya meminta dia kembali untuk berperang," ucap raja Phillips dengan wajah memerah menahan amarah. Para menteri seketika terdiam dan mulai tenang. Mereka tidak menyangka raja mereka akan semarah itu. Karena selama ini, hanya Athura dan pasukannya yang akan bergerak saat situasi sedang genting. "Kalian ada banyak. Kalian juga memiliki pasukan pribadi. Jangan kira aku tak tahu. Tapi apa yang Kalian lakukan? Hanya melimpahkan tanggung jawab ini padaku dan Athura. Di mana nurani kalian?" Raja Phillips kembali berucap dengan d**a kembang kempis. Ia menganggap, keamanan Nirvana adalah tanggung jawab bersama. Namun, sepertinya para petinggi kerajaan menganggap bahwa semuanya hanya akan menjadi tanggung jawabnya dan Athura. "Maafkan Kami, Yang Mulia." Semua menunduk ketakutan. "Misalkan aku mengirim kalian ke sana. Memaksa Kalian meninggalkan kemewahan ini, apa Kalian bersedia?" Semua orang terdiam seolah bisu. Raja Phillips semakin murka dibuatnya. "Jawabannya sudah pasti tidak." "Sudahlah, aku yang akan pergi berperang. Rapat selesai." Menurut raja, tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Berapa lama pun pertemuan itu diadakan tak akan ada jalan keluar selama para petinggi hanya mementingkan kepentingan masing-masing. "Jangan berkata seperti itu, Yang Mulia." Semua menteri menyesal, karena membuat raja marah. "Keputusanku sudah bulat. Putra mahkota akan menggantikan aku untuk sementara waktu." Keadaan semakin kacau karena keputusan raja. Mereka mulai berpikir apa artinya Nirvana sendiri jika raja akan meninggalkan tahta dan pergi berperang? "Tidak, Ayahanda. Ayahanda tidak boleh pergi ke mana-mana. Banyak orang lain yang dapat menggantikan ayahanda pergi. Seorang raja sudah pasti harus berada di atas singgasananya menjaga tahta dan kerajaan. Sudah menjadi tugas para pengikut Ayahanda. Namun, jika seorang pun tidak ada yang mau melakukannya. Biar Ananda yang pergi ke medan perang. Menggantikan Tuan menteri perang, Athura." Tiba-tiba saja putra mahkota datang saat situasi begitu rumit. Semua orang menundukkan kepala, merasa sangat malu. Namun, nyali mereka terlalu ciut untuk pergi. Mereka tidak ingin istri mereka menjadi janda dan anak mereka menjadi yatim. Meski mereka memiliki kekuatan dan sihir sekalipun, pasukan negara lain tak kalah hebat. Hal itulah yang mereka takutkan. “Tidak, Nak. Hari pernikahanmu sudah dekat, sangat tidak baik jika Kamu bepergian jauh. Kamu tinggallah di istana menjaga tahta ini demi ayah.” Tentu saja Phillips tidak akan membiarkan putra mahkota turun ke medan perang. “Tidak, Ayahanda. Kai tetap ingin pergi ke sana. Kai ingin membaktikan diri kepada ayah dan negara. Membuktikan bahwa Kai pantas menjadi putra Ayahanda." “Tapi, Nak ....” “Calon pemimpin tidak boleh pengecut. Calon pemimpin harus kuat, berani, dan gigih berjuang. Berikan titah paduka, Ananda akan berangkat hari ini juga," ucap Kai. Raja Phillips merasa dilema, pernikahan Kai akan berlangsung seminggu lagi, sangat bresiko jika pria itu pergi. Namun, di sisi lain. Ia sangat memerlukan bantuan putranya karena tidak ada seorang pun yang bersedia pergi. “Ayahanda, jangan pernah meragu. Doakan saja putramu ini agar selamat dan membawa kemenangan untuk negeri kita.” "Ayahanda, berikan titah Baginda," pinta Kai. Raja Phillips tampak cemas dan gelisah. Ia masih memikirkan cara lainnya. Namun, tak ada satu pun cara yang menurutnya bisa diterapkan. Pada akhirnya, raja Phillips harus merelakan Kai pergi ke medan perang. “Baiklah. Dengan ini, aku raja Phillips, penguasa Nirvana, memerintahkan kepada pangeran Kairos untuk maju ke medan perang dengan pasukan yang tersisa di kerajaan kita.” Dengan setengah hati, raja Phillips menurunkan titahnya. “Panjang umur yang mulia. Panjang umur Putra Mahkota.” Semua menteri bersujud, memberikan penghormatan kepada penguasa negeri mereka. Sang raja hanya bisa mengembuskan napas kasar. Merasa berat melepas Kairos yang belum berpengalaman ke medan perang. Apalagi saat pernikahan pria itu sudah sangat dekat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN