"Safia! Keluar kamu. Sudah jam berapa ini!" panggilan yang disertai dengan gedoran di pintu kamar, sangat mengganggu ketenangan tidur Arya. Pria itu menggeram kesal karena jelas Arya tau jika itu adalah suara mamanya. Memaksa untuk bangun dan turun dari atas ranjang. Membuka pintu sembari menggerutu lantaran kesal.
"Ada apa sih, Ma! Pagi-pagi sudah teriak-teriak."
"Safia mana? Sudah jam berapa ini. Kenapa dia tidak keluar kamar juga, hah! Keburu siang nanti. Bisa-bisa tidak ada makanan saat nanti kamu mau berangkat kerja."
"Sudahlah, Ma. Hari ini beli sarapan saja. Safia lagi sakit. Jangan suruh dia masak."
Bu Neni melebarkan matanya. "Apa tadi kamu bilang? Mama nggak salah dengar yang kamu suruh mama beli sarapan saja hanya karena wanita itu beralasan sakit. Arya! Jangan lembek kamu jadi suami. Istri sakit sedikit saja pakai kamu manja segala."
Sungguhan, Arya pusing jika sudah mendengar mamanya mengomel di pagi buta begini. "Serah mama saja lah! Pusing kepalaku mendengar ocehan mama."
Arya berbalik badan, tepat ketika Safia keluar dari dalam kamar mandi. Wanita yang telah resmi menjadi istrinya itu memang sudah bangun. Arya saja yang tidak menyadarinya.
Setelah meminum obat penurun demam semalam, kondisi Safia jauh lebih baik meski masih merasakan sedikit berat di kepala juga tubuh yang remuk di mana-mana. Namun, meski demikian Safia tetap tak akan melupakan kewajibannya untuk menunaikan ibadah wajib sebagai seorang muslim.
Mereka berdua saling bertatapan sebentar, sebelum Arya kembali menuju ranjang dan menjatuhkan tubuhnya di sana. Melanjutkan sesi tidurnya yang terganggu.
Sementara Bu Neni yang berdiri di ambang pintu, berkacak pinggang sembari mengatai sang menantu. "Jangan jadikan sakit sebagai alasan untuk kamu mau kabur dari tugasmu di rumah ini. Cepet keluar. Bikin sarapan dan itu cucian sudah menggunung. Awas saja kalau semua belum selesai tapi sudah kamu tinggal kerja."
Safia ingin membantah, tapi tak ada tenaga. Kemarin, dia tidak mencuci baju lantaran merasa kurang enak badan. Jika Safia ada keberanian untuk melawan mertua, sudah barang tentu tanpa pikir panjang akan dia bawa baju-baju kotor itu ke laundry. Toh, di sekitar rumah ini juga tidak kesusahan untuk menemukan tempat laundry pakaian. Akan tetapi, Safia malas ribut dan berdebat dengan Bu Neni. Memilih mengiyakan saja apapun yang Bu Neni perintahkan.
"Iya, Ma. Sebentar lagi saya keluar."
"Awas saja kalau kamu tidur lagi!" tuding sang mertua sebelum meninggalkan kamar.
Safia mengembuskan napas lelah. Melirik pada suaminya yang tak bereaksi apa-apa. Padahal jelas Arya tau jika dia sedang tidak sehat dan seharusnya Safia banyak beristirahat bukan malah memfotsir dirinya untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga.
•••
Pagi menjelang siang hari ini.
Masih seperti hari sebelumnya ketika Kania menemukan Safia duduk menyendiri di pantry sembari menikmati secangkir teh hangat madu. Ada bungkus vitamin di atas meja dekat dengan cangkir berisi teh milik Safia.
"Nggak mau ke dokter saja, Saf?" tanya yang Kania lontarkan, membuat Safia yang terkejut langsung mendongak lalu tersenyum dipaksakan.
Tenggorokan terasa pengar dan panas sehingga dia malas bicara.
Kania yang sejak beberapa saat lalu sempat memperhatikan Safia, kini menyeret kursi dan duduk di samping sahabatnya. Mengulurkan tangan, menempelkan punggung tangan kanannya pada dahi Safia. "Kamu demam."
"Sudah mendingan, Kan."
"Sudah tahu sakit, masih saja memaksakan diri pergi bekerja."
"Lebih baik aku kerja dan berada di kantor ini, daripada di rumah."
"Loh, bukankah kalau di rumah kamu malah bisa beristirahat, Saf?"
Safia membuang napas kasar. "Kalau di rumah sendiri sih iya. Tapi kamu kan tahu jika aku tinggal sama mertua. Nggak enak hati lah, Kan, jika aku hanya tiduran saja seharian."
"Namanya juga lagi sakit. Tak mungkin lah jika mertua kamu tidak mau mengerti kondisi."
"Masalahnya mertuaku ini unik. Lain dengan mertua kebanyakan."
"Maksudnya?"
Ragu untuk bercerita apalagi mengumbar aib mertua, ibu dari suaminya sendiri.
"Safia, cerita!" Kali ini suara tegas Kania bukan lagi permintaan, tapi pemaksaan. Ya, Kania memaksa agar Safia bercerita jujur padanya.
"Mamanya Arya kurang suka sama aku. Dan alasannya apa ... Aku tak perlu kasih tahu kamu pun, kamunya juga sudah tahu sendiri."
"Sebab Wila?"
Safia mengangguk. "Mas Arya dan mamanya masih belum bisa menerima takdir bahwa Wila telah tiada. Dan yang membuat mereka kecewa, karena Wila meminta agar aku menggantikannya sebagai mempelai wanita. Padahal yang mereka tahu, akulah penyebab Wila kecelakaan sampai meninggal."
Kania merengkuh tubuh Safia yang meski saat bercerita berusaha tegar, nyatanya Kania tahu jika Safia begitu tertekan.
"Sabar, Saf. Jangan diteruskan. Kamu bukan penyebab meninggalnya Wila dan aku tahu jika kamu pun tidak sengaja sehingga kecelakaan itu bisa terjadi. Semua sudah menjadi kehendak Tuhan."
"Itu pemikiran kamu. Tidak dengan orang lain."
"Lalu?" tanya Kania setelah mengurai pelukannya.
Safia mengernyit heran. "Lalu apa?"
"Apakah mereka memperlakukan kamu dengan tidak baik?"
"Tidak juga. Hanya saja ... butuh waktu bagi Mas Arya dan mamanya untuk bisa menerima kehadiranku."
"Kamu ini selalu saja membela mereka. Mau sampai kapan kamu akan tetap bertahan, Saf?"
Safia mengedikkan bahunya. "Aku pun tak tahu."
Hening untuk sesaat. Kania menolehkan kepala memandang penuh iba pada sahabatnya. Cinta memang telah membutakan mata hati Safia sehingga lebih memilih Arya daripada pulang pada keluarganya.
"Saf!"
"Hem."
"Boleh aku bertanya sesuatu yang sifatnya pribadi?"
"Tentang?"
Kania menghela napas panjang. "Apakah Arya sudah pernah menyentuhmu?"
Ragu, Safia menganggukkan kepalanya. Lagi-lagi Kania mengembuskan napas kasar.
"Tidak ada yang salah sebenarnya jika kamu dan Arya melakukannya. Toh, kalian berdua adalah suami istri. Tapi ...."
"Tapi apa?" Safia menyela ucapan Kania yang sengaja terjeda.
"Jika Arya masih bersikap kurang baik sama kamu, dan juga keluarganya belum bisa menerima kamu seutuhnya ... ada baiknya kamu jangan hamil dulu, Saf. Ini hanya saran saja. Mau kamu terima atau tidak ... terserah kamu. Hanya saja aku mengatakan ini karena kepikiran gimana nasibmu jika nanti punya anak. Iya kalau Arya mau berubah lalu melupakan Wila dan mau mencintai kamu. Jika tidak? Apakah nantinya malah tidak akan memberatkan dan ujung-ujungnya kamu lagi yang tersakiti. Belum lagi masalah anak juga akan jadi hal yang memberatkan untuk kamu berpisah andai Arya tetap tidak bisa mencintai kamu."
Safia diam mencoba mencerna apa yang Kania katakan.
Kania menggenggam tangan Safia. "Menurutku, kamu sabar dulu. Jangan buru-buru untuk punya anak. Pastikan saja dulu jika memang suatu saat nanti Arya benar-benar mau mencintai kamu dengan tulus, lalu keluarganya juga mau menerima kehadiran kamu ... barulah kamu boleh berpikir tentang memberi keturunan untuk Arya. Pikirkan baik-baik saranku ini. Aku seperti ini karena menyayangi kamu sebagai sahabat baikku, Saf."
"Tapi aku juga tidak bisa menolak jika Mas Arya menginginkanku, Kania!"
Kania berdecak. "Kamu ini kelewat polos apa gimana, sih!"
Kania mendekatkan wajahnya pada telinga Safia. Lalu membisikkan sesuatu di telinga sahabatnya itu.