BAB 1 . BAD BIRTHDAY

1322 Kata
Gaes,, kunjungi ceritaku yg lain yah. seru2 dan cocok mengisi waktu luang kalian. Happy reading!!!! ------------------------------ "Hufff... makin deras lagi, ck." Gadis remaja itu berdiri menghadap jendela kaca di kamarnya. Rautnya sungguh masam, sungguh tidak enak untuk di lihat. Sejak sejam yang lalu, dia sudah bolak balik menghadap jendela dan melihat air yang masih setia turun dari langit. "Kenapa semuanya jahat sama gue, sih? Nggak ada yang peduli. Sekarang hujannya malah makin deras. Gue kira Tuhan sayang sama gue, apalagi di hari ulang tahun gue, nyatanya sama aja kayak orang-orang di rumah ini." Gadis itu bicara pada kehampaan di kamarnya sambil menadahkan kepala ke arah langit. Wajahnya memerah. Mungkin karena emosi dan marah. Tak lama, gadis itu berjongkok dan menelungkupkan wajahnya di lututnya yang di tekuk. Bahunya bergetar dan samar-samar terdengar suara isakan. Dia menangis. "Siapapun pasti butuh uang, sama kayak gue, gue butuh uang untuk makan dan segala keperluan gue, tapi selain itu, gue juga butuh kasih sayang dan perhatian kalian. Kenapa kalian egois sekali. Hu...hu... hu..." Gadis itu bernama Cecil, Cecilia Arta Pujantara. Sering di panggil dengan berbagai nama. Tapi, satu nama yang sangat di bencinya adalah Pujantara, nama ayahnya yang di sematkan di belakang namanya. Siapa yang tidak kenal Pujantara? Pengusaha sukses di kota Jakarta ini. Orang-orang menyebutnya pria bertangan dingin. Sudah sukses, tidak sombong pula. Suka berdonasi pada orang-orang yang kesusahan dan banyak panti asuhan. Istrinya juga sama, wanita karir yang masih tetap terlihat cantik dan menawan. Orang-orang selalu mengira bahwa keluarga itu di limpahi banyak berkat oleh Tuhan karena kedermawanan pasangan ideal itu. Makanya, setiap kali mereka menerima sumbangan dari pasangan itu, mereka selalu mendoakan kesuksesan buat keluarga Pujantara tak terkecuali anak - anak mereka. "Cecil hari ini ulang tahun, kalian bahkan lupa. Cecil juga pengen di rayain kayak anak lain. Pengen tiup lilin bereng kalian. Pengen di nyanyiin lagu 'Happy Birthday'. Tapi, kalian dimana sekarang?" Cecil yang hari ini berulang tahun ke tujuh belas, tadinya sangat berharap mendapat kejutan dari orang tuanya. Tapi, kejutan yang di dapatkan sungguh menyayat hati. Mom : [Sayang, Mami sama Papi nggak pulang ya, mau ke KL malam ini, ada pesta perusahaan rekan Papi. Love you] Isi pesan dari mamanya siang tadi. Dan pesan itu sekaligus menghancurkan harapannya. "Huh, baiklah! Tidak ada gunanya menangis, Cecilia," ucapnya pada diri sendiri. "Jika mereka tidak bisa membuatkan birthday party untuk loe, loe bisa bikin partynya sendiri." Dia menepuk-nepuk bokongnya yang dia dudukkan tadi di lantai kamar. Sebenarnya tidak ada abu yang menempel, hanya kebiasaan saja, menepuk b****g seperti menghalau debu. "Let's party, yey." Teriaknya seraya mengangkat tangan seperti seorang cheerleader. Suaranya bersemangat, tapi wajahnya masih terlihat murung. ***** "Belum berhenti juga? Wah, langit sangat kaya akan air, sampai tumpah ruah begini. Hey hujan! pindah sono, cari daerah yang kekeringan yang rindu air. Jangan disini-sini aja. Disini semua orang kaya, nggak kekurangan air." Teriaknya pada hujan dari balkon kamarnya. Remaja SMA itu masih mengenakan bathrobe baby pink yang panjangnya hanya sebatas paha. Rambutnya juga masih di gelung dengan handuk warna sama, baby pink. Wajahnya pucat pun dengan bibirnya yang memutih keriput karena kedinginan kelamaan berendam air dingin di bathtube. "Cepetan pindah ya, gue mau pergi party. Awas kalo masih disini!" Dia sedang mengusir hujan dan mengancamnya dengan mengacungkan jari telunjuknya ke arah hujan. Wajahnya juga di buat marah. Terlihat sangat gemes. Saat ini, Cecil sedang duduk di kursi meja riasnya. Rambutnya sudah tergerai dan masih meneteskan sisa air. Tangannya sibuk memegang ponsel dan jarinya sedang menari-nari di layar ponsel keluaran terbaru itu. Sesekali senyumnya terbit saat berkirim pesan dengan teman-temannya. Cecil melemparkan ponselnya ke atas meja rias, lalu berdiri dan bersiap mengeringkan rambutnya dengan hairdryer yang di ambil dari laci kedua di meja rias. Tak lama, terdengar suara musik mulai mengalun dari ponselnya. Bagai terhanyut dengan musik itu, Cecil mulai menggoyangkan badannya mengikuti irama musik. Sesekali dia memutar tubuhnya dan kemudian melanjutkan mengeringkang rambutnya. Let's dance