Maruap tidak marah sewaktu mengetahui keraguan dalam hati Sylvie. Dia saja sampai sekarang masih meragukan cintanya ke Sylvie. Yang menjadi bahan pemikiran Maruap di waktu sore ini ialah kata-kata Pak Pendeta Simon. Maklum saja ia belum lama mengenal keyakinan barunya itu. Belum terlalu mengenal Injil, Maruap itu. Itulah yang membuat Maruap merenunginya sedemikian lamanya di bawah pohon yang lumayan cocok untuk dijadikan tempat berteduh di saat matahari tengah panas-panasnya.
Perlahan otaknya kembali memutar tiap kenangan yang pernah Maruap alami. Maruap ingat dirinya pun pernah mengalami kejadian seperti yang dialami Sylvie.
Saat itu, Maruap masih seorang anak kecil berusia enam tahun. Walau masih berusia enam tahun, seperti kebanyakan anak sebayanya di kampung itu, dirinya turut membantu pekerjaan ayahnya di kebun, di peternakan sapi dan babi, juga turut membantu ibunya berjualan di pasar yang jaraknya lumayan jauh. Maklum ia dan keluarganya tinggal di daerah yang agak hampir mirip dengan hutan. Sementara pasarnya ada di daerah pesisir.
Maruap ingat ibunya bertanya padanya kenapa akhir-akhir ini matanya bengkak. Apa tak tidur dirinya semalam. Awalnya Maruap tak berani memberitahukan bahwa dirinya diganggu mimpi-mimpi aneh. Jaman itu, di daerah tepian Sungai Asahan dan sekitar Danau Toba, jikalau kamu mendapat mimpi, kamu harus berhati-hati. Bisa saja itu kiriman seseorang atau datang dari banua toru. Mimpi-mimpi khusus sering datang ke orang-orang tertentu; orang-orang pilihan, maksudnya juga. Jikalau ada orang yang sering mendapatkan mimpi sewaktu tidur, orang itu pasti akan dikirim ke para tetua kampung. Yah, untuk diselidiki lebih lanjut mimpi itu datang dari mana. Atau, cukuplah orang itu diantar ke orang pintar jika malu untuk dibawa ke tetua kampung. Tak heran Maruap diam seribu bahasa. Dibilangnya, dirinya keletihan sangat sehingga sulit tidur di malam hari.
Maruap tak berani bercerita bahwa dirinya bermimpi telah berjumpa dengan sosok gadis cantik luar biasa. Gadis ini tak seperti gadis-gadis di kampungnya yang rata-rata menurutnya berpenampilan kumal. Gadis ini berbeda. Kulitnya sangat terawat. Warnanya putih pula,--seperti sosok begu saja. Rambutnya pun aneh. Benarkah gadis itu seorang manusia? Maruap sempat berpikir gadis itu sebetulnya titian dewi dari banua ginjang. Ompu Barita sering berkata bahwa di banua ginjang, tinggallah sekumpulan dewa dan dewi.
Tak hanya soal si gadis, Maruap juga memimpikan dirinya diberikan sebuah kitab aneh yang membuat dirinya bergetar-getar seperti kerasukan begu. Oh, jaman itu, sewaktu Maruap kecil, bangsa Eropa--khususnya Belanda--sudah tiba. Hanya saja beberapa dari mereka tidak sampai pelosok-pelosok. Tak heran pula Maruap sempat tercengang menyaksikan sekumpulan orang-orang aneh di pesisir Selat Malaka. Misionaris terkenal dari Jerman yang bernama Ingwer Ludwig Nommensen pun belum tiba. Ajaran Isa Almasih masih asing untuk sebagian masyarakat sekitar Danau Toba. Kalaupun ada yang mengetahui, bisa dipastikan itu orang pilihan. Mungkin orang itu dari kalangan bangsawan.
"Gadis itu cantik juga," gumam Maruap waktu itu. Di manakah ia harus bertemu gadis cantik nan aneh tersebut? Belum pernah ia melihat yang cantiknya seperti itu. Sayangnya suara itu tak memberitahukan di manakah ia dapat bertemu sosok gadis tersebut? Yang diberitahukan padanya bahwa kelak Maruap akan bertemu gadis tersebut dan si gadis akan memiliki peranan begitu besar dalam hidupnya. Apapun yang gadis itu katakan, Maruap akan sulit bantah. Yah di jaman sekarang, gadis itu mungkin sosok his mrs. always right-nya.
Lama kelamaan akhirnya bocor juga. Ibunya makin lama merasa Maruap menyembunyikan sesuatu. Mungkin saja Maruap mencuri, lantas karena takut ketahuan, dirinya tak bisa tidur. Karena itulah, Maruap kesal dan main menceritakan mimpi-mimpinya. Keluarganya kaget. Jangan heran, saat itu memang sangat tabu orang yang mendapatkan mimpi. Ingat, hanya orang-orang tertentu yang bisa. Bukan dari kalangan bangsawan, bukan pula anak tetua kampung, kok berani-beraninya mendapatkan mimpi? Oleh karena itulah, untung saja ada kenalan yang lumayan bisa diandalkan, ke sanalah Maruap dikirimkan. Kenalan itu bernama Togar, orang pintar yang cukup disegani di keluarganya. Maruap diruwat selama hampir tiga bulan lamanya. Sampai akhirnya, Togar berani bilang mimpi Maruap itu dari banua ginjang. Sontak Maruap sering dimintai saran ini-itu. Macam peramal saja Maruap diperlakukan. Maruap makin lama makin senewen. Perlahan dirinya protes. Katanya, "Pak, Mak, aku ini hanya orang biasa, janganlah istimewakan aku. Aku tidak seperti itu juga. Tertekanlah aku kalau sikit-sikit ditanyai yang aneh-aneh. Seperti kalau jual giok, laku tidak. Bosan aku ditanya-tanyai yang seperti itu. Mimpi itu juga mimpi biasa, menurutku. Aku rasa setiap orang kan bisa bermimpi, Pak, Mak."
Awalnya Pak Ramli marah. Namun oleh Ibu Siti, Maruap dibelai habis-habisan. Beberapa minggu kemudian Maruap dibebastugaskan. Dibebastugaskan maksudnya, yah Maruap kembali ke kehidupan sebelumnya sebelum diruwat di tempat si Togar. Bukan main senangnya hati Maruap!
*****
Hari ini sepertinya Sylvie pun merasakan pergulatan batin sama yang dialami oleh Maruap. Malah Sylvie yang lebih dulu mengalaminya. Kata-kata Pak Pendeta Simon tersebut membuat ingatan itu muncul lagi.
Waktu itu Sylvie masih berusia 3--yang mau jalan usia 4 tahun. Dirinya masih di Amsterdam. Walau agak sedikit menyimpang, keluarga Sylvie lumayan religius. Orangtuanya tak pernah absen mengajaknya ke gereja tiap minggu. Tiap malam ibunya mengajaknya untuk baca kitab suci dan doa. Hingga akhirnya, Sylvie ada kemajuan. Diam-diam diambilnya kitab suci dan dibacainya sendiri, lalu melipat kedua tangan. Saat itu kedua orangtuanya tengah mengunjungi acara-acara keluarga seperti itu lagi (yang kelak Sylvie akan merasa tidak beres). Dia hanya ditinggal bersama para pelayan.
Di kamarnya, lumayan tekun Sylvie berdoa. Malam itu, Sylvie meminta pelayan setianya, Amanda untuk tidak menemaninya tidur. Katanya, dirinya berani tidur sendirian; tak perlu ditemani pula. Maka sendirianlah Sylvie berdoa secara khusyuk hingga dirinya merasa dirinya bergetar, lalu kamarnya yang tadinya gelap, mendadak terang sendiri. Sylvie kira mungkin Amanda yang mengerjai. Diamatilah baik-baik lingkungan sekitarnya, Amanda tidak ada. Yang ada hanyalah sorot lampu yang sepertinya datang menuju arahnya.
Dalam sorot lampu itu, ada suara yang mengatakan bahwa kelak bermil-mil jauhnya dari Amsterdam, ada seseorang yang tengah mencarinya. Sewaktu Sylvie tanya, suara itu tak memberitahukan siapa nama yang tengah mencarinya. Malahan Sylvie kehilangan kesadaran dan tertidur. Di mimpinya, dirinya seperti berada di sebuah tempat aneh yang masih asri ketimbang Amsterdam. Tempat itu banyak memiliki benda-benda aneh. Rumah-rumahnya pun serba aneh. Itu di mana, batin Sylvie saat itu.
Sampai sekarang pun, Sylvie tak menceritakan pengalaman itu, baik ke orangtua, ke Amanda, maupun ke keluarga dan teman-temannya. Dalam hatinya, Sylvie yakin mimpi dan suara itu berasal dari Allah. Soal sinar dan suara, ia jadi ingat cerita seorang bruder di gereja. Kata si bruder, kalau Allah atau malaikatnya datang, seringkali dalam bentuk seperti yang Sylvie alami. Itulah kenapa Sylvie simpan saja kejadian itu di satu ruang kosong di otaknya.
Setahun kemudian, Sylvie harus pindah. Pak Robert dipindahtugaskan ke Hindia Belanda. Saat berada di wilayah barunya itulah, Sylvie mulai yakin bahwa mimpi dan suaranya itu berasal dari Allah. Sylvie merasa dejà vu saja. Lingkungan itu sangat mirip seratus persen dengan kondisi tempat di mimpinya saat itu. Oleh karena itulah, Sylvie sangat tekun dalam doa; minta ditunjukan soal lelaki itu siapa dan di tempat inikah ia akan bertemu. Ibunya, Ibu Juliana sangat senang melihat anaknya begitu mendekatkan diri ke Sang Pencipta.
*****
"Eh Sylvie," Maruap terbangun dari lamunannya. Sudah ada Sylvie di sampingnya yang tengah tersenyum tipis, namun cukup manis.
"Maruap, sedang apa kamu di sini?" tanya Sylvie untuk membuka pembicaraan.
"Tengah menikmati pemandangan Sungai Asahan di waktu mau petang saja. Tak bolehkah?" balas Maruap tersenyum.
"Masa?" Sylvie terkekeh. Sylvie percaya bahwa Maruap tak sekadar menikmati pemandangan kala sore. Malah Sylvie menengarai bahwa tadi Maruap memang menguping. Yang tadi itu, bukanlah suara tikus.
Terkekeh balik juga Maruap. "Iya."
Kemudian keduanya saling terjebak dalam keheningan hari yang hendak petang.
"Maruap, kata-kataku yang kemarin itu, aku minta maaf. Maaf kalau aku kasar jadinya."
"Aku yang seharusnya minta maaf. Tak sepatutnya aku berkata seperti itu pula. Lagipula, bukankah aku sudah berjanji padamu akan selalu menemani dan melindungimu sebisaku? Itu prioritasnya, dan bukanlah soal bagaimana kamu dan aku saling mencintai awalnya. Tak peduli siapa yang lebih dulu menyukai, prioritasnya adalah melindungi kamu; agar kamu tak sendirian dalam menghadapi segala keanehan yang kamu alami."
Sylvie terenyuh. Tak bisa lagi perempuan itu berkata-kata selain, "Maruap,..."
"Lagian aku merasa kamu dan aku seperti ditakdirkan untuk hidup bersama. Kita punya pengalaman hampir mirip. Latar belakang keluarga kita berdua juga hampir mirip. Yah walau aku Batak--pribumi pula, dan kamu Belanda--dari Eropa sana. Belum lagi, ceritamu sering membantuku pula. Kamu sama, ya kan?"
"Kamu ini terlalu percaya diri sekali," goda Sylvie. "Kata siapa, kamu sudah membantuku dengan segala ceritamu?"
Maruap menjewer Sylvie. "Kamu ini, masih saja bisa mengelak. Siapa juga yang cerita padaku soal keluarganya yang aneh."
"Jangan bilang aneh, Maruap. Aku juga nyaris tak pernah bilang keluargamu aneh, bukan?"
Maruap hanya terkekeh-kekeh, yang kemudian diikuti oleh Sylvie.
"Kapan-kapan aku mau menceritakan padamu kejadian aneh yang aku alami sebelum aku datang ke Hindia Belanda, Maruap." desah Sylvie setelah pagutan mereka berdua itu terlepas. "Hanya padamu, aku berani menceritakannya. Kepada kedua orangtuaku pun, aku belum pernah menceritakannya hingga detik ini."
Bagaikan ada koneksi batin, Maruap berkata, "Aku pun ingin melakukan hal sama. Walau aku rasa kamu pasti bakal bosan mendengar tiap ceritaku."
"Aku tak pernah bosan mendengar cerita-ceritamu, Maruap. Percayalah padaku." kata Sylvie berusaha meyakinkan.
Tepat saat mereka berpelukan, matahari akan tenggelam.