“Namanya Safia Raharja, CEO PT. Raha Cosmetics. Janda muda, kaya raya dan digilai para pengusaha,” bisikan dari salah satu rekan kerjanya yang juga menghadiri pesta malam ini, tak dia hiraukan. Kedua netranya enggan beranjak menatap pada sosok wanita seksi yang dikerubungi banyak lelaki.
Jantung Arya berdebar-debar, disertai dengan jakun yang naik turun memperhatikan dari atas ke bawah tubuh seksi yang beberapa bulan lalu selalu menemani setiap malam panjangnya. Ada rasa tidak rela dalam hatinya, ketika melihat para pria tengah memuja perempuan yang malam ini terlihat begitu cantik dengan balutan gaun seksi yang mana bagian punggungnya terbuka menampakkan kulit putih nan mulus tanpa cela. Tanpa dapat dicegahnya, Arya mengayunkan langkah kakinya mendekat.
Sepasang mata indah yang dinaungi bulu mata lentik itu membulat, menyadari kehadiran sosok yang telah dikenalnya. Bibir merah merona yang mengukir senyuman, menyambut kedatangannya. Segelas wine, diteguk oleh si wanita. Mengitari tubuh Arya yang berdiri tepat di hadapannya.
“Halo, apa kabar Mas Arya?” tanya dengan nada sensual disertai dengan embusan napas yang menggelitik telinga si pria. Sengaja Safia melakukan itu setelah sekian bulan tidak bersua dengan sosok Arya Mahendra.
***
Satu Tahun Lalu.
“Puas kamu telah menghancurkan kebahagiaanku dengan Wila!” tatapan nyalang tertuju pada Safia yang baru saja memasuki kamar.
Perempuan itu meneguk ludah kesusahan. Acara resepsi pernikahan baru selesai dilangsungkan sekitar satu jam yang lalu. Bahkan, Ayah dan kakaknya pun juga baru saja meninggalkan tempat acara, membiarkan dirinya bersama sosok lelaki yang telah resmi menjadi suaminya.
“Apa maksudmu, Mas?” tanya dengan nada suara bergetar.
Arya Mahendra, berdiri di balik jendela besar kamar pengantinnya, dengan kedua tangan dia masukkan ke dalam saku celana. Tatapannya tak juga melunak. Wajahnya mengeras, berjalan mendekat pada Safia.
“Ingat! Pernikahan ini tidak akan pernah terjadi jika tidak karena Wila yang memintanya. Jadi … jangan pernah kamu berharap lebih padaku.”
Safia memejamkan matanya. Mengabaikan aroma parfum Arya yang menggelitik hidungnya. “Aku pun juga tidak pernah berharap banyak dari pernikahan ini,” jawabnya dengan berani. Membuka mata lalu mendongak menerima tatapan tajam mata suaminya.
Rahang Arya mengetat. “Baguslah jika kau pun sadar diri. Karena sampai kapan pun, posisi Wila dalam hatiku tidak akan pernah terganti dengan siapa pun juga, meski dia telah pergi meninggalkanku untuk selamanya.”
Setelah mengatakan itu, Arya melewati Safia begitu saja. Keluar kamar dengan membanting pintunya keras-keras. Tubuh Safia terjengit, lalu luruh jatuh terduduk di atas lantai. Memukul dadanya yang terasa sesak. Pernikahan impiannya bukanlah seperti ini. Jika dengan mencintai Arya hanya akan membuatnya kehilangan Wila, maka Safia tidak akan pernah jatuh cinta pada pria itu.
***
Safia menatap rumah yang ada di hadapannya. Rumah yang mulai hari ini akan menjadi tempat tinggalnya. Ada ragu untuknya melangkah memasuki halaman mengikuti sosok lelaki yang sudah meninggalkannya masuk ke dalam. Akan tetapi tak lama pria itu kembali keluar dengan mata mendelik sebal.
“Buruan masuk! Ngapain masih berdiri diluar!” hardik si pria membuat Safia menahan diri untuk tidak menjawab dengan makian juga. Safia sadar diri siapa dirinya sekarang. Seorang istri yang harus patuh pada suami meski pria bernama Arya tersebut terdengar kasar saat berbicara dengannya.
Menyeret satu koper yang dia bawa, untuk menghampiri Arya yang kembali tak terlihat olehnya. Bahkan tak ada niat baik Arya untuk membantu membawakan barang miliknya. Untung saja Safia hanya membawa satu buah koper dan juga tas yang tersampir di pundak kanannya.
“Assalamualaikum,” ucapnya memberi salam saat kakinya melangkah melewati pintu masuk. Tak ada sahutan dari siapa pun penghuni rumah ini. Kepala Safia melongok ke dalam. Rumah tampak sepi seolah tak berpenghuni. Hingga membuatnya kebingungan mau ke mana sekarang.
“Bawa masuk barang-barangmu ke kamarku!” Lagi-lagi ucapan Arya membuat Safia terlonjak kaget.
Tanpa menjawab dan hanya langkah kakinya yang mendekat sebagai respon darinya akan apa yang Arya perintahkan.
“Baju-bajuku bisa disimpan di mana, Mas?” tanyanya ketika sudah berada di dalam kamar dan kebingungan sebab Arya tidak memberikan instruksi apa-apa lagi.
“Pintu lemari sebelah kanan itu kosong. Simpan saja di sana. Dan ingat! Jangan kamu sekali pun menyentuh barang-barang pribadiku dan jangan lancang membuka lemari bajuku. Paham kamu!”
Safia menganggukkan kepalanya. Langsung menuju lemari yang tadi ditunjukkan oleh Arya, lalu ia pun memindahkan isi kopernya ke dalam lemari pakaian. Arya sudah tak terlihat karena lelaki itu keluar kamar ketika Safia mulai menata barang-barangnya.
Selesai dengan kegiatannya, kembali Safia dilanda dilema. Tidak tahu harus apa sekarang? Ingin keluar kamar, tapi tidak berani dia lakukan. Melangkah menuju ranjang. Pada awalnya wanita itu hanya duduk di tepian ranjang sembari membuka ponselnya. Mengecek pesan dan berakhir berselancar pada sosial media miliknya. Lama-lama, dari posisi yang hanya duduk-duduk saja, berganti menjadi rebahan hingga tanpa terasa wanita itu malah tertidur di dalam kamar Arya.
Terbangun ketika merasakan perutnya yang keroncongan. Maklum saja, Safia hanya makan saat pagi sarapan di hotel tempatnya resepsi dan menginap malam tadi. Tanpa Arya karena pria itu pergi entah ke mana setelah berdebat dengannya.
Memberanikan diri keluar dari dalam kamar. Tubuh Safia menegang ketika menatap sorot tajam kedua netra sosok wanita yang sedang duduk di sofa ruang keluarga. Wanita yang merupakan ibu dari Arya.
"Tuan putri sudah bangun?" tanya wanita berkacamata itu dengan nada sindiran.
Sungguh, Safia tidak enak hati karena bisa-bisanya dia malah ketiduran tadi. Menundukkan kepala takut-takut sembari meremas jaro jemarinya. "Maaf, Ma. Tadi saya ketiduran."
"Bagus. Ketiduran, ya? Lihat! Jam berapa sekarang?! Bisa-bisanya jadi istri pemalas. Nggak tahu lagi bagaimana nasib Arya nanti punya istri seperti kamu. Masih mending Wila ke mana-mana. Kenapa bukan kamu saja yang jadi korban kecelakaan waktu itu, hah! Kenapa malah calon menantu saya yang kamu korbankan. Wanita baik seperti Wila yang justru tidak berumur panjang gara-gara kecerobohan kamu."
Safia tak sanggup menjawab apa-apa. Menahan tangis karena perkataan menyakitkan dari mama mertuanya. Hingga suara seseorang yang datang menyela, membuat Safia berani mengangkat kepala.
"Ada apa ini, Ma. Kenapa ribut-ribut?"
"Tuh, lihat istri kamu yang manja. Seharian bukannya bantu mama bersih-bersih rumah, malah molor sampai sore."
Arya menggeram. Menatap penuh kebencian pada wanita yang baru kemarin dinikahinya. "Safia! Rumah ini bukan hotel. Aku membawamu ke sini bukan untuk berleha-leha dan bisa tinggal sesuka hatimu. Tapi seharusnya kamu sadar diri apa tugasmu sebagai seorang istri. Tidak perlu aku menjelaskan satu per satu sama kamu. Mama sudah tua. Tidak mungkin beliau yang akan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Jadi ... kamu cukup tahu diri saja selama tinggal menumpang di rumah ini. Paham kamu!"