17. MENGAWASI DARI JAUH!

1535 Kata
Sama seperti saat hari Natal. Juan mengikuti kemana Cecil pergi. Ibadah dimana dan duduk di sebelah mana. Juan memilih tempat yang sulit di jangkau oleh gadis remaja itu. Pun ketika siang hari. Saat Cecil sedang berjalan ke keramaian untuk menikmati suasana tahun baru di tepi danau. Cecil menatapnya dengan sendu. Dia berada di keramaian tapi hatinya sepi. Puas dengan pemandangan itu, Cecil berjalan pelan ke hotel dan masuk kamar. Dia merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata. Gambaran suasana tahun lalu muncul di pelupuk matanya. Perayaan tahun baru di rumah nenek di Jogja. Mereka berkumpul bersama dengan sanak saudara yang ada di sana. Barbeque dan saling bercanda riang. Merek muda mudi saling mengejek dan saling bongkar kekurangan. Tidak ada yang sakit hati malah mereka tertawa saat rahasia keburukan yang ingin di simpan rapat akhirnya terbongkar. "Aku rindu suasana tahun lalu," gumamnya masih dengan mata tertutup. Ada tetesan air mata dari sudut matanya. Jujur saja dia sangat rindu. Dia ingin pulang, dia ingin bertengkar dengan abang-abangnya. Dia ingin makan masakan bi Yani. Semuanya, semua dia rindukan apa yang ada di rumahnya. Tapi, bagaimana jika orang tua dan keluarganya tidak merindukan dirinya? "Akh, kok melow gini sih. Dengan yah Cil, sekali loe milih untuk pergi tah harus pergi. Pantang mundur. Pantang pulang sebelum berhasil." Karena lelah berpikir dan juga ngantuk karena kurang tidur tadi malam, Cecil akhirnya terlelap hingga malam hari. ***** "Terima kasih atas kunjungannya. Kami tunggu kehadirannya kembali, mbak," ucap resepsionis hotel itu pada Cecil usai Cecil selesai proses check out. Cecil mengangguk dan membalas senyum petugas itu. Dia yang datang ke pulau ini hanya dengan tas ransel kini akan pulang dengan koper ukuran besar. Saat di samosir, dia belanja banyak cemilan buatan rumahan. Dia membeli beberapa buah tangan. Disini juga begitu. Ada banyak cemilan memenuhi kopernya. Cecil naik mobil dan di antar ke bandara. Semua proses itu di lakukan juga oleh Juan. Juan memakai topi untuk menghindari Cecil. Walau tidak duduk berdekatan, tapi Cecil tetap satu pesawat dengan Juan. Juan sedikit tak habis pikir pada diri sendiri dan bertanya-tanya kenapa dia malah mengikuti gadis asing itu. Kenalan bukan, saudara juga bukan. Dari pengintaian itu, Juan jadi tahu dimana gadis itu tinggal.Dia berputar dan menyewa kamar hotel untuk beristirahat. ***** "Dia kabur dari rumah empat bulan lalu. Sekarang hidup mandiri di pinggir kota. Sudah mendaftar di sekolah N." "Hmmm, cari kan satu orang pengawal untukku dan utus untuk mengawasi Cecil," jawab Juan sambil membuka bajunya. Dia hendak mandi ketika panggilan masuk dari temannya Bonur. "Dia siapanya loe, sih?" "Ck, banyak tanya, just do it!" "Loe sekarang suka yang masih piyik-piyik yah setelah di tinggal nikah. Mau cari sensasi baru loe? Sempit lah itu pasti. Pasti syedep," lanjut Bonur terkekeh. Juan si lajang tua itu mau ngapain coba sampai sewa pengawal untuk remaja SMA kalau bukan ada sesuatu. Keluarga? Bukan. Sahabat? Tidak mungkin. Pacar? Bisa jadi. Papa gula bayi gula? Bisa jadi. Antara dua kemungkinan terakhirlah. "Mulut mu Bonur!" geram Juan. Jika saja dekat, sudah pasti dia akan menoyor kepala Bonur. "Hahaha, nape? Malu loe ketahuan sama gue? Udahlah, gue bisa tutup mulut kok. Nggak usah khawatir. Nggak bakal ada yang tau loe berubah jadi pedofiel sekarang." Bonur semakin menjadi-jadi. Seharusnya mereka membahas ini sambil minum kopi bersama agar dia bisa melihat wajah Juan yang memerah karena geram bercampur malu dan sedikit emosi. "Bukan bonur. Hanya saja..." "Hanya saja?" tanya Bonur semakin penasaran karena Juan menghentikan kalimatnya. Sumpah, Bonur sangat kepo sekarang. "Nanti kapan-kapan aku cerita. Sekarang cari yang aku minta tadi. Pastikan orangmu bisa menjaga Cecil. Jangan sampai dia kembali ke club atau bergaul dengan orang-orang dewasa." Kan kan, semakin membuat penasaran saja. Bonur sangat geram karena Juan tetap tidak mau mengatakan apa hubungan mereka. "Loe dimana sekarang?" tanya Bonur sedikit emosi. "Kenapa?" "Gue mau susul. Gue mau tonjok muka loe sampe benyek. Kesal gue." "Ck, ntar juga kamu bakal tau Nur." "Sekarang aja! Biar gue bisa atur dan kasih perintah sama orang gue nanti." Hening sejenak. Haruskah Juan mengatakannya? Uh... malu sekali. "Kayaknya dia pergi dari rumah gara-gara aku. Makanya aku mau bertanggung jawab karena dia masih remaja yang butuh bimbingan orang tua." "Kenapa nggak loe bawa aja dia tinggal sama loe kalo loe mau tanggung jawab." Terdengar suara hembusan napas Juan. Dia seperti orang yang punya beban hidup yang sangat berat. Bonur memutar bola mata malas karena menunggu lama. "Kami sepakat untuk tidak saling mengenal dan menganggap tidak pernah bertemu," jawab Juan pada akhirnya. Dia berjalan ke arah kasur dan duduk di kasur itu. "Kami tidak sengaja bertemu di club lalu menginap bersama di hotel. Sepertinya orang tuanya tahu." "Anjing!" teriak Bonur dengan suara keras. "Loe nidurin bocah? Loe benar-benar pedofiel, Juan. Tega bangat loe, Ju. Emang gak ada cewek lain yang bisa loe bawa ke hotel? Kurang ajar!" Walau Bonur cewek bar-bar dan punya pergaulan bebas. Tapi dia tidak setuju jika anak sekolah sampai melakukan hal yang orang dewasa lakukan. Bonur tidak ingin jumlah anak-anak remaja nakal semakin bertambah. "Kamu bikin kuping aku sakit Bonur. Denger penjelasan aku dulu dong sebelum kamu hujat aku," geram Juan. Siapa pula yang mau nidurin bocah. Saat bersama Lydia aja dia nggak lakuin hal itu. "Kamu tau aku, kan? Lydia yang pacar sampai jadi tunangan aku aja nggak pernah aku ajak gitu-gitu. Apalagi anak SMA?" Usai mengatakannya Juan tersadar. Dia ingat, Jika bukan karena Cecil masih virgin dan dia terhalang masuk. Sudah pasti mereka melakukan itu malam itu. Sekarang dia bersyukur karena akal sehat masih menjadi miliknya. "Serius loe nggak nidurin dia?" "Nggak Nur, kami cuma tidur seranjang dan saling berpelukan. Tidur biasa yah. Tidak melakukan hal lain. Lalu besoknya dia bilang sebaiknya kami jangan bertemu lagi dan kalau tidak sengaja bertemu, pura-pura nggak kenal aja." "Gue masih penasaran, dari club ke hotel. Nggak mungkin tiba-tiba teleportasi loe berdua. Pasti karena ada mau nananina tapi ada halangannya. Jujur loe!" Bonur mengacungkan jari telunjuk seolah mengancam Juan yang berada jauh disana. "Ck, nanti aku cerita. Panjang ceritanya, Nur. Udahlah, aku mau mandi. Jangan lupa pesanku. Cari yang profesional dan bisa di andalkan. Jangan sampai menimbulkan kecurigaan gadis itu. Dia pasti bisa melihat ciri-ciri yang mengawasi karena pasti punya orang seperti itu juga saat tinggal bareng orang tuanya." "Bawel loe. Banyak permintaan bangat. Iya