together Get on the dance floor The party won't start If you stand still like that Let's dance together Let's party and turn off the lights Hairdryer yang sudah di off kan itu kini berubah menjadi sebuah microphone. Cecil ikut bernyanyi dan juga menari mengikuti alunan musik dari ponselnya. Dia terlihat sangat menikmati hidupnya saat bernyanyi. Mungkin ini adalah cara untuk melupakan kesedihan yang baru saja di tangisinya. Tok...Tok...Tok.. Terdengar suara ketukan pada pintu di iringi dengan suara lemah lembut seseorang dari luar. "Non... Non Cecil... Non mau bibi masakin apa?" Cecil mematikan musik di ponselnya lalu berjalan ke arah pintu. Membukanya lebar, membiarkan wanita tua itu melihat isi kamarnya yang berantakan. "Cecil mau makan di luar bareng teman, Bi. Nggak usah dimasakin." "Tapi di luar lagi hujan, Non. Gimana mau pergi?" Ada raut khawatir di wajah wanita tua bernama Suryani itu. "Bi, kan ada mobil. Cecil juga nggak makan di emperan sama teman, Cecil makan di tempat yang ada atapnya. Jadi, bibi tenang aja. Cecil nggak akan kebasahan," jawabnya ringan. Bukan itu yang dimaksudkan wanita tua itu. Di luar hujan, bahaya bepergian saat hujan deras begini. Bukan masalah ada mobil atau tidak. Bahkan jika tidak ada mobilpun, sekarang udah bisa panggil taksi online ke rumah. "Tapi, Non--" "Nggak usah khawatir gitu, ah, Cecil jadi nggak enak mau pergi. Senyum dong, Bi!" ucapnya seraya merangkul lengan wanita tua itu. Cecil lalu mengangkat tangan ke arah pipi wanita itu dan menarik kedua pipi itu agar membentuk senyuman. "Gini baru cantik!" ucapnya dengan senyum. "Bibi istirahat aja. Ini kesempatan emas loh buat Bibi. Nggak masakin Cecil. Mama sama Papa juga nggak pulang katanya, jadi nggak usah di masakin. Masak untuk Bibi sama Bapak Khodir aja. Masak yang enak." Akhirnya Bi Yani -panggilannya- keluar dari dari kamar nona mudanya. "Padahal, Bibi mau masakin enak untuk rayain ulang tahun Nona Cecil." ucapnya seraya menatap pintu kamar yang baru saja ditutup itu. ***** Sambil bersenandung riang, Cecilia turun dari kamarnya di lantai dua. Setengah berlari saat menuruni tangga. Tas selempang merek ternama tergantung di pundaknya. Pakaian yang melekat di tubuhnya juga brand-brand ternama. Dia memakai celana jins biru ketat dan juga kaos yang sangat ngepas di badannya. Tampilannya sedikit dewasa karena mekap yang di sapukan terlalu tebal dan juga di dukung oleh warna lipstik yang membuatnya sedikit lebih tua dari umurnya. "Loh, belum berhenti juga?" teriaknya tepat setelah membuka pintu rumahnya. "Heh hujan, loe kok bandal banget, sih? Di suruh pindah malah stay disini," teriaknya garang pada hujan. "Lihat, noh! paritnya udah mulai penuh. Udah kelebihan air. Disini tempat tinggal orang-orang kaya, nggak butuh loe lama-lama. Pergi sono ke tempat orang miskin yang gak punya duit beli air. Biar orang kaya disini beli air buat siram taneman. Mereka kelebihan uang, sama kayak bokap nyokap gua. Kelebihan uang, sampe lupa udah sebanyak apa." Teriakan garang tadi di akhiri dengan suara lirih yang sendu. "Gua hitung sampe lima, kalo loe belum berhenti, gua sumpah---" "Non?" suara bi Yani memotong ucapan Cecil yang hendak menyumpahi hujan. "Jadi pergi?" tanyanya setelah nona mudanya melihat ke arahnya. "Hujannya masih deras, Non," lanjutnya dengan raut khawatir. "Hehehe, jadi, Bi. Nggak papa, ntar Cecil nyetir pelan-pelan. Bibi tenang aja." Cecil melihat jam tangan di pergelangan tangan kiri. "Buset dah, udah jam tujuh kurang ternyata." Dia menggerutu, janji bareng teman-teman ketemunya jam tujuh. Kalau hujan begini, dia pasti butuh waktu lebih lama di perjalanan. "Bi, masuk aja. Cecil bawa kunci, kalau mau istirahat, kunci aja dari dalem. Nanti Cecil masuk sendiri. Jangan di tungguin." Ada nada mengancam di kalimat akhir tetapi wajahnya tersenyum. Artinya, dia minta bi Yuni untuk istirahat lebih cepat. Saat sudah berada di dalam mobilnya, dia bersiap keluar dari gerbang tinggi rumahnya. "Tenang, sudah tujuh belas. Nggak usah takut di tilang. Tinggal kasih ceban juga loe bakal di kasih lewat. Hahahaha," Bicara pada diri sendiri. "Lihat nih! Biar loe nggak pindah-pindah, gue tetap tebas loe. Serah loe dah, mau banjiri tempat ini juga gak papa, kan udah gua bilang, orang disini orang-orang kaya. Punya banyak duit buat ngilangin bekas loe nanti." Sekali lagi berteriak pada hujan. "Wuuu... Let's party."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN