Keempat gadis yang sudah terbaring itu bangkit duduk lagi dan menatap pada Cecil yang masih diam.
Mereka semua yang ada disana penasaran dengan jawaban pertanyaan dari Alex.
"Cil?" Ambar mengambil alih. Armelia juga melambaikan tangan mengusir Alex yang masih betah menyembulkan kepalanya di pintu.
"Hmm... Rahasia! Ayo bobo lagi. Kalian kepo bangat deh soal itu." Cecil mencoba bersantai dan membaringkan badannya. Kemudian menutup matanya dan berpura-pura tidak tau teman-temannya menatapnya penasaran.
Keempatnya saling bertatapan kemudian mengangguk satu persatu lalu seolah mengerti, mereka membaringkan tubuh mereka di ranjang itu.
Kelimanya tertidur saling berangkulan hingga menjelang siang.
Sementara itu,
Pria yang penampilannya masih berantakan itu berdiri di depan balkon kamar hotel yang di tempatinya malam tadi. Dia membungkus tubuhnya dengan kimono handuk.
"Ya Ma?" ujarnya pada sang Mama yang tersambung melalui ponselnya.
"Juan baru bangun. Kenapa?" jawabnya pada sang Mama.
Wajahnya datar seperti tidak berminat bicara dengan mamanya.
"Oo, selamat kalau begitu. Semoga acaranya lancar. Selamat berbahagia buat anak kesayangan mama dan menantu tersayang mama. Maaf nggak bisa hadir, Juan yakin kalian dan semua tamu pasti mengerti kenapa Juan tidak ada disana."
Pria yang menyebut dirinya Juan itu terdiam sejenak saat mendengar mamanya bicara.Kemudian dia berdecak lalu berkata,
"Tak perlu basa-basi seperti itu. Juan sudah tahu bagaimana kalian semua berkomplot membodohi aku."
Terlihat dia mengangguk-anggukkan kelapanya dengan raut wajah malas.
"Sudahlah, lupakan saja. Juan tutup. Hmmm."
Sambungan di putus olehnya. Juan menatap jauh ke depan lalu bergumam.
"Mulut bisa saja mengucapkan kata sayang seribu kali sehari, tapi satu perbuatan mama membuatku tidak percaya dengan beribu-ribu kata sayang itu."
Pria itu menghela napas berat. Teringat apa alasan dia ke club tadi malam dan berakhir dengan gadis belia yang miskin tata krama.
"Lidya, semoga kau bahagia dengan pilihanmu. Kuharap kau tidak pernah menyesal," gumamnya.
Perempuan bernama Lidya adalah kekasihnya selama tiga tahun ini dan sudah di lamar. Selama tiga tahun pacaran tidak pernah ada pertengkaran besar dan jika sudah selesai berdebat, mereka akan dengan sangat mudahnya saling minta maaf dan saling memaafkan lalu saling mengucapkan kata cinta. Juan sangat mencintai Lidya dan begitu juga Lidya.
"Aku cinta kamu dan akan mendampingi kamu sampai aku mati." Itu kalimat yang sering di ucapkan oleh Lidya.
Karena Juan sudah yakin dan semua keluarga mendukung, akhirnya dia memutuskan untuk segera meminang Lidya.
Rencana pernikahan sudah ada bahkan rencana kehidupan setelah menikah juga sudah matang. Rumah tempat tinggal sudah ada, rumah sesuai permintaan Lidya. Bahkan atas nama Lidya sendiri walau yang membelinya adalah Juan.
Tapi, semua rencana indah yang sudah tersusun rapi buyar seketika ketika Juan mengetahui bahwa Lidya juga menjalin hubungan dengan adiknya dan hubungan itu bahkan di ketahui oleh mamanya sendiri.
"Apa-apaan ini Lid? Kenapa kamu mengkhianati aku bersama adikku?" tanya Juan saat dia memergoki Lidya sedang berkencan dengan Heru adiknya.
Lidya tergagap karena tidak bisa mengelak lagi. Heru yang sedang berada di sampingnya hanya tersenyum smirk ke arah Juan.
Juan berbalik dan kembali ke rumah dalam keadaan tidak menentu. Pikirannya sudah sangat kacau. Bisa-bisanya adiknya mengkhianatinya juga. Heru bahkan tahu rencana pernikahannya dengan Lidya tapi dengan santainya dia mengencani calon kakak iparnya.
"Juan?" panggil mamanya dan ponsel tertempel di telinganya.
"Nanti mama hubungi lagi, abangmu udah sampai di rumah," ucapnya. Dari kalimat mamanya, Juan bisa tau siapa yang di hubungi oleh mamanya.
"Lidya dan Heru berhubungan. Juan melihatnya dengan mata kepala Juan sendiri," ucapnya memberitahu. Tidak ada respon kaget dari mamanya. Itu membuat Juan bertanya-tanya.
"Mama sudah tahu?" tanyanya langsung dan diam mamanya menjadi jawaban untuknya.
"Ma?"
Sang mama masih terdiam, hingga detik berikutnya terdengar derap langkah memasuki rumah.
"Mama sudah tahu dan membiarkannya. Apa mama lupa siapa Lidya? Dia tunangan Juan, Ma," teriak Juan menggema di dalam rumah.
"Mereka saling mencintai Juan. Lidya lebih memilih Heru dari pada kamu, itu makanya mama tidak melarang mereka."
Sungguh jawaban yang bisa membuat emosi memuncak.
Saling mencintai? Jadi bersama Juan tidak saling mencintai?
Juan menoleh ke arah orang yang baru masuk. Itu adalah pasangan yang saling mencintai itu. Terlihat Lidya menunduk di belakang Heru sedangkan Heru terlihat sangat santai dengan kedua tangan masuk di kantong celana.
Wajahnya tidak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun bahkan seperti mengejek.
"Kali ini, mengalah sama Heru ya, Nak. Selama ini, kamu selalu bisa mendapatkan apa yang kamu mau dan kamu suka. Mama belum pernah minta kamu untuk mengalah. Kali ini, biarkan Heru bersama Lidya, ya. Mama juga sudah bicara dengan orang tua Lidya."
Sang mama juga sepertinya tidak merasa bersalah. Meminta anak sulungnya untuk mengalah kali ini. 'Salah Ma, bukan hanya kali ini, tapi sudah berkali- kali,' batin Juan.
"Dan?" Juan ingin tahu apa keputusan orang tua Lidya.
"Semua terserah Lidya."
Juan mendengus, terserah Lidya katanya. Dengan kejadian malam ini, Juan yakin Lidya sudah memilih. Ditambah respon Lidya yang hanya terdiam di belakang tubuh Heru. Seandainya Lidya memilih Juan, sudah pasti dia mendekat ke arah Juan dan meminta maaf.
"Lidya hamil," ujar Heru. Berita yang sangat mengejutkan bagi Juan.
"Sembilan minggu," lanjut Heru seraya merangkul pinggang Lidya.
Juan mundur beberapa langkah. Hamil?
"Hahaha," Juan tertawa konyol. Hamil?
"Aku bahkan menahan diriku karena menghormati kamu Lid, aku tidak ingin dan tidak pernah berniat merusak kamu sebelum aku sah menjadi suamimu. Aku ingin itu menjadi hadiah pernikahan kita. Tapi ternyata, ... hahaha,"
Juan berjalan menjauhi ketiga orang itu.
Dan sejak saat itu, selama dua minggu dia tidak pulang dan tidak menanyakan kabar mama dan adiknya.
Dia juga tidak ke kantor. Dia membiarkan Heru menghandle semua urusan kantor.
Hingga kemarin, mamanya menelepon dan memberi kabar bahwa hari ini adalah hari pernikahan Heru dan Lidya.
Usai mendengar kabar itu, dia berkendara tanpa tujuan dan berakhir di club. Berharap bisa menenangkan pikiran ruwetnya tapi malah terlibat dengan gadis SMA bahkan bermalam bersama.
"Walau kalian sudah menyakitiku sedalam ini, aku tetap berharap kalian bahagia selamanya," gumam Juan lagi. Lalu meraih cangkir kopi yang sudah dingin dan menyeruputnya dengan tenang.
"Ma, aku harap kasih sayang mama tulus padaku walau hanya seujung kuku mama saja. Aku akan membuat mama lebih senang dan semoga keputusanku bisa membuat mama semakin sayang padaku," ujarnya pada angin yang berhembus. Semoga angin membawa kata-katanya sampai ke telinga mamanya.
Juan membuka ponsel dan membaca pesan yang sudah sering kali dia abaikan. Dengan menghilangkan rasa malunya, dia akhirnya menelepon temannya yang mengirimkan pesan.
"Hallo, Ju. Tumben kamu nelpon," sapa dari seberang.
"Tawaran kamu yang di chat masih berlaku, nggak?" Tanpa menjawab sindiran temannya Juan langsung mengatakan point utama dia menelepon.
"Yang mana? Aku kirimkan kamu banyak chat tapi tak satupun di tanggapi."
Sindiran kedua. Ini seperti mengingatkan dosa-dosa Juan yang tidak peduli pada temannya itu.
"Menjadi dosen itu,"
"Oo itu, tunggu bentar, kebetulan aku lagi di rumah om aku, biar aku tanya langsung ke orangnya."
Terdengar samar-samar suara langkah kaki kemudian suara berbincang. Juan bisa mendengar temannya itu bertanya mengenai pekerjaan menjadi dosen itu.
"Masih Ju. Kamu berminat nggak?"
"Ya, aku terima."