Juan. Gue ngerti. Loe nggak bakalan rugi deh minta hal itu sama gue." "Ya sudah, aku tutup." "Tunggu anjir. Main tutup aja. Bisnis ya bisnis. Berarti ada bayaran di setiap kesepakatan. Loe berani bayar berapa?" "Sebutin yang kamu mau!" "Oke, gue tutup," ucap Bonur terkekeh Dia melemparkan ponselnya ke arah ranjang hingga mengenai kepala pria yang masih pulas disana. "Aww, sakit, Yang," keluh pria itu mengusap kepala yang barusan kena lemparan. Mulutnya meringis dan itu bukan sandiwara. Bonur benar-benar melemparkan ponselnya dengan kuat tadi. Pria itu duduk dan melihat sekitar. Mencari celana boxer yang Bonur lemparkan tadu malam. Sementara Bonur, perempuan jantan itu sudah mengenakan kimono satin warna hitam. "Hubungi Xander nanti dan minta dia ke markas. Aku ada kerjaan buat dia," titah Bonur seraya memantik api untuk membakar rokok yang terapit di bibirnya. "Kerja apa?" tanya pria itu seraya mengenakan pakaian lalu berjalan ke arah Bonur yang duduk di sofa seraya menyilangkan kaki. "Jadi orang tua asuh," Uhuk.. uhuk... Pria itu seketika terbatuk-batuk saat kata-kata Bonur baru masuk di telinganya. "Serius kamu, Yang?" Pria itu menggeleng seraya terkekeh begitu melihat Bonur mengangguk. "Itu, itu pasti melukai harga dirinya," lanjut pria itu yang mengenal Xander. Xander pria tua yang tidak menikah. Bagaimana bisa menjadi seorang pengasuh. Harusnya menjadi algojo. "Nggak bakal. Lihat aja ntar," jawab Bonur melirik sebentar kekasihnya itu. **** Juan membasuh tubuhnya dengan air dingin. Dia membiarkan air dari shower itu jatuh di kepalanya sementara dia berdiri mematung. Dia memikirkan apa yang baru saja dia lakukan. Kenapa dia selalu memiliki perasaan tidak tega pada gadis belia itu. Perasaan ini juga dia rasakan saat di club. Dia merasa kasihan pada gadis remaja itu saat mengatakan bahwa malam itu adalah hari ulang tahunnya. Juan bisa merasakan kesedihan di nada gadis itu dan dari binar matanya juga mengatakan hal yang sama. Juan hidup di keluarga kaya dan penuh kasih sayang terutama saat ayahnya masih ada. Untuk setiap orang yang ulang tahun di keluarganya, walau tidak besar-besaran tapi selalu di rayakan di rumah. Bahkan hingga Juan dan Heru dewasa, kebiasaan itu terus di lanjutkan. Padahal mereka laki-laki. Biasanya laki-laki tidak terlalu ambil pusing soal beginian, kan? Beda dengan perempuan. Sandra, sepupu perempuan Juan. Setiap mendekati hari ulang tahunnya pasti heboh sana-sini. Ingin pesta seperti ini seperti itu. Di rayakan di taman, di hotel di kolam renang. Setiap tahun pokoknya berganti-ganti. Karena pengalaman itulah, Juan jadi merasa kasihan pada Cecil malam itu. Makanya dia menawarkan sebuah perayaan walaupun kecil-kecilan. "Kamu pasti sudah gila karena mau terlibat denganmu lagi, gadis bar-bar." Juan terkekeh sendiri. Jika di tanya apakah dia punya perasaan antar wanita dan pria. Jawabannya adalah tidak. Tidak ada rasa dag dig dug ser seperti perasaan pada Lydia dulu. "Nggak lah, ini hanya sebuah pertanggung jawaban saja. Bukan perasaan suka. Nggak mungkin dong lelaki keren macam aku ini suka sama cewek bau kencur gitu. Masih bocah," ucap Juan pada diri sendiri. Dia menolak bisikan setaan di pikirannya yang mengatakan dia jatuh cinta pada bocah itu. "Cuih, nggak lah. Dia bukan seleraku," ucapnya menolak diri sendiri yang mulai tidak yakin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN