Bu Neni menghentikan aktifitasnya yang sedang menekuri ponsel. Memelototi aplikasi t****k di petang menjelang malam hari ini. Yang ditunggu pulang adalah Arya, akan tetapi yang muncul justru anak perempuannya, Alya.
"Al, Chika mana?" tanya beliau ketika tidak mendapati keberadaan cucu satu-satunya. Anak perempuan Alya dengan seorang pegawai rumah sakit bernama Ridwan.
Alya melenggang masuk ke dalam rumah ibunya seorang diri lalu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu. Tepat di seberang sofa yang mamanya duduki.
"Chika sedang les."
"Jam berapa pulangnya? Kenapa malah kamu ke sini dan tidak menunggui Chika."
"Aku ada sedikit perlu dengan Arya. Belum pulang ya, Ma? Mobilnya nggak ada di depan."
"Nggak tahu," jawab Bu Neni kesal mengingat semalam Arya malah pulang dalam kondisi sempoyongan dan mabuk.
"Jam berapa sih ini tumben dia belum pulang." Alya menimpali karena yang dia tahu jam enam petang biasanya Arya sudah pulang dan ini sudah pukul setengah tujuh malam.
"Jangan sampai dia pulang tengah malam dan mabuk lagi," gerutuan itu terlontar dari mulut Bu Neni.
Alya terkejut mendengarnya. "Maksud mama? Sejak kapan Arya suka mabuk-mabukan?"
"Sejak menikah dengan Safia. Wanita itu tak hanya membawa sial tapi juga membawa dampak buruk bagi kehidupan Arya. Sungguh mama menyesal telah merestui Arya menikahi wanita tidak tahu diri itu."
"Apa mungkin Arya tertekan menikahi Safia lalu mabuk mabukan untuk melampiaskan beban pikirannya."
"Entahlah, Al. Coba kamu ajak bicara adikmu. Kalau perlu suruh dia nyerein si Safia itu. Sebelum ada anak di antara mereka."
Bu Neni mengingat bagaimana Safia yang berwajah pucat dan beberapa bekas kemerahan di kulit leher wanita itu. Bu Neni tebak Arya sudah menyentuh wanita itu. Hanya saja Bu Neni enggan untuk bertanya hal pribadi pada putranya.
"Coba sih nanti aku bicara dengan Arya. Tapi dia pulang jam berapa nanti."
"Kamu telepon saja."
Alya mengangguk. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan menghubungi adik lelakinya itu.
***
Arya memasuki gerbang perumahan di mana rumahnya berada. Matanya memicing, dari dalam mobil yang dikendarainya melihat sosok Safia yang berada di depannya sedang dibonceng sepeda motor yang Arya tahu adalah tukang ojek online yang biasa Safia naiki ketika berangkat dan pulang dari bekerja. Arya memang tidak mau memberikan tumpangan pada wanita itu karena tidak ingin Safia besar kepala menganggap bahwa dia telah menerima wanita itu sebagai seorang istri sepenuhnya. Jujur hingga satu minggu lebih menjalani pernikahan dengan Safia, hati Arya belum tergetar sama sekali jika melihat Safia. Yang ada hanyalah rasa benci dan tidak suka karena Safia adalah penyebab terbesar kecelakaan yang merenggut nyawa Wila.
Dan apa yang Arya lakukan pada Safia ketika pria itu menyentuh istrinya hanya semata-mata untuk melampiaskan kekesalan pada wanita itu meski Arya akui Safia membuatnya ketagihan ingin menyentuh wanita itu lagi dan lagi. Namun Arya masih tahu diri untuk tidak terbuai dengan semua yang ada pada diri Safia. Dan tujuan Arya adalah membuat Safia hancur seperti layaknya dia yang juga hancur setelah ditinggal oleh Wila.
Arya menggeram meremas setir kemudi hanya karena melihat sosok Safia yang sama sekali tidak menyadari kehadirannya yang mengikuti di belakang motor yang wanita itu naiki. Hingga sampai di depan pagar, ojek yang Safia naiki berhenti. Menurunkan Safia yang di saat itu barulah Safia menyadari kehadiran Arya yang juga sampai di rumah. Wanita itu tersenyum menyambut kehadiran Arya yang turun dari dalam mobilnya.
"Baru sampai juga kamu, Mas?"
