Mendengar berita kurang menyenangkan mengenai orang terdekat kita menjadi pukulan terbesar bagi kita.
Begitu juga dengan tuan Pujantara. Saat ini dia sedang mondar mandir di depan pintu rumahnya menanti kedatangan putrinya yang pergi dari siang tadi.
"Coba telepon lagi, Ma!" titahnya pada istrinya. Percobaan ke seribu satu kali sejak siang tadi.
Menuruti apa kata suaminya, ibunya Cecilia mengambil ponsel di atas meja dan mendial nomor Cecilia lagi dan lagi.
Nyonya Pujantara menggeleng ke arah suaminya. Informasi yang sudah di ketahui artinya dengan jelas.
"Ck! Kemana perginya anak itu?" kesal tuan Pujantara. Giginya saling beradu mengekspresikan kemarahannya.
Terlihat dia sangat berusaha menahan emosi. Tangannya terkepal dan urat di sekitaran lehernya mulai menonjol.
Sejak sejam lalu saat menerima laporan dari orang suruhannya, pasangan suami istri itu sudah tidak tenang lagi. Walau sang nyonya terlihat duduk santai di sofa, tapi pikirannya sebenarnya sudah sangat kacau setelah memikirkan apa yang sudah di lakukan putrinya selama ini.
Kejadian sejam yang lalu,
"Kurang ajar!" teriak tuan Pujantara di ruang kerjanya seraya melemparkan gelas wine yang di pegangnya. Istrinya yang juga duduk di meja kerja satu lagi terkejut lantas bertanya, "Ada apa, Pa?"
"Lihat! Lihat apa yang di lakukan anak kurang ajar itu," teriaknya sambil memutar laptop ke arah istrinya. Di layar laptop itu terpampang foto Cecil yang sedang berjalan bergandengan tangan dengan seorang laki-laki. Foto itu buram dan tidak menampakkan jelas wajah di foto itu tetapi pasangan itu dapat mengenali bahwa perempuan di foto itu adalah Cecil. Nyonya Pujantara yang sudah berdiri dan berjalan mendekat ke arah meja kerja suaminya menekan tombol-tombol di laptop untuk melihat foto-foto yang lainnya.
Wanita bernama Vetty itu menutup mulut dengan telapak tangannya saat melihat foto-foto itu. Foto putrinya yang berada di gendongan seorang pria berjalan di sekitar trotoar hingga masuk ke sebuah hotel bintang lima. Apa yang di lakukan putrinya di hotel bintang lima dengan seorang pria? Tentunya sebagai dewasa, Vetty sudah bisa menebak.
Matanya berkaca-kaca membayangkan sudah sejauh mana langkah putrinya itu.
"Ini, Ini tidak mungkin," ucapnya berbisik dengan suara yang bergetar.
"Putriku tidak mungkin sampai melakukan hal ini, aku selalu menasehatinya untuk tidak terlalu jauh," lanjutnya dengan nada tak percaya.
Bagaimana bisa putrinya keluar dari hotel di pagi buta dengan pakaian seperti itu?
Tuan Pujantara menghela napas kasar lalu melakukan panggilan.
"Cepat cari tahu siapa laki-laki itu dan bawa dia padaku secepatnya!"
Usai menutup panggilan, pria itu menatap istrinya yang sudah sesenggukan sambil memandangi foto di layar laptop itu.
Tarik napas sejenak sambil memejamkan mata, lalu pria itu berjalan mendekat ke arah istrinya.
"Telepon Cecil, dan suruh dia segera pulang. Cepat! Sebelum aku turun tangan mencarinya." Pria itu berlalu usai memerintah istrinya dan menutup layar laptop itu. Otaknya mulai bekerja keras mencari solusi sekaligus hukuman bagi putrinya dan pria di poto itu.
"Lihat saja! Tidak ada ampun untuk kamu Cecilia,"
*****
Penantian yang panjang itu akhirnya berujung. Terdengar suara mobil Cecilia memasuki halaman rumah.
Raut wajah nyonya Pujantara mulai memutih karena sudah dapat memperkirakan apa yang akan terjadi setelah ini.
Harapannya hanya satu, yaitu anaknya tidak menantang dan lebih baik mengakui kesalahan dan minta maaf.
Ceklek
Suara pintu di buka dari luar dan
Plak
Sambutan pada Cecil yang baru masuk adalah sebuah tamparan keras di wajahnya hingga membuat pipinya terlempar ke arah kiri.
"Papa!" teriak nyonya Pujantara. Awalnya dia mengira hanya akan ada perdebatan mulut tetapi yang terjadi ternyata lebih parah dari itu.
"Anak kurang ajar, bisa-bisanya bikin malu saja!" ucap tuan Pujantara datar dan penuh emosi. Wajahnya menegang dan memerah karena menahan emosi. Jika saja, anak yang berulah itu adalah salah satu dari putranya, sudah pasti bogeman silih berganti ke wajahnya.
Cecil yang belum tau apa yang terjadi hanya menatap papanya menyalang. Telapak tangannya memegang pipi yang baru s aja di tampar dan sesekali dia mengelusnya. Sumpah, itu sangat sakit woy, terasa panas.
"Di sekolah tidak ada prestasi, di rumah juga tidak bisa apa-apa, mau jadi apa kamu, hah?"teriak Pujantara.
"Mama! Diam disitu!" teriaknya lagi ke arah istrinya yang hendak mendekat. Sudah bisa di tebak siapa yang akan di hampir istrinya.
Pastilah anak perempuan yang baru saja di tampar itu.
"Jangan mendekat! Atau mama juga akan kena hukuman dari Papa," lanjutnya menghentikan langkah kaki yang baru saja melangkah dua kali.
Sementara Cecil, di pikirannya saat ini, dia mendapat tamparan ini karena sudah pergi dari rumah tanpa izin dan juga mengabaikan panggilan mamanya hingga menonaktifkan ponsel. Pulang malam dengan raut tanpa dosa dan salah sama sekali. Wajar sih jika di marahi, tapi di tampar? Woy, hanya karena pulang malam di gampar?
"Pilih salah satu, Home schooling, tidak bisa keluar rumah tanpa supir dan tidak bisa lebih dari dua jam di luar rumah atau---" Cecil menatap papanya tak mengerti. Sudah di gampar, sekarang di kasih hukuman tambahan?
Tuan Pujantara menatap putrinya yang matanya berkaca-kaca tapi tidak menangis atau pun bertanya kenapa dia di tampar. Bahkan tidak berlari ke arah ibunya dan mengadu di d**a ibunya seperti kebanyakan gadis lain.
"Pindah di tempat nenek di Jogja!" lanjut tuan Pujantara.
Dua pilihan yang sama-sama neraka bagi Cecil. Tidak bisa di luar rumah lebih dari dua jam? Sama aja artinya dengan jangan keluar dari rumah. Pindah ke tempat nenek? Sama aja artinya jangan keluar rumah. Karena disana juga lebih ketat dari di rumah ini.
Kalian pasti tau aturan apa yang di anut oleh seorang nenek yang tinggal di pedesaan dan jiwa masih ada di abad awal masehi, kan?
"Kalau Cecil tidak mau dua-duanya?" tanya Cecil membuat mata ibunya melotot.
"Hanya ada satu pilihan terakhir," ucap tuan Pujantara. Dia tersenyum sinis pada putrinya itu. Menyerah atas kelancangan putrinya. Sudah berani menantang ternyata, batinnya menyeringai.
"Keluar dari kartu keluarga Pujantara!" ujar papa Cecil santai. Senjata paling ampuh. Mana ada yang berani keluar dari pusaran keluarga Pujantara. Mau makan apa di luar sana? Mau pake uang apa untuk membeli ponsel dan segala kebutuhan mewah lainnya? Mau pake uang apa untuk berfoya-foya?
"Papa!" teriak Vetty ke arah suaminya. Bagaimana bisa seorang ayah berkata begitu pada seorang gadis remaja? Bukan begitu cara mendidiknya. Lebih baik bicara pelan-pelan dan dari hati lalu menasehatinya. Menghukum bisa, tapi sewajarnya saja. Vetty sadar, putrinya hanya kurang bimbingan orang tua lantaran kesibukan mereka di luar sana. Bukan salah Cecil menjadi gadis nakal, tetapi salah mereka sebagai orang tua yang seharusnya mendidik dan mengayomi anak-anak mereka. Terutama anak perempuan yang rentan mendapatkan masalah lebih banyak dari seorang anak laki-laki.
Tanpa menjawab teriakan istrinya, Pujantara hanya mengacungkan jari telunjuk sebagai isyarat agar istrinya diam dan tidak ikut campur.
Cecil menyeringai usai mendengar pilihan ketiga itu. Ternyata, memang tidak ada kasih sayang yang bisa di harapkan dari pasangan yang terkenal harmonis dan dermawan ini.
Bahkan setelah dia mengatakan kenapa memilih teman-temannya tadi siang dan bahkan menyinggung soal ulang tahunnya yang kemarin. Tidak ada inisiatif dari orang tuanya untuk sekedar mengucapkan selamat ulang tahun.
Baiklah, mari kita akhiri sampai disini, batinnya.
"I choose the last one!"
"CECILIA!"