Arya tak menjawab sapaan Safia lantaran bertepatan dengan ponselnya yang berbunyi. Pria itu melewati tubuh Safia begitu saja untuk masuk ke dalam rumah. Safia mengembuskan napas panjang. Sebegitu tidak pedulinya pria itu padanya.
Safia mengekori Arya masuk ke dalam rumah. Sedikit terkejut ketika mendengar sapaan dari Alya yang duduk di ruang tamu bersama Bu Neni.
"Arya, akhirnya pulang juga kamu. Mbak telepon juga tadi."
Telepon Alya memang tidak Arya jawab karena dia sudah sampai di rumah dan tahu jika kakaknya ada di dalam.
"Tumben nelepon. Ada apa?"
Bukannya menjawab pertanyaan Arya, Alya malah memusatkan pandangan pada Safia yang muncul di balik punggung Arya. "Loh kamu kok bisa bareng sama dia?" tanya Alya tidak suka.
Safia mengulas senyuman untuk menjaga kesopanan pada iparnya. "Nggak bareng kok, Mbak. Saya naik ojek. Ternyata sampai rumahnya malah barengan."
"Oh," hanya itu tanggapan Alya.
Safia yang canggung dengan situasi yang ada memilih pamitan saja. "Saya masuk duluan," ucapnya dan baru saja dua langkah, Bu Neni meneriakinya.
"Jangan lupa tugas kamu masak makan malam Safia! Awas saja jika kamu enak-enakkan rebahan."
"Iya, Ma."
Sungguh, sebenarnya Safia ingin sekali beristirahat karena badannya juga sedang lelah dan terasa berat. Tapi mana mungkin Safia bisa menolak apa yang diperintahkan oleh ibu mertuanya. Bisa-bisa Bu Neni akan murka dan dia yang akan jadi sasarannya.
Setelah menyimpan tas kerjanya di dalam kamar, Safia kembali keluar tanpa mengganti bajunya lebih karena jika telat sedikit saja menyiapkan makan malam, Bu Neni akan mengoceh sepanjang malam.
Pintu kamar terbuka, sayup terdengar obrolan Arya dan keluarganya di ruang tamu. Entah mengapa kali ini Safia yang begitu ingin tahu malah berhenti di depan pintu kamar dan menguping pembicaraan mereka.
"Memangnya mbak butuh berapa?"
Itu suara Arya yang bertanya setelah Alya mengeluh tentang keuangan pada adiknya.
"Lima juta. Mbak lagi butuh banget, Ya. Kamu tau sendiri kan jika Mas Ridwan tidak dapat diandalkan dalam hal keuangan. Jadi siapa lagi yang bisa Mbak mintai bantuan jika bukan kamu."
"Memangnya untuk apa uang sebanyak itu?"
"Ada acara study tour di sekolahnya Chika. Untuk membayar biaya transportasi, uang saku dan sisanya untuk beli baju dan tas baru. Kalau kumpul bersama ibu-ibu Mbak malu Ya kalau harus pakai baju yang itu-itu mulu."
Terdengar hembusan napas Arya. Mana mungkin dia bisa menolak apa yang Alya minta.
"Kapan Mbak butuhnya?"
"Sekarang."
"Kenapa dadakan."
"Alah Ya hanya lima juta saja pasti kamu ada simpanan."
"Ada sih Mbak tapi kenapa harus dadakan segala."
"Acaranya juga mendadak."
"Baiklah. Nanti aku transfer."
"Terima kasih ya, Ya. Kamu memang satu satunya orang yang bisa Mbak andalkan dalam masalah keuangan. Tidak sia-sia dulu Mbak kerja banting tulang untuk menguliahkan kamu."
Cukup sampai di sana Safia menguping pembicaraan Arya dan Alya. Entah balas budi seperti apa yang telah Arya lakukan pada kakaknya. Yang jelas, ketika tahu Alya meminta uang pada Arya, Safia langsung berpikir jika iparnya adalah benalu. Mungkinkah Alya selalu meminta uang pada Arya selama ini?
Safia sendiri juga belum pernah Arya beri uang nafkah selama satu minggu mereka menikah. Dan ke depannya akan seperti apa, Safia tidak bisa menerka-nerka. Semoga saja Arya mengerti akan tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Memberikan nafkah untuknya sebagai bentuk kewajiban. Karena setelah menjadi istri Arya, Safia pun telah melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Termasuk memberikan hak Arya sebagai